Spoiler alert! (Pembaca sangat boleh tidak membacanya dan gulir ke bawah sampai menemukan tanda "~")
Babak pertama, berisi seorang perempuan yang bekerja sebagai project officer. Dia sudah menikah dengan lelaki yang juga sevisi dengannya dan memiliki minat besar di bidang kreatif.
Di situlah, saya mulai memasuki gelombang perasaan terhadap cerita dari perempuan pertama. Saya merasa sedih karena mendengar penuturannya tentang intensitas pertanyaan orang-orang di sekitarnya terkait momongan. Bahkan, salah satu pertanyaan yang bernada sindiran sukses terekam di kepala saya.
"Padahal terakhir saya lihat, sampeyan seperti ngisi (hamil), loh."
Bagaimana? Sudah mulai gerah?
Babak kedua, disuguhkan perempuan yang sudah paruh baya. Dia juga punya cerita yang langsung mengingatkan saya tentang cerita di dalam buku karya pertama saya, "LIKA-LIKU TEGAR SUM". Apa persamaannya?
Pernikahan dini dan perjodohan dari orang tua. Jadi, pernikahan yang dialami perempuan kedua itu saya yakini tidak berdasarkan cinta seperti yang orang kebanyakan sekarang alami.
Saya tentu turut lekat ke dalam cerita tersebut. Bahkan, ceritanya menurut saya sangat kompleks. Bahasa kerennya sekarang "so complicated".
Dia tidak hanya menuturkan tentang stereotip perempuan yang sudah menikah, tetapi juga tentang stigma perempuan nakal menurut orang-orang di sekitarnya. Saya pun mulai tersulut terhadap penuturan itu.
Cerita berlanjut ke babak ketiga, yang artinya ada perempuan ketiga yang punya cerita miris. Perempuan itu bercerita bahwa dirinya mengidap penyakit pada rahim dan semakin memilukan jika diangkat, karena akan menghilangkan potensi untuk hamil.
Pada cerita ini, perasaan saya semakin tersayat-sayat. Bukan hanya karena saya mendengar penuturan si tokoh berdasarkan tekanan sosial, seperti yang dialami dua tokoh sebelumnya. Tetapi, karena si suami perempuan itu juga mulai tertekan dan menekan si perempuan.