Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Ayam dan Telur, dari Lawan Menjadi Kawan

16 Desember 2020   16:34 Diperbarui: 16 Desember 2020   16:56 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada sebuah prinsip, bahwa kehidupan tidak pernah statis. Waktu yang menjadi penyebabnya. Waktu pula yang menunjukkan bahwa kehidupan tidak pernah berjalan di tempat.

Lalu, apakah itu berlaku di dalam pola hidup kita (baca: manusia)?

Menurut saya memang demikian. Bahwa, pola hidup kita juga akan terus bergerak, berubah, atau juga berkembang. Dari yang awalnya diasuh orang tua, lalu kita bisa mengatur sendiri, sampai nantinya akan selalu diawasi oleh anak/cucu.

Salah satu bagian dari pola hidup adalah pola makan. Sewaktu kita kecil, pola makan kita diatur oleh orang tua. Ada makanan yang boleh dimakan, ada yang tidak boleh dimakan, bahkan juga diperkenalkan walau kita awalnya tidak mau. Misalnya, Durian.

Saya juga punya contohnya, yaitu dengan evolusi pola makan saya sedari kecil sampai saat ini. Tentu, sebelum saya harus menyerahkan tugas mengelola pola makan saya ke anak dan cucu kelak.

Sewaktu kecil, saya adalah 1 di antara 13 anak--menurut Food Allergy Research and Education--yang memiliki alergi pada makanan tertentu. Tentu, sudah dapat ditebak jika alergi tersebut terjadi saat saya mengonsumsi makanan/minuman yang mengandung alergen.

Alergen biasanya terkandung di dalam makanan/minuman yang kaya protein. Misalnya, makanan laut, susu sapi, kacang-kacangan, hingga topik makanan yang hangat dibahas saat ini; ayam dan telur.

Sebenarnya, saya kurang ingat awal pemicu reaksi alergi terhadap makanan-minuman tersebut. Tetapi, saya ingat bahwa salah satu yang membuat saya harus menghindarinya adalah vitamin DHA yang mengandung sari omega dari ikan laut.

Kebetulan, saat itu merek yang paling dianggap manjur adalah produk tersebut. Tidak seperti sekarang yang sudah banyak pilihan produknya. Akibatnya, saya harus rela untuk tidak mengonsumsi vitamin DHA yang mengandung sari omega dari ikan laut tersebut.

Bagaimana dengan makanan?

Jika merujuk pada halangan sebelumnya, maka sudah pasti saya juga tidak bisa mengonsumsi ikan laut. Namun, pernah juga saya mengonsumsi ikan laut, karena saat itu saya tinggal di daerah yang tidak jauh dari pesisir.

Artinya, sudah jelas bahwa setiap hari saya mencium aneka makanan laut yang digoreng, ditumis, atau dijadikan menu ikan kuah kuning. Duh, pengen!

Walaupun saya masih kecil yang artinya masih belum sebandel saat ini, tetap saja ibu saya tahu kalau saya pasti punya keinginan untuk mencicipi makanan yang dicicipi oleh semua orang di rumah. Itulah yang membuat ibu saya membuatkan alternatif yang tidak kalah enaknya dengan makanan laut itu, yaitu abon daging sapi.

Setiap hari selalu menunya itu. Bosan? Pasti. Tetapi, berhubung saya merasa itu paling enak dibandingkan tempe-tahu, maka saya pun tetap lahap dengan menu nasi abon.

Sebenarnya, saya juga suka dan sering mengonsumsi tempe-tahu dengan segala olahannya. Itu adalah makanan alternatif saya untuk mendapatkan asupan protein. Karena, ternyata saya juga alergi dengan telur dan tentunya ayam.

Ibu saya pusing? Tentu saja. Punya anak kok sulit menemukan makanan yang pas, termasuk untuk kantong keluarga.

Mungkin bagi orang kota, makanan laut itu mahal dan dimasukkan sebagai makanan orang kaya. Tetapi, di tanah kelahiran saya makanan laut justru lebih murah dari setengah kilo daging ayam apalagi sapi. Itulah yang membuat saya seperti si kecil yang bak "pangeran bertubuh kaca", karena rapuh.

Tetapi, seiring berjalannya waktu saya harus beradaptasi dengan makanan yang memicu alergi. Khususnya, ketika saya harus pindah ke pulau saat ini, Jawa.

Di sini jelas saya tidak akan menemukan aroma cumi-cumi berkuah kecap pedas serutin di sana. Kalau ada, sudah pasti orang itu habis gajian.

Kalau di sini, aroma paling menyengat sebenarnya ikan pindang goreng. Tetapi, yang paling menggoda adalah ayam goreng dan telur dadar atau telur mata sapi.

Tiga menu itu berhasil membuat saya berupaya keras untuk dapat mencicipinya. Menariknya, tubuh saya berhasil diajak kompromi.

Satu menu harus dapat saya taklukkan, dan itu diawali oleh telur. Entah dalam bentuk apa pun, telur itu akhirnya menjadi makanan "surga" saya.

Menu nasi dengan telur dan sambal sering menjadi favorit taklekang waktu. Gambar: Dokumentasi Deddy HS
Menu nasi dengan telur dan sambal sering menjadi favorit taklekang waktu. Gambar: Dokumentasi Deddy HS
Akhirnya, saya seperti orang normal. Kira-kira begitu batin saya saat pertama kali berhasil melalui proses seminggu pasca mengonsumsi telur tanpa gejala gatal-gatal.

Maklum, ketika saya masih mengalami alergi, kulit tubuh saya penuh luka. Itu yang membuat saya pernah dianggap kudisan. Padahal bukan. Itu pula yang membuat saya memahami bahwa masih banyak orang yang tidak tahu apa itu alergi. Sungguh memprihatinkan.

Setelah berhasil menaklukkan telur, tahap "bermain" saya tiba pada arena "Ayam Goreng". Beruntung, saya lebih tua dari Ipin, sehingga saya sudah tidak iri dengan Ipin kalau dia sedang makan menu favoritnya itu.

Ternyata laju pertempuran saya dengan ayam goreng berhasil mengeluarkan saya sebagai pemenangnya. Tubuh saya menjadi ramah dengan potongan-potongan daging ayam yang biasanya juga tersajikan di acara-acara pernikahan di kampung.

Berdasarkan keberhasilan itu, saya pun resmi menjadi orang yang bisa mengonsumsi asupan protein dari mana saja. Bahkan, termasuk makanan laut. Tetapi, khusus yang ini saya masih menganggap level kesulitannya 50-50.

Menurut saya--berdasarkan yang tubuh saya alami, kadar protein pada makanan laut lebih tinggi dari ayam dan telur. Selain itu, saya juga sedang tidak tinggal di daerah yang sumber daya alamnya menyajikan ikan sebagai "teman hidup" sehari-hari. Itulah yang membuat saya masih belum akrab seperti dengan ayam dan telur.

Benar, sekarang saya sudah menjadikan ayam dan telur sebagai teman saya. Walau, sepertinya telur yang lebih akrab dengan saya. Karena, dia lebih sering mampir di piring, dan harganya juga masih terjangkau.

Menu ini sangat cocok saat hujan. :) Gambar: Dokumentasi Deddy HS
Menu ini sangat cocok saat hujan. :) Gambar: Dokumentasi Deddy HS
Selain itu, mengonsumsi telur juga tidak membuat saya bermimpi dipatuk ayam. Biasanya kalau tanggal tua dan ingin mengonsumsi ayam, pilihan paling cocok selain ceker adalah kepala ayam.

Tetapi, kalau sebelum makan mata memandang potongan kepala ayam, saya menjadi teringat dengan puluhan ayam yang pernah menjadi teman saya di rumah sewaktu kecil. Maaf ya, Yam. Nyam-nyam-nyam.

Ini difoto aja kan? Gak dimakan kan? :') Gambar: Pexels/Maxine Novick
Ini difoto aja kan? Gak dimakan kan? :') Gambar: Pexels/Maxine Novick
Oya, mengenai manfaat mengonsumsi daging ayam dan telur, saya tentu sepakat bahwa dua makanan itu sangat penting untuk nutrisi tubuh kita. Tetapi, saya juga tidak memaksakan kepada pembaca yang mungkin memiliki alergi yang tinggi (anafilaksis) terhadap daging ayam dan telur untuk mengonsumsinya.

Saya bisa seperti sekarang sangat membutuhkan proses. Butuh kesabaran untuk menahan diri dari godaan mencicipi daging ayam dan telur, walau adakalanya pula saya bandel.

Tetapi, saya tetap menganggap proses saya bisa akrab dengan menu daging ayam dan telur adalah evolusi, alih-alih revolusi. Karena, saya baru bisa mengonsumsi telur tanpa keluhan gatal-gatal ketika saya SD, sekitar kelas 5 atau 6.

Sedangkan untuk mengonsumsi daging ayam, saya baru bisa mengonsumsinya tanpa keluhan ketika sudah SMP. Itu pun dengan syarat saya tidak menjadikan daging ayam sebagai makanan sehari-hari.

Jadi, untuk menggalakkan kampanye makanan sehat dengan mengonsumsi daging ayam dan telur itu bukan fokus pada objeknya, melainkan pada proses pengenalan tubuh dengan zat makanan yang masuk ke dalam tubuh. Artinya, yang dikampanyekan adalah pentingnya asupan protein pada tubuh kita, bukan apa yang harus dimakan.

Mungkin, saya adalah orang yang beruntung di antara jutaan pemilik riwayat alergi yang survive dengan makanan yang tabu untuk tubuhnya. Dan, itu belum tentu bisa dipraktikkan oleh orang lain.

Tetapi, mungkin saja dengan pengalaman yang saya tulis, ini bisa membantu orang lain untuk menolong anaknya agar survive dengan makanan/minuman yang menyebabkan dirinya alergi. Kuncinya sabar dan perbanyak referensi, agar tidak salah melangkah. Semoga begitu.

~ Malang, 16 Desember 2020

Deddy Husein S.

Terkait: Hellosehat.com, Klikdokter.com, Alodokter.com.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun