Mungkin, tulisan ini akan membuat penggemar dua merah kecewa, karena mereka menganggap tim jagoannya masing-masing sedang berpeluang menjuarai Premier League 2020/21. Memang, mereka berpeluang. Tapi tidak begitu besar, meski saat ini keduanya bersaing di papan atas.
Malah, Manchester United berada di peringkat pertama per 19 Januari 2021. Artinya, peluang juara Manchester United ada kok. Tetapi, untuk memastikan bahwa nanti akan juara, masih sangat sulit.
Sebuah tim yang dapat juara membutuhkan pengalaman. Memang, sepak bola bisa dianggap sebagai perjalanan aktual. Artinya, pencapaian yang didapat pada tahun ini sebagian besar karena proses yang dijalankan tahun ini. Itu tidak salah.
Tetapi, pencapaian tahun ini juga merupakan hasil dari proses tahun sebelumnya. Jika tidak demikian, Liverpool yang juara musim 2019/20 akan mustahil mendapatkannya jika tidak membuat proses hebat pada musim 2018/19.
Mereka tidak juara liga pada musim itu, tetapi mereka finis kedua dengan jarak hanya 1 poin dari Manchester City sang kampiun. Itu juga berlaku pada Manchester City, bahkan Chelsea yang seolah kebetulan juara bersama Antonio Conte (2016/17).
Tetapi, kalau dicermati, secara skuad, Chelsea juga memiliki proses dari tahun sebelumnya. Para pemainnya masih tidak berbeda jauh dengan pemenang Premier League 2014/15. Artinya, komposisi sebuah klub untuk meraih gelar juara tidak lepas dari keberadaan pemain yang sudah berpengalaman selain dengan adanya manajer (pelatih) yang hebat.
Atau, sebuah klub perlu menjuarai sebuah turnamen, kemudian memperbesar asa untuk juara di liga. Ini seperti yang dialami Liverpool dan Manchester City sebelum akhirnya terlihat sangat superior dalam dua tahun terakhir.
Lalu, bagaimana dengan Manchester United? Apakah mereka punya pengalaman?
Sebenarnya, mereka bisa mengandalkan pengalamannya bersaing dengan Chelsea memperebutkan posisi ketiga musim lalu. Tetapi, untuk melaju sebagai juara, Manchester United juga memerlukan satu hal lagi. Apa itu?
Konsistensi. Ini memang faktor yang sangat menjemukan untuk diperbincangkan. Tetapi, memang itulah yang sangat dibutuhkan sang juara. Leicester City bisa menjadi juara kejutan (2015/16) juga membutuhkan itu untuk menikung Arsenal yang gagal konsisten.
Lewat konsistensi, Manchester United akan memperbesar peluangnya juara. Namun, jika melihat salah satu laga penting yang dimiliki The Red Devils di Premier League, yaitu saat bersua dengan Liverpool (17/1), di situ sangat terlihat bahwa Manchester United akan sulit konsisten.
Bukan soal Manchester United yang "hanya" meraih hasil imbang (0-0), melainkan karena permainan Man. United terlihat mirip saat melawan Manchester City yang juga uniknya berakhir imbang 0-0. Apa miripnya?
Kemiripannya adalah tentang peran Bruno Fernandes di lapangan. Ketika melawan tim yang lemah pertahanannya dan kurang berani menyerang, peran Bruno akan lebih banyak membangun serangan. Di situlah peluang Man. United untuk menang cukup besar.
Tetapi, ketika Manchester United sedang menjadi medioker di lapangan--seperti melawan Man. City dan Liverpool--yang artinya mengharuskan Bruno fokus membantu pertahanan juga, maka di situlah letak awal mula kebobrokan pola menyerang Manchester United. Saat seperti itu mungkinkah Man. United meraih kemenangan?
Baca juga: Manchester "Bruno" United?
Sebenarnya, apa yang dilakukan Man. United seperti pembelajaran atas kekalahan dari Arsenal di Premier League (1/11). Namun, Man. United juga tidak boleh membuat Bruno menjadi terpecah perannya antara menjadi motor serangan juga menjadi pelapis pertahanan Man. United.
Memangnya ada tim yang bisa selalu menang dengan mengandalkan satu orang hebat untuk bisa bertahan dan menyerang sekaligus?
Barcelona dulu bisa hebat, karena Messi fokus menyerang. Di belakang sudah ada Xavi dan Iniesta yang membantu Sergio Busquets untuk menyaring serangan lawan.
Sedangkan, Messi hanya melakukan zona marking. Sesekali satu lawan satu jika pemain yang membawa bola sekelas Ronaldo, karena Pique "hanya" hebat menghadapi pemain selain Cristiano Ronaldo.
Namun, hal semacam itu lebih lumrah terjadi daripada yang ada di Manchester United saat ini. Mereka malah seperti memanfaatkan gaya bermain Bruno yang sangat kerja keras dan makin ke sini seperti tidak percaya dengan kemampuan bertahan timnya.
Sayangnya ketika itu terjadi, maka kualitas menyerang Manchester United juga anjlok. Karena, mereka tinggal mengandalkan Marcus Rashford yang sebenarnya belum patut menjadi pemain bernomor punggung 10.
Tetapi, juga salah, karena Ole seharusnya masih bisa memanfaatkan Bruno sebagai pemain yang fokus menyerang ketika di depan sudah ada Cavani. Lebih baik, ganti saja Pogba dengan pemain yang cenderung bertahan atau punya mobilitas tinggi, agar menukar peran Bruno yang selalu ingin terlibat di setiap momen menjadi lebih fokus ke depan.
Pemain seperti Bruno sebenarnya sangat sadar taktik dan momentum. Sehingga, di menit-menit akhir seharusnya Bruno tidak diganti melainkan diberikan instruksi khusus.
Tetapi, bubur sudah telanjur matang bahkan sudah dingin, termasuk laga yang akhirnya sudah takbisa diubah hasilnya. Hanya, melalui pemandangan di laga itu, bisa makin terlihat bahwa peluang Manchester United menuju gelar juara masih jauh dari kata mungkin. Kalau finis kedua, bisa saja.
Lalu, bagaimana dengan sang juara bertahan, Liverpool? Pengalaman juara punya, yang artinya mereka pernah memiliki konsistensi dalam hal bermain. Tetapi, apakah mereka bisa berpeluang juara lagi musim ini?
Sebenarnya, favorit juara masih terlihat pada tim asuhan Jurgen Klopp. Tetapi, mereka saat ini memiliki tiga rintangan yang membuat langkah menuju podium tertinggi lagi juga tidak sebesar musim lalu, bahkan musim 2018/19. Apa saja rintangannya?
Pertama, karena skuad utama lama mulai banyak yang bertumbangan. Memang, Virgil van Dijk terlihat paling disorot, karena absen lama. Tetapi, jangan lupakan Alisson Becker yang mulai rentan cedera dan bolak-balik absen, padahal perannya sangat krusial untuk Liverpool.
Belum lagi dengan cedera yang sempat menimpa dua bek sayapnya, Trent Alexander-Arnold dan Andrew 'Andy' Robertson. Itu membuat komposisi dan permainan Liverpool tidak stabil seperti dua musim sebelumnya.
Ini juga berlaku pada absennya Diogo Jota. Kehadiran Jota rupanya cepat memengaruhi performa Liverpool, dan tidak heran jika Klopp terlihat mulai mengandalkannya.
Tetapi, sayang sekali, Jota juga harus menepi. Itu membuat Liverpool kesulitan dan seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, mengambang. Mengapa bisa begitu?
Karena ada faktor ketiga, yaitu penurunan performa pemain utama. Publik jelas menyoroti konektivitas antara Sadio Mane, Mohamed Salah, dan Roberto Firmino.
Tetapi, jangan lupa dengan konektivitas Andy Robertson dan Trent Alex-Arnold. Dua pemain itu sebenarnya yang membuat kinerja trio penyerang Liverpool sangat tajam dalam dua musim terakhir.
Operan lewat situasi 'bola mati' maupun 'bola hidup' dari dua bek itu tidak jarang membongkar pertahanan lawan dan memudahkan peran penyerang Liverpool untuk mencetak gol. Tetapi, hal itu mulai jarang terlihat di laga-laga musim ini.
Keduanya mulai seperti bek sayap kebanyakan, yang hanya bisa berlari membawa bola lalu melepaskan operan silang yang asal tendang. Itu membuat permainan menyerang Liverpool menjadi (sangat) kurang efektif.
Itulah mengapa, pada akhirnya peran membangun serangan mulai lebih dijalankan oleh duo Mane-Salah. Namun, yang disayangkan lagi duo ini sudah mulai tidak lagi menjadi duo, karena keduanya terlihat mulai jarang membuat kerjasama saat membangun serangan.
Salah memang cukup mau berbagi bola, tetapi ia juga cenderung pilih-pilih, antara Shaqiri, Firmino, Thiago, atau Wijnaldum. Jarang ada operan yang tercipta melibatkan langsung Mane dan Salah. Ini yang sebenarnya sangat berpengaruh bagi penyerangan Liverpool.
Jadi, kalau Jurgen Klopp heran mengapa Liverpool sulit mencetak gol, pada poin ketiga inilah Klopp harus mencermatinya. Memang, Klopp sudah menyiasati dengan adanya Shaqiri, tapi tidak harus hanya Shaqiri. Minimal ada salah satu antara bek sayap dan pemain tengah lain yang bisa menjadi penyambung antara sumbu-sumbu yang tidak mau menyatu (lagi) itu.
Sebenarnya, peran itu sedang dijalankan oleh Thiago. Tetapi, jika melihat permainannya di laga tersebut, akan sulit bagi Liverpool mencetak gol jika bola tidak mengalir cepat saat ada momentum menyerang balik ke pertahanan lawan.
Liverpool masih butuh pemain yang cepat memberikan operan langsung ke depan seperti yang biasanya dilakukan Jordan Henderson yang memang khusus di laga kontra Man. United harus menjadi bek tengah. Jika, Henderson kembali ke lini tengah, bisa saja permasalahan dua sumbu yang enggan menyatu itu akan sedikit tertutupi.
Berdasarkan tiga problem kompleks itulah Liverpool musim ini akan patut bersyukur jika bisa berada di dua besar pada akhir musim 2020/21. Karena, mereka saat ini sedang sangat tidak baik.
Namun, permasalahan itu bisa teratasi jika Liverpool dapat kembali bermain dengan pemain-pemain yang tepat di posisinya. Artinya, Liverpool patut berharap beberapa pemain andalannya dapat kembali bermain dan bisa diajak berpacu di zona juara.
Lalu, jika bukan Manchester United dan Liverpool, siapa lagi yang berpeluang menjadi juara Premier League? Manchester City atau Tottenham Hotspur?
Malang, 19 Januari 2021
Deddy Husein S.
Terkait: Detik.com, Bola.com, CNNIndonesia.com, Tempo.co.
Tersemat: Kompas.com, Irishmirror.ie, Thisisanfield.com, Mirror.co.uk.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H