Sebagai penonton sepak bola, khususnya Liga Inggris (Premier League), saya tentu juga mengikuti perkembangan tentang Arsenal. Klub yang dulunya sangat identik dengan Arsene Wenger itu kini telah dilatih oleh Mikel Arteta.
Ketika awal kedatangan Arteta---Januari 2020, klub asal London Utara itu terlihat cukup baik. Khususnya di akhir musim, mereka bisa menyelamatkan diri untuk berkompetisi di Eropa dengan menjuarai Piala FA 2020.
Bahkan, awal musim 2020/21 mereka sudah mengawalinya dengan juara Community Shield dengan mengalahkan Liverpool--adu penalti. Itu membuat ada optimistis pada kubu Arsenal bersama Arteta.
Satu hal penting yang terjadi pada kebersamaan Arsenal dengan Arteta adalah lini belakangnya. Pertahanan The Gunners mulai terlihat sulit ditembus. Pemandangan itu semakin terlihat ketika Arsenal kedatangan Gabriel Magalhaes.
Duetnya dengan David Luiz atau Rob Holding sering membuat Arsenal terlihat berbeda dari biasanya. Itu pernah diakui oleh Raheem Sterling, kala klubnya, Manchester City bertemu Arsenal (17/10).
Mereka hanya mampu menang dengan skor tipis 1-0 lewat gol Sterling. Berdasarkan itu, kita mulai tahu apa yang sedang dikerjakan oleh Arteta di awal musim ini--yang bisa disebut musim miliknya. Fokus timnya adalah memperbaiki kinerja pertahanan.
Namun, secara perlahan kelebihan itu mulai tertutupi oleh kekurangan lainnya, yaitu tentang kemampuan menyerang dan mencetak gol.
Awal dari kritikan kepada Arsenal dimulai di laga menjamu Leicester City (26/10). Mereka terlihat mampu menguasai pertandingan, tapi tidak kunjung menciptakan gol.
Seiring berjalannya menit, itu membuat permainan Arsenal mulai kendor dan kurang terarah. Bisa saja para pemain sedang frustrasi dengan peluang yang gagal menjadi gol.
Ketika itu terjadi, Leicester yang selalu suka bermain bertahan dan mengincar serangan balik kala berhadapan dengan Arsenal, memanfaatkan konsentrasi yang buyar itu dengan serangan-serangan kilat. Hingga akhirnya, terjadilah gol tunggal laga itu yang dicetak Jamie Vardy.
Sejak itu, Arsenal mulai diragukan untuk bermain bagus. Khususnya, dalam menyerang dan mencetak gol. Nama Mesut Ozil pun sempat diungkit oleh media massa. Karena, Arsenal memang sering terlihat buntu, tidak kreatif, dan tidak efektif.
Namun, kekhawatiran itu dihapus oleh hasil di Liga Europa. Mereka menang 3-0 atas Dundalk (30/10). Walau kemudian dianggap inferior ketika akan berhadapan dengan Manchester United (1/11).
Penyebabnya adalah keberhasilan Manchester United menang besar atas RB Leipzig. Skornya pun tidak main-main, 5-0.
Artinya, Manchester United tidak hanya terlihat bangkit secara kekuatan di lini depan, tapi juga di lini belakang. Itu bisa menjadi masalah besar bagi Arsenal.
Tetapi, kelebihan Arsenal berbicara di laga ini, yaitu kemampuan bertahan. Keuletan pertahanan Arsenal mampu meredam pemain-pemain yang sempat diviralkan dalam sehari-semalam itu.
Arsenal pun terlihat lebih kreatif, walau ada satu hal yang membuat prihatin, yaitu kemampuan mencetak gol. Seperti yang sebenarnya sudah kita ketahui sejak kedatangan Pierre-Emerick Aubameyang, bahwa Arsenal langsung bergantung pada ketajaman striker eks-Borussia Dortmund itu.
Hanya, hal itu tidak disadari sebagai permasalahan laten selama Aubameyang terus mencetak gol. Apalagi, Aubameyang terindikasi bisa tampil moncer karena ingin membuktikan diri bahwa dia adalah striker kelas atas.
Saat itu, Aubameyang seperti berdemonstrasi, baik kepada Arsenal maupun klub lain. Sampai akhirnya Arsenal berjuang untuk mempertahankan Aubameyang di Emirates Stadium. Kontrak baru diteken, dan seketika Aubameyang melempem.
Pemandangan ini seperti ketika Manchester United mematenkan Ole Gunnar Solskjaer sebagai pelatih. Seketika, penampilan Bruno Fernandes dkk. tidak seganas saat Solskjaer masih menjadi caretaker.
Namun, untuk kasus Aubameyang ini terlihat lebih menyedihkan. Karena, Arsenal sedang tidak memiliki pemain lain yang setara dengannya. Kalaupun ada, dia sedang menurun juga performanya.
Pemain yang dimaksud adalah Alexandre Lacazette. Penyerang asal Prancis itu tidak bisa dijadikan tumpuan mencetak gol seratus persen. Dia lebih cocok menjadi kejutan. Terkadang dia bisa mencetak gol untuk mengejutkan publik, atau untuk memastikan dominasi Arsenal di laga itu.
Artinya, dia sulit untuk diprediksi apakah akan mencetak gol atau tidak. Berbeda dengan Aubameyang, yang pernah berada di tren bagus, sekaligus dapat diprediksi pasti mencetak gol. Hanya, sayangnya saat ini Aubameyang seperti sedang "bersantai".
Jika kemudian publik meributkan posisi bermain Aubameyang, apa kabar dengan musim lalu dan musim awal dia membela Arsenal. Saat itu, dia juga dimainkan di posisi sayap kiri, karena di tengah pernah ada Olivier Giroud atau juga memang untuk Lacazette.
Bahkan, Lacazette bisa terlihat sebagai "tumbal" untuk ketajaman Aubameyang. Karena, dengan Lacazette sebagai ujung tombak, Aubameyang menjadi sulit dikawal.
Contoh paling nyata dari keuntungan Aubameyang di posisi sayap kiri adalah seperti golnya di laga Community Shield. Dia dapat bola di sudut kanan pertahanan--tanpa pengawalan, membuat bek lawan segera menutup sudut itu, tetapi dia bisa bergerak ke arah dalam lalu memosisikan bola untuk ditendang ke sudut jauh.
Pola itu jelas tidak akan terjadi jika Aubameyang menjadi ujung tombak. Bahkan, keberhasilannya menjadi topskor di EPL musim 2018/19 juga karena posisinya di situ, bukan di ujung tombak.
Perdebatan tentang posisi pemain yang dikaitkan dengan kesuburan pemain bisa ditinjau dengan pemain lain di beberapa liga. Apakah Griezmann tajam ketika ditempatkan sebagai penyerang utama? Apakah Messi yang selama ini menjadi tumpuan gol Barcelona bermain sebagai target man?
Justru dewasa ini banyak penyerang yang produktif karena posisinya tidak di tengah. Kecuali pemain seperti Zlatan Ibrahimovic, Erling Haaland, hingga Robert Lewandowski.
Bahkan, ketajaman Marcus Rashford di Manchester United, karena dia selalu bergerak melebar. Coba dia seperti Romelu Lukaku--saat masih di Man. United--yang harus di tengah, maka ceritanya pasti berbeda. Itu pula yang terjadi pada rekannya, Anthony Martial.
Tentu tidak boleh lupa juga pada Roberto Firmino yang selalu menjadi "korban" untuk meledakkan kualitas Mohamed Salah dan Sadio Mane di Liverpool. Artinya, kalau ada permasalahan terkait posisi pemain untuk menjadi alasan produktivitas si pemain, itu tidak akurat.
Bahkan, perbandingan terkait produktivitas Aubameyang saat bersama Dortmund dengan sekarang (Arsenal) juga tidak relevan. Di Bundesliga, pertahanan klub masih bisa ditembus dengan serangan balik dari tengah, karena bek tengah di sana sering kalah akselerasi.
Mereka yang unggul dalam akselerasi, pasti ingin menyisir sisi sayap, alih-alih di tengah. Itulah mengapa posisi Aubameyang cocok di sisi sayap. Bahkan, di awal kedatangannya dia sangat sering kalah adu badan, juga cenderung main aman.
Dari situ, saya pikir para pengkritik terkait posisi Aubameyang bisa saja jarang menonton, atau hanya fokus pada skor. Bukan pada bagaimana jalannya pertandingan, termasuk bagaimana keuntungan yang didapatkan Aubameyang saat dia bermain di sayap.
Itu semakin terbukti ketika Aubameyang dicoba untuk bermain di tengah, seperti di laga kontra Wolverhampton (30/11). Apa hasilnya?
Pasti manajer akan menginginkan hasil akhir yang positif. Itulah yang membuat saya tidak mengkritisi posisi Aubameyang di dalam formasi.
Karena, poin penting di awal musim ini adalah proses, yaitu prosesnya Arsenal penuh dengan Arteta. Musim kemarin adalah kolaborasi antara Unai Emery--Freddie Ljungberg--dan Arteta.
Hasilnya, seperti yang sudah kita ketahui. Lalu, bagaimana dengan musim ini?
Misalnya, dalam hal bertahan. Arsenal kini jauh lebih baik. Mereka memang sudah terbantai 3 gol lewat kekalahan memalukan dari Aston Villa. Tetapi, itu masih lebih baik dari Liverpool (kalah 7-2).
Jika kemudian Arsenal dituntut langsung hebat di segala hal, itu jelas sebuah perampokan yang diarahkan ke Arteta. Sebagai pelatih muda, debutan, sekaligus musim pertamanya memegang klub dari awal musim, jelas butuh tahap demi tahap. Tidak bisa langsung "buka sithik jos".
Jurgen Klopp bisa juara EPL juga dengan proses. Liverpool juga pernah berada di fase memalukan atau meraih rekor-rekor buruk dengan Klopp. Tetapi, Liverpool tetap butuh Klopp hingga saat ini.
Begitu juga dengan Manchester City yang walaupun masih penasaran dengan trofi Liga Champions, mereka tetap butuh Pep Guardiola. Siapa lagi yang bisa menjamin kualitas permainan untuk Man. City selain Pep untuk saat ini?
Artinya, semua klub butuh proses, sekalipun itu harus mencicipi rekor-rekor buruk. Rekor buruk itu baru terlihat setelah rekor baik tercipta. Artinya, keberadaan rekor buruk akan mendorong adanya perbaikan. Itulah yang pasti dipikirkan oleh Arteta saat ini.
Salah satu bukti dari pemikiran itu adalah ketika Arsenal bisa mengalahkan Man. United di Old Trafford. Dia menyembunyikan rekor buruk tandang Arsenal di markas The Red Devils, karena ingin melihat para pemain tanpa beban dan fokus pada pertandingan itu saja.
Dari situ terlihat, bahwa sebagian besar dari publik penggemar sepak bola hanya fokus dengan hasil laga, bukan dengan apa yang ada di lapangan. Ketika sebuah tim kalah, yang dicari adalah kelemahan-kelemahannya. Kalau menang, yang dicari kelebihan-kelebihannya.
Padahal, belum tentu sebuah tim kalah karena 90 menit main buruk. Bisa saja sebuah tim kalah karena 10 menit, 15 menit, hingga 20 menit main buruk, dan itu di menit-menit krusial.
Artinya, melalui tulisan ini, saya hanya ingin menyampaikan suara yang berbeda, bahwa Arteta belum saatnya mendapatkan ultimatum dari tim manajemen. Justru, tim manajemen Arsenal yang harus memberikan perjanjian, bahwa mereka akan melakukan transfer pemain untuk Arteta--seperti transfer Januari Bruno Fernandes di Manchester United untuk Solskjaer.
Bagaimana dengan penggemarnya?
Aduh, sabar saja kawan-kawan. Tidak ada proses yang menyenangkan. Semua hal yang menyenangkan di mata kita itu terlihat karena sudah dipilih oleh orang yang sudah merasa berhasil dan ingin menunjukkannya ke orang lain.
Jarang, ada orang yang membagikan proses berdarah-darahnya ke publik. Itulah mengapa, saya sangat menyukai sepak bola atau olahraga, karena di sanalah kita bisa melihat yang namanya proses dan harus berdarah-darah di lapangan, bukan di media sosial.
Deddy Husein S.
Terkait:
Detik.com, Bola.com, Detik.com 2, Okezone.com, Kompas.com, Bola.net.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H