Artinya, pertimbangan kompensasi untuk melaju ke kompetisi sekonfederasi harus dicapai melalui status sebagai juara Piala Liga, bukan runner-up. Jika menjadi finalis saja sudah pasti dapat mewakili Inggris di Eropa, mengapa Arsenal berjuang mati-matian untuk menang?
Dari sinilah kita bisa memiliki pemahaman terkait aturan main di dunia sepak bola. Apakah beda rimba, beda hukumnya?
Ternyata sama. Seperti yang saya baca di berita, ternyata aturan di AFC juga demikian. Pertimbangan untuk lolos ke Piala AFC adalah juara liga dan runner-up liga--Indonesia mendapatkan dua jatah, jika tidak ada kompetisi piala liga.
Namun jika ada, maka juara piala liga akan turut ambil bagian di Piala AFC mewakili juara liga. Bagaimana jika ternyata klub yang sudah lolos ke Piala AFC--karena juara liga--juga menjuarai piala liga?
Maka, limpahan tiket kedua akan jatuh ke runner-up liga. Jelas, bukan?
Pertimbangan baru kemudian hadir ketika ternyata ada penentuan 7 klub yang lolos lisensi profesional AFC, yang artinya merekalah yang berhak ke kompetisi sekonfederasi (Liga Champions Asia dan/atau Piala AFC). Tujuh klub itu adalah Arema FC, Bali United, Bhayangkara FC, Borneo FC, Persib Bandung, Persija Jakarta, dan Persipura Jayapura.
Pada tujuh klub itu tidak ada PSM Makassar yang merupakan juara Piala Indonesia 2019/20. Artinya, PSM gagal mewakili Indonesia ke Piala AFC 2021.
Lirikannya kemudian jatuh ke runner-up liga. Ternyata, di sana ada Persebaya yang juga belum lolos lisensi profesional AFC. Artinya, Persebaya juga gagal tampil di Piala AFC 2021.
Ke manakah jatah kedua akan mendarat?
Persipura. Mereka adalah penghuni ketiga klasemen akhir dan merupakan penyandang lisensi-pro AFC.