Aku terdiam. Tidak mau mengatakan apa.
"Aku tahu, kau datang dari intisari makhluk yang berbeda. Pasti yang kau pikirkan juga berbeda dengan kami. Tapi, yang aku pikir seharusnya bukan hanya kami yang harus disalahkan."
"Apa maksudmu?"
"Maksudku adalah kalian yang sakit karena gigitan kami bukan karena kami jahat. Tetapi, karena kalian yang menyediakan tempat untuk kami singgah, bahkan menetap.
Seperti itu (dia menunjuk pakaian-pakaian yang tergantung). Kami tentu suka berada di sana, karena merasa ada tempat tinggal.
Begitu juga dengan tempat yang biasa kalian tanpa benda itu (maksudnya pakaian). Di sana juga menjadi tempat anak-anak kami lahir, tumbuh, dan kemudian bisa menjadi aku.
Tempat-tempat seperti itu jelas tidak kami minta. Tapi, karena kami melihat itu ada dan kami butuh, maka itulah yang terjadi.
Itulah yang membuatku heran jika kalian marah. Menghantam kami dengan tangan besar kalian, atau juga dengan sengatan petir yang ada di benda itu (maksudnya benda yang mirip raket badminton tapi bisa teraliri sengatan listrik)."
Aku masih terdiam. Berusaha memikirkan apa yang ia katakan.
Sampai kemudian, pandanganku mengarah ke sosok yang aku kenali bahwa ia yang sebelumnya menolongku. Dia sepertinya mulai berani terbang ke arah orang yang tak lain adalah ayahku.
Sepertinya dia ingin mengikuti jejak yang lain yang telah berhasil membuat tangan-tangan ayahku mulai tidak tenang. Sesekali dia berusaha menepuk lengannya atau pipinya, tapi semua berhasil menghindar dengan cepat.
Aku melihatnya sudah mendarat di dahi ayahku. Sungguh, beraninya kau!
Dia berhasilnya menancapkan taringnya ke kulit bergaris tiga milik ayahku. Anehnya, aku masih diam saja. Aku juga melihatnya seperti sedang merasakan kenikmatan dari darah ayahku.
"Wah, sial! Sepertinya dia akan mati." Gumam si berwibawa ini. Tapi, dia diam saja. Sedangkan aku malah mulai deg-degan. Apalagi, aku melihat tangan ayah bergerak pelan.
Kegaduhan pun tiba-tiba terdengar. Mereka berusaha memanggil si sosok penolongku itu. Tapi dia seperti tuli.
Aku mulai geregetan, dan entah mengapa aku langsung meluncur terbang ke arahnya.
Plak!
Aku terbangun. Anehnya, aku melihat hari sudah cukup cerah. Kulirik jam weker kecil berwarna biru di atas meja belajarku. Pukul 05.00 pagi.
....
Begitulah mimpiku sekitar dua minggu lalu. Sehari setelah aku pulang dari rumah sakit, karena aku sempat sakit Demam Berdarah Dengue (DBD). Kata ibu, itu karena gigitan nyamuk Aedes aegypti.