Itu membuatnya hengkang, dan sempat ke Ducati sebagai pembalap penguji juga. Namun, Stoner juga menemukan kendala di sini yaitu tentang masukan yang tidak didengarkan oleh tim.
Menurutnya, setiap pembalap pasti memiliki kebutuhannya sendiri, apalagi saat itu Ducati sudah memiliki Jorge Lorenzo. Lorenzo dikenal memiliki gaya balap khas.
Hal ini membuat pembalap penguji berada dalam ruang dilematis. Ingin diam saja, tapi dia dibutuhkan oleh pembalap. Namun ketika ingin memberi masukan, tim ternyata memiliki parameter sendiri.
Permasalahan tentang pembalap penguji memang terlihat diam-diam menghanyutkan. Hanya, kasus Stoner ini tidak sama dengan apa yang dialami Lorenzo saat ini.
Selain dalih finansial dan kebugaran, Yamaha memang masih sangat mempercayakan pengembangan motor pada tim di Jepang. Ini membuat pembalap penguji siapa pun akan kesulitan.
Mereka jelas tidak akan bisa berbuat apa-apa. Karena, yang lebih di atasnya saja (baca: Lin Jarvis) juga terlihat tidak memiliki keputusan yang lebih menguntungkan bagi pembalap, alih-alih pengujinya.
Itulah mengapa, akhirnya keputusan berpisahnya Yamaha dengan Lorenzo terlihat tidak begitu mengejutkan. Namun, apakah keputusan itu tepat?
Berpisah dengan Lorenzo memang bisa membuat kantong kas Yamaha sedikit bernapas lega. Tetapi, selama Lorenzo adalah manusia, maka seharusnya masih bisa ada kompromi terkait gaji.
Nasi pun sudah telanjur dimakan, bersama lauk dan sayur lodehnya. Artinya, Lorenzo memang harus kembali berpisah dengan tim yang membesarkannya, dan semakin sulit untuk kembali.
Yamaha memilih merekrut Cal Crutchlow yang dulu pernah menjadi pembalapnya di tim satelit Tech3. Pergantian ini pun memunculkan tanda tanya, apakah Yamaha untung atau malah buntung?