Walaupun secara kebutuhan dan selera fesyen biasanya tersedia di mall, tetapi saya sering meninjaunya ke swalayan. Minimal mencari alternatifnya.
Selain itu, di swalayan juga menyediakan harga yang variatif--dari mahal ke murah. Saya bawa berapa rupiah, maka saya masih bisa membawa pulang barang yang saya butuhkan dengan harga terjangkau dan tanpa repot menawar.
Satu hal yang paling banyak terlihat di lantai fesyen swalayan adalah mereknya. Sebagian besar adalah merek lokal. Atau, yang berafiliasi dengan China--mungkin bahannya.
Artinya, pakaian yang saya beli sebagian besar merek lokal. Bukan KW. Kalaupun ada yang KW, biasanya berjenis kaos bola (jersey). Itu memang sengaja saya beli untuk dipakai di rumah atau menjadi dalaman--penghangat badan--di balik kemeja/jaket saat ke luar.
Satu hal lain yang pasti ketika saya beli pakaian di swalayan adalah barang baru. Sekalipun kualitasnya kurang bagus, tetapi itu dijamin baru.
Itulah mengapa, saya kemudian memikirkan tentang apa yang membuat orang lain masih senang membeli pakaian bekas. Poin yang perlu digarisbawahi adalah membeli. Kalau mendapatkan hibah, lain cerita. Tetapi, ini membeli.
Setelah saya amati, sebagian besar faktornya adalah merek dan kualitas. Bonusnya kalau ternyata itu pernah dipakai atau mirip pakaian sosok idola.
Berhubung mereknya sebagian besar adalah merek nonlokal, lalu ditunjang dengan harga aslinya yang mahal, maka yang dinantikan adalah harga murahnya dengan status pakaian bekas.
Secara pribadi, saya tidak mempermasalahkan mereka yang membeli pakaian bekas, tetapi saya heran saja. Karena, selama itu fungsinya untuk menutupi tubuh, mengapa harus bekas? Apalagi, harus beli.
Soal harga pun, saya juga merasa pakaian baru yang harganya murah tidak sedikit. Memang, pada akhirnya muncul dua label, yaitu merek lokal dan produk KW.