Sebelum memulai tulisan yang mungkin tidak terlalu panjang ini, saya akan menyampaikan terima kasih banyak atas kepedulian Kompasiana terhadap UMKM atau pun keluarga tangguh yang sedang berjuang untuk bertahan di tengah gempuran pandemi covid-19. Itu terlihat dari bagaimana Kompasiana menggaet Dompet Dhuafa sebagai sponsor penyelenggaraan Kompasianival beberapa waktu lalu.
Dari situlah, saya mencari informasi terkait Dompet Dhuafa. Sebenarnya, saya tergerak untuk mencari tahu itu ketika host Kompasianival di malam penganugerahan menjelaskan, bahwa Dompet Dhuafa juga memiliki program atau menjadi media penyaluran bantuan kepada pelaku UMKM.
Awalnya, saya heran. Karena, selama ini saya hanya berpikir bahwa program peduli kaum dhuafa sebagian besar untuk bidang pendidikan dan kesehatan. Tetapi, ini tentang perekonomian. Benarkah?
Saya kemudian mencari kebenarannya dengan berkunjung ke website resmi mereka. Ternyata, memang demikian. Beberapa hasil liputan telah saya baca untuk memastikan bagaimana aksi kepedulian Dompet Dhuafa terhadap kaum pemutar roda usaha mandiri.
Ibu saya adalah pembuka warung di depan rumahnya, yang berdomisili di Tanjung Palas, Bulungan, Kalimantan Utara. Warung itu berisi banyak kebutuhan. Misalnya, kebutuhan keluarga, kesukaan anak-anak, kebutuhan bapak-bapak, sampai juga ada kebutuhan semua orang zaman sekarang, yaitu pulsa.
Sebenarnya di waktu normal, warung ini sangat menjanjikan. Terbukti, labanya bisa digunakan untuk membayar indekos anak, bisa untuk membayar pendidikan anak, dan lain-lain.
Bahkan, pendapatan paling berpengaruh adalah ketika ibu saya bisa berkunjung ke Jawa dalam beberapa hari dan kemudian kembali ke Kalimantan. Tentu, mobilisasi itu menggunakan pesawat.
Artinya, warung ibu saya tidak kaleng-kaleng walau terlihat sederhana. Tetapi, ketika pandemi muncul, kehidupan warung menjadi tersendat-sendat.
Sempat membaik ketika kasus covid-19 terlihat menurun secara nasional. Tetapi, tidak lama kemudian PSBB kembali diterapkan. Jalanan pun kembali sepi.
Situasi semakin parah ketika sedang memasuki musim penghujan. Jangankan di musim penghujan, ketika kalender nasional sedang menandakan musim kemarau pun di sana masih sering hujan.
Ketika hujan itulah warung biasanya sepi. Apalagi, di sana hujannya juga awet. Maka, tidak heran jika sedang hujan, ibu saya selalu menghubungi saya untuk memberikan kabar. Saya pun membalasnya dengan harapan semoga cuaca segera cerah.
Namun, ketika situasi sekarang ditambah dengan pandemi, saya pun sampai kehabisan kata-kata untuk membalas kabar dari ibu. Tetapi, setiap pagi atau siang, saya selalu berusaha memberikan semangat, dan tentunya harapan agar cuaca selalu cerah dan warung ramai.
Hanya, permasalahannya ternyata tidak hanya pada cuaca dan minimnya orang yang berbelanja ke warung. Tetapi, tentang isi warung yang semakin lama semakin "menyublim". Mengapa bisa demikian?
Kalaupun bisa, pasti semakin sedikit. Karena, orangnya juga pasti butuh makan, bukan? Itu artinya akan membuat isi warung secara perlahan juga menyusut.
Kedua, karena penyokong modal usaha mulai tidak mampu memberikan bantuan dana, dan malah fokus untuk menagih angsuran dana yang telah dipinjamkan. Padahal, saat pandemi seperti ini apakah ada gerai-gerai usaha mandiri yang mampu memiliki pemasukan selancar biasanya? Pasti tidak.
Itulah yang membuat modal usaha bisa semakin sedikit. Ketika modal sudah menipis, maka apa yang bisa diharapkan untuk tetap menjaga usaha mandiri itu tetap beroperasi?
Ketiga, karena minimnya pemasukan cadangan. Orang yang hebat dalam berbisnis sekalipun kalau tidak memiliki pemasukan cadangan, maka usaha mandirinya juga akan sulit untuk bertahan, alih-alih berkembang.
Itu semakin parah ketika ada pandemi. Banyak lahan pekerjaan yang bertipe "top-down" yang semakin tidak jelas arahnya. Kadang ada, kadang juga tidak ada panggilan untuk bekerja.
Kalaupun ada yang masih membuka peluang bekerja, mereka juga kesulitan untuk menggaji pekerjanya dengan tenggat waktu yang tepat. Perlu diketahui, sistem gaji untuk pekerja bangunan atau proyek di sana, khususnya yang dikerjakan oleh ayah saya, ternyata tidak bisa dilakukan setiap hari Sabtu atau Jumat sore.
Penggajiannya sering diberikan di akhir proyek pembangunan. Bayangkan, jika pekerjaan itu baru selesai sebulan-dua bulan, kira-kira uang makannya dari mana?
Itulah yang membuat usaha mandiri yang didirikan ibu saya semakin reyot. Tidak hanya digempur oleh pandemi, tetapi juga digerogoti oleh kebutuhan hidup yang terus berjalan.
Dari situlah, saya pun masih berharap dapat memberikan bantuan kepada ibu saya, agar warungnya tidak ikut menyublim. Caranya, tentu dengan menghubungi pihak Dompet Dhuafa, dan beruntung telah mendapatkan tanggapan yang positif dan arahan yang jelas.
Tinggal, kini menunggu proses selanjutnya yang saat ini sedang saya kerjakan, yaitu menghimpun data rinci tentang usaha ibu saya untuk dikirim ke pihak Lembaga Pelayanan Masyarakat. (Semoga berhasil!)
Melalui tulisan ini pula, saya berharap keluarga kecil yang saya ibaratkan sebagai kapal kecil ini tetap dapat bertahan kuat. Tetap mampu berlayar, hingga menuju tepian idaman kelak.
Keluarga ini juga harus mampu menjadi salah satu keluarga tangguh. Semoga.
~ Malang, 14 Desember 2020
Deddy Husein S.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H