Menurut pengalaman saya, biasanya undangan nikah cetak baru saya terima ketika acaranya akan digelar sepekan atau malah beberapa hari ke depan. Ini saya duga selain karena faktor-faktor yang telah disebutkan, juga karena adanya kekhawatiran gagal nikah di hari tersebut.
Makanya mepet. Kok sukanya mepet-mepet?
Kedua, tentang etika. Meski sudah di dekade 2020-an, etika juga masih perlu diperbincangkan, termasuk dalam hal memberi undangan pernikahan.
Secara pribadi, sebenarnya saya tidak terlalu mempermasalahkan bagaimana rupa undangan nikah tersebut. Lagipula, saya juga sangat jarang hadir ke pernikahan teman saya. Maaf, ya!
Namun, atas dasar itu pula, saya pernah berpikir tentang mengapa harus diundang begini, kalau ujung-ujungnya yang diundang tidak bisa datang? Sekalipun teman bisa menjawab tidak apa-apa, tapi perasaan kecewa pasti ada.
Sudah diundang, bahkan dicari-cari alamatnya, eh, tidak bisa datang. Ini rekaan pikir dari saya. Mungkin ada yang begini atau tidak beginu (begini).
Belum lagi, kalau ternyata di penamaan terhadap si undangan salah tulis. Sudah tahu nama saya Deddy, eh ditulis Dedi. Ini yang diundang Deddy atau Dedi?
Itu hanya contoh saja, jangan baper!
Artinya, undangan nikah cetak itu terlalu bertele-tele. Sudah ribet, mahal, belum tentu puas pula.
Tetapi, undangan nikah cetak itu juga punya nilai tersendiri, yaitu etika. Orang akan sangat menghargai undangan jika ditujukan secara personal, apalagi undangan tersebut sampai rumah dengan selamat.