Sebuah penyakit mental yang bisa diwariskan ke keturunan. Itulah yang membuat perempuan kelima ini berani membuat keputusan untuk tidak memiliki anak.
Padahal, siapa sih orang tua yang tidak ingin punya anak? Tetapi, dia dengan banyak pertimbangan, akhirnya mampu dengan ikhlas memutuskan untuk tidak punya anak.
Saya pun sukses dibuat sedih di babak ini. Banyak renungan yang dipicu oleh si tokoh kelima ini yang membuat saya angkat topi kepadanya. Luar biasa, Bu!
Akhirnya, muncul kata "Bu" di kepala saya saat menonton film ini. Artinya, saya menganggap perempuan yang sudah menikah adalah ibu, walaupun bukan ibu saya. Dan, saya juga menganggap perempuan tetaplah perempuan walau tidak/belum memiliki anak. Sepakat?
Pertanyaan itu sebenarnya perlu dijawab oleh semua orang yang menonton film ini, termasuk mereka yang masih memegang teguh stereotip tentang perempuan yang sudah menikah. Semoga, mereka dapat menonton film ini dan terketuk pintu nuraninya.
Lalu, bagaimana dengan babak keenam?
Babak ini adalah babak pamungkas yang berisi puncak dari permasalahan yang dihadapi 5 perempuan tangguh tersebut. Berhubung ini adalah film dokumenter, maka tidak ada konklusi yang biasa saya temukan di film fiksi/semifiksi.
Artinya, babak ini dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan atau juga tanggapan dari 5 perempuan itu yang wajib dijawab oleh para penonton. Khususnya, mereka yang masih sangat "patuh" dengan pandangan sosial yang sebenarnya tidak benar, tetapi sudah telanjur menjadi normatif.
~
Berhubung saya hanya seorang penonton, alias bukan pembuat filmnya, maka saya juga perlu mengetahui bagaimana proses kreatifnya, dan apa yang mendasari pembuatan film ini. Setelah menonton film ini, saya kembali ke forum diskusi.
Jelas, saya kembali terlambat, karena 16 menit yang terulang tadi. Tetapi, saya beruntung masih dapat menyimak pernyataan dari seorang pemantik, bernama Eni Simatupang.