Lalu, pagi harinya saya mendapatkan jawaban dari teman keempat. Dia juga memilih pakaian baru merek lokal, alih-alih pakaian bekas. Dia pun mengaitkannya dengan situasi sekarang yang dilanda covid-19.
Bahkan, saya dulu memikirkan tentang risiko tertular penyakit kelamin. Sebelum ada covid-19, ketakutan saya justru terletak pada penularan virus--salah satunya--HIV/AIDS. Walaupun, dikabarkan penularannya baru "ampuh" lewat (maaf) bersenggama, atau cairan dari dalam tubuh.
Tetapi, namanya orang awam dan ingin tetap baik-baik saja, tentu selalu berupaya menghindari risiko-risiko terkecil--walau belum tentu aman dari risiko lainnya. Itulah mengapa, ketika maraknya topik orang berburu pakaian bekas, saya terheran-heran.
Apakah hanya saya yang katro?
Jika kemudian ada kaitannya dengan gerakan menyelamatkan bumi dari sampah tekstil. Apakah kemudian dengan transaksi pakaian bekas akan membuat produksi pakaian baru terhenti?
Contoh paling mudah bagi kalangan pencinta sepak bola adalah produksi jersey bola. Setiap tahun pasti keluar produk yang baru--walau desainnya berinovasi dari yang lama.
Selain itu, ada pertimbangan lain yang membuat saya masih enggan membeli pakaian bekas. Kejujuran status ekonomi.
Menurut saya, ketika saya menggunakan pakaian bermerek internasional sekalipun itu bekas, orang lain tidak peduli dengan label pakaian bekasnya. Orang lain akan lebih memikirkan tentang merek itu. Bahkan, sekalipun KW.
Namun, "kelebihannya" pakaian KW, mereka lebih bisa dideteksi. Si pemakainya pun akhirnya tidak perlu membuat klarifikasi.