Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dua Rasionalitas Menjadi Satu

7 Januari 2021   16:33 Diperbarui: 8 Januari 2021   23:32 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kebersamaan Pak Tjipta dan Bu Lina. Gambar: Kompasiana/Tjiptadinata Effendi

Sebagai seorang penggemar sepak bola, sebenarnya saya cukup terbiasa menulis tentang sosok. Tulisan saya juga nyaris tidak akan lepas dari pembahasan tentang pemain, pelatih, hingga figur-figur yang sudah menjadi legenda di sepak bola.

Itulah yang membuat saya kemudian ingin menulis tentang sosok yang kali ini tidak terikat dengan perihal sepak bola. Namun, sangat berarti bagi eksistensi saya untuk menulis tentang bola.

Memang, saya kadang merasa sangsi apakah tulisan saya akan bermanfaat bagi sosok-sosok ini. Tetapi, di sisi lain saya sudah merasa terdukung oleh apresiasi yang biasanya selalu ada setiap hari.

Padahal, saya juga cukup sering absen menulis. Tetapi, setiap saya berkesempatan untuk mengunjungi artikel saya, di situlah saya selalu menemukan apresiasi dari dua orang yang sama dan berkaitan di kolom komentar.

Dua orang itu sudah jelas merupakan Pak Tjipta dan Bu Lina. Siapa lagi, sosok yang dapat digambarkan sebagai dua orang yang selalu hadir di kolom komentar dan saling berkaitan, kalau bukan Pak Tjipta dan Bu Lina.

Merekalah yang sebenarnya turut membantu saya untuk terus bersemangat menulis. Apalagi, ketika saya tahu bahwa mereka adalah figur hebat di balik keberadaan Waskita Reiki. Luar biasa bagi saya dapat berkenalan dengan pendirinya.

Semakin merasa senang pula ketika saya mendapatkan nomor kontak pribadi dari Pak Tjipta ketika saat itu saya belum genap 1 tahun berkecimpung di Kompasiana. Suatu apresiasi dan kepercayaan luar biasa yang saya dapatkan dari beliau dalam keterbukaan relasi.

Begitu juga dengan Bu Lina. Saya mengagumi sosoknya yang kreatif. Salah satunya ketika saya pernah membaca tulisannya tentang hasil kreasi dalam memanfaatkan brosur-brosur bekas dari minimarket atau sejenisnya. Kertas-kertas brosur itu berhasil disulap menjadi bentuk kerajinan tangan.

Ketika melihat itu, saya semakin yakin bahwa perempuan itu memang memiliki banyak kelebihan, salah satunya adalah kreativitas. Kreativitas itu kemudian bisa berkembang dan bertahan lama karena keuletan.

Itu yang kemudian juga membuat saya sering berusaha mendorong rekan-rekan saya yang perempuan yang terkadang mengaku tidak bisa melakukan sesuatu. Padahal, menurut saya mereka bahkan lebih bisa melakukan sesuatu yang sebenarnya saya belum bisa.

Selain itu, saya juga mengagumi kedua sosok ini karena satu hal, yaitu rasionalitas. Walaupun saya menduga bahwa Pak Tjipta adalah seorang perasa yang ulung, tetapi beliau juga mengedepankan rasionalitasnya dalam menjalani kehidupan sampai saat ini, termasuk dalam hal menulis di Kompasiana. Jika tidak demikian, saya pikir beliau sudah menyerah untuk terus berkembang dan saya pasti tidak punya kesempatan untuk melihat karya-karya aktualnya.

Dari situ saya melihat Pak Tjipta tahu apa yang perlu dilakukan dan apa yang belum perlu dilakukan. Soal apakah itu ada peran besar dari Bu Lina, mungkin saja. Malah, jika memang karena ada sumbangsih dari Bu Lina--dalam hal Pak Tjipta berkarya, maka saya pikir tepat bahwa sejoli ini adalah dua pribadi yang menjadi satu karena rasionalitasnya (1).

Memang di awal saya melihat profil Bu Lina di Kompasiana, saya lebih fokus pada dua hal. Pekerja keras dan setia.

Setia ini bukan karena melihat usia pernikahannya dengan Pak Tjipta yang sudah setengah abad lebih, melainkan karena hasil tebak-tebakan saya saja berdasarkan profil yang ada di akun Kompasiana Bu Lina. Setahu saya orang yang seperti Bu Lina itu setia.

Kalau sudah merasa cocok dengan satu orang tersebut, dia akan berusaha mempertahankan hubungannya. Bahkan, dia juga sangat percaya dengan orang yang sudah dianggap cocok itu.

Akibat kesetiaan dan kepercayaannya terkait orang yang sudah ia anggap cocok itulah kemudian muncul hal lain, yaitu kerja keras. Kerja keras ini bukan hanya karena untuk kepribadiannya sendiri, melainkan juga untuk orang yang sudah ia anggap cocok tersebut.

Kerja keras juga merupakan salah satu bukti adanya peran rasionalitas dalam praktik keseharian seseorang. Jika seseorang sudah menggunakan rasionalitasnya, maka sulit baginya untuk bersantai-santai.

Hal itu yang kemudian saya pikir ada di Bu Lina. Dan, ternyata saya juga mendapatkan kesempatan untuk melihat salah satu buktinya langsung, yaitu saat Bu Lina membagikan kisahnya tentang rutinitasnya mendata nama kompasianer.

Menurut saya itu merupakan tindakan rasionalitas, karena ada kaitannya dengan upaya mencari solusi terkait permasalahan interaksi dan keterbacaan tulisan di Kompasiana. Juga, karena adanya ide tentang bagaimana cara mempererat tali silaturahmi dengan para kompasianer.

Berkat rutinitas Bu Lina itu, Pak Tjipta juga terlihat terbantu untuk selalu rajin bertegur sapa dengan para kompasianer. Karena, data relasi kompasianer dan pengingatnya sudah ada, yaitu dari sang istri tercinta. Keren, kan?

Lewat kisah Bu Lina yang tidak pernah capai mendukung Pak Tjipta. Juga lewat kisah Pak Tjipta yang takpernah lelah untuk berkarya. Di situlah saya mendapatkan kunci keramat atas kelanggengan hubungan mereka, yaitu kerjasama.

Pentingnya kerjasama alias saling mendukung. Gambar: Pexels/Son Bom
Pentingnya kerjasama alias saling mendukung. Gambar: Pexels/Son Bom
Kerjasama juga merupakan bentuk dari rasionalitas. Orang perlu menerima gagasan yang berbeda dari orang lain, selama dampaknya positif, alias menguntungkan.

Hanya, kerjasama sering menjadi cita-cita sekaligus pekerjaan berat untuk diwujudkan. Bahkan, ketika individu-individu sudah berada dalam ikatan komitmen. Hal ini juga berlaku tidak hanya dalam hubungan rumah tangga, tetapi juga untuk hubungan kerja maupun yang lain.

Biasanya, saya menemukan sulitnya suatu hubungan menjadi langgeng karena minimnya kerjasama. Semua orang nyaris sering terfokus pada 'tugasku' dan 'tugasmu' yang terkadang tidak bisa dikaitkan hasilnya. Namun, jika membaca kisah-kisah yang dibagikan Pak Tjipta dan Bu Lina, saya menjadi tahu bahwa mereka bisa selama ini hidup bersama karena mereka terus mempraktikkan kerjasama.

Beginilah kira-kira ungkapan saya terkait sosok inspiratif, yaitu Pak Tjipta dan Bu Lina. Saya pikir ini sudah cukup untuk ditulis oleh satu orang. Karena, nantinya tulisan ini akan membaur dengan tulisan dari kompasianer lain yang juga mengangkat kisah tentang sejoli inspiratif ini.

Terima kasih sudah membaca, dan salam hangat!

Kebersamaan Pak Tjipta dan Bu Lina. Gambar: Kompasiana/Tjiptadinata Effendi
Kebersamaan Pak Tjipta dan Bu Lina. Gambar: Kompasiana/Tjiptadinata Effendi
~

Malang, 7 Januari 2021

Deddy Husein S.

Catatan: Tulisan ini ditulis untuk turut memeriahkan hari jadi pernikahan ke-56 tahun Pak Tjipta dan Bu Lina. Semoga sehat selalu dan terus berkarya.

(1) https://www.gurupendidikan.co.id/pengertian-rasionalitas/

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun