"... belilah pakaian karena kebutuhan bukan tren."
Setelah beberapa kali membaca tulisan tentang pakaian bekas, saya mulai berpikir. Apakah hanya saya yang tidak ingin membeli pakaian bekas?
Terlepas dari urusan ekonomi, saya memikirkan hal lain tentang pakaian bekas. Bekas, artinya pernah dipakai orang lain, dan saya harus mau memakainya.
Sebenarnya, saya juga pernah memakai pakaian bekas, tapi punya teman. Itu pun pinjam, walau ujung-ujungnya jarang yang kembali ke empunya.
Biasanya saya pinjam karena terdesak, seperti habis kena hujan, lalu saya harus ganti baju agar tidak masuk angin--biasanya belum sampai di tempat kos. Atau, karena kebutuhan dan ukuran. Biasanya ada yang memang meminjamkan sekaligus ingin diberikan, karena si pemilik sudah makmur badannya.
Bahkan, jika ditarik ke belakang, saya juga tidak jarang mendapatkan hibah pakaian bekas dari orang lain yang kebetulan memang mengenal saya, dan tahu bahwa suatu saat akan membutuhkan pakaian itu. Kebanyakan pakaian yang diberikan ke saya adalah kemeja.
Namun, seiring berjalannya waktu dan berpindahnya tempat tinggal, saya mulai jarang mendapatkan hibah pakaian bekas. Itu artinya, saya sudah harus membeli pakaian sendiri jika memang sangat membutuhkannya.
Saya mulai membeli pakaian sendiri sekitar kelas 12 akhir, alias menjelang lulus SMA. Itu pun mengandalkan uang angpao dari hari raya. Dan, tentu saja saya hanya mampu membeli 1-2 pakaian saja, yaitu kaos dan jaket.
Baru ketika menjelang pergi merantau saya kembali membeli pakaian, yaitu jaket lagi. Saya pikir, nanti di kota yang berbeda saya akan sering ke luar dan butuh pakaian hangat.
Walaupun, keputusan saya membeli pakaian penuh rasa khawatir, tetapi saya malah merasa ada untungnya. Setidaknya, saya sudah tahu bagaimana cara membeli pakaian sendiri.
Biasanya saya memang dibelikan orang tua, dan itu membuat saya terbiasa terima-pakai. Saya tidak tahu harga, apalagi harus menawar. Sungguh bukan kemampuan saya.
Itulah yang membuat saya ingin berlatih untuk belanja pakaian sendiri. Sekaligus belajar mengenali selera.
Walaupun saya tidak pernah kecewa dengan pilihan orang tua, tetapi saya masih abu-abu terkait selera. Apa betul selera saya seperti itu?
Akhirnya, pertanyaan itu mulai terjawab saat saya sudah tinggal di kota lain. Tinggal berpisah dengan orang tua, dan mulai memegang uang sendiri.
Saat seperti itu, saya juga mulai melihat kebutuhan tentang pakaian. Mungkin, bagi orang lain saya seperti "burung baru lepas dari sangkar", karena cukup sering berbelanja pakaian.
Tetapi, saya pikir itu adalah kebutuhan. Walaupun, tidak menutup kemungkinan akan ada pakaian-pakaian tertentu yang pada akhirnya 'mangkrak'.
Biasanya yang mulai jarang dipakai karena sifat pakaiannya yang cenderung bergantung pada momen. Seperti jaket tebal yang biasanya baru dipakai saat hawanya sangat dingin, dan ketika sedang bepergian ke wahana alam seperti hutan dan pantai--kalau malam pantai itu dingin bos.
Jika saya tidak beli, apakah saya bisa meminjam jaket orang lain yang biasanya mempertimbangkan ukuran?
Itulah mengapa, akhirnya saya berbelanja pakaian. Dan, ketika saya berbelanja pakaian, ada faktor-faktor tertentu yang mendasari pilihan saya.
1. Harganya terjangkau dan tanpa tawar-menawar, 2. Kegunaannya, 3. Warnanya, 4. Modelnya, 5. Ukurannya.
Lima hal itu kemudian mengarahkan saya ke toko serba ada yang besar, alias swalayan. Biasanya swalayan terdapat satu lantai khusus yang menyediakan fesyen.
Walaupun secara kebutuhan dan selera fesyen biasanya tersedia di mall, tetapi saya sering meninjaunya ke swalayan. Minimal mencari alternatifnya.
Selain itu, di swalayan juga menyediakan harga yang variatif--dari mahal ke murah. Saya bawa berapa rupiah, maka saya masih bisa membawa pulang barang yang saya butuhkan dengan harga terjangkau dan tanpa repot menawar.
Satu hal yang paling banyak terlihat di lantai fesyen swalayan adalah mereknya. Sebagian besar adalah merek lokal. Atau, yang berafiliasi dengan China--mungkin bahannya.
Artinya, pakaian yang saya beli sebagian besar merek lokal. Bukan KW. Kalaupun ada yang KW, biasanya berjenis kaos bola (jersey). Itu memang sengaja saya beli untuk dipakai di rumah atau menjadi dalaman--penghangat badan--di balik kemeja/jaket saat ke luar.
Satu hal lain yang pasti ketika saya beli pakaian di swalayan adalah barang baru. Sekalipun kualitasnya kurang bagus, tetapi itu dijamin baru.
Itulah mengapa, saya kemudian memikirkan tentang apa yang membuat orang lain masih senang membeli pakaian bekas. Poin yang perlu digarisbawahi adalah membeli. Kalau mendapatkan hibah, lain cerita. Tetapi, ini membeli.
Setelah saya amati, sebagian besar faktornya adalah merek dan kualitas. Bonusnya kalau ternyata itu pernah dipakai atau mirip pakaian sosok idola.
Berhubung mereknya sebagian besar adalah merek nonlokal, lalu ditunjang dengan harga aslinya yang mahal, maka yang dinantikan adalah harga murahnya dengan status pakaian bekas.
Secara pribadi, saya tidak mempermasalahkan mereka yang membeli pakaian bekas, tetapi saya heran saja. Karena, selama itu fungsinya untuk menutupi tubuh, mengapa harus bekas? Apalagi, harus beli.
Soal harga pun, saya juga merasa pakaian baru yang harganya murah tidak sedikit. Memang, pada akhirnya muncul dua label, yaitu merek lokal dan produk KW.
Apakah orang yang membeli pakaian bekas dan kebetulan mereknya terkenal dengan jaminan kualitas bagus itu "anti" dengan dua label itu?
Berhubung saya mulai galau, akhirnya muncullah ide untuk melemparkan suatu ilustrasi tentang seorang konsumen pakaian yang dihadapkan pada dua pilihan dengan satu syarat. Harga murah.
Teman pertama, dia memilih produk baru merek lokal dibandingkan produk bekas merek internasional. Pertimbangannya selain lebih higienis, produk lokal juga tidak selamanya kalah kualitasnya dengan merek terkenal dari mancanegara.
Saya tidak bisa membayangkan kalau pemilik sebelumnya berantakan, berpanu, dan sejenisnya. Tentu, harga murah yang saya dapatkan akan menjadi petaka di kemudian hari.
Bukankah pakaiannya bisa disterilisasi?
Pertanyaan itu saya lemparkan ke teman ketiga, dan dia menjawab bahwa hal itu tidak sepenuhnya menjamin.
Lalu, pagi harinya saya mendapatkan jawaban dari teman keempat. Dia juga memilih pakaian baru merek lokal, alih-alih pakaian bekas. Dia pun mengaitkannya dengan situasi sekarang yang dilanda covid-19.
Bahkan, saya dulu memikirkan tentang risiko tertular penyakit kelamin. Sebelum ada covid-19, ketakutan saya justru terletak pada penularan virus--salah satunya--HIV/AIDS. Walaupun, dikabarkan penularannya baru "ampuh" lewat (maaf) bersenggama, atau cairan dari dalam tubuh.
Tetapi, namanya orang awam dan ingin tetap baik-baik saja, tentu selalu berupaya menghindari risiko-risiko terkecil--walau belum tentu aman dari risiko lainnya. Itulah mengapa, ketika maraknya topik orang berburu pakaian bekas, saya terheran-heran.
Apakah hanya saya yang katro?
Jika kemudian ada kaitannya dengan gerakan menyelamatkan bumi dari sampah tekstil. Apakah kemudian dengan transaksi pakaian bekas akan membuat produksi pakaian baru terhenti?
Contoh paling mudah bagi kalangan pencinta sepak bola adalah produksi jersey bola. Setiap tahun pasti keluar produk yang baru--walau desainnya berinovasi dari yang lama.
Selain itu, ada pertimbangan lain yang membuat saya masih enggan membeli pakaian bekas. Kejujuran status ekonomi.
Menurut saya, ketika saya menggunakan pakaian bermerek internasional sekalipun itu bekas, orang lain tidak peduli dengan label pakaian bekasnya. Orang lain akan lebih memikirkan tentang merek itu. Bahkan, sekalipun KW.
Namun, "kelebihannya" pakaian KW, mereka lebih bisa dideteksi. Si pemakainya pun akhirnya tidak perlu membuat klarifikasi.
Bahkan, sebenarnya saya lebih senang menggunakan (misalnya) jersey KW, karena memang itulah batas kemampuan saya. Itu pula yang membuat saya teringat dengan pepatah Bob Sadino, dan pepatahnya akan menutup tulisan ini.
"Bergayalah sesuai isi dompetmu", dan jangan lupa pilih pakaian karena kebutuhan bukan tren.
~ Malang, 2-12-2020
Deddy Husein S.
***
Catatan penting: Tulisan ini tidak bermaksud menahan atau mengganggu peluang bisnis teman-teman yang bergerak di bidang fesyen pakaian bekas. Karena, membeli pakaian itu juga berdasarkan selera dan prinsip, yang artinya tidak semua orang sama. Kalau ada yang sama, mungkin kebetulan.
Tulisan ini juga tidak bermaksud menolak gerakan melindungi lingkungan dari limbah tekstil. Karena, itu juga bagus. Hanya, apakah produksi tekstil akan berkurang? Bukankah ada orang-orang yang hidup bergantung dari produksi tekstil?
Informasi penting:
Grid.id, Zerowaste.id, Garuda.ristekbrin.go.id. (Seputar fesyen dan limbah tekstil)
Merdeka.com, Detik.com 1, Detik.com 2, PKBI.or.id, Klikdokter.com. (Seputar pakaian bekas dan virus)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI