Saat melakukan pengukuran dan perbandingan itu kemudian kita menemukan apa saja yang berbeda. Tentu, kita tetap fokus pada pendidikan dan guru.
Saya mengilustrasikannya dengan masa pendidikan 2000-an dengan masa 2010-an awal. Saat itu, saya masih berstatus sebagai pelajar.
Ketika SD, saya mengalami perihal yang sedang menarik dan populer pada anak-anak. Saat itu, hal paling menarik adalah bermain dan membaca komik.
Bermain di sini objeknya seperti ular-tangga, lompat tali, gundu, kartu kwartet, dan lain-lain. Pokoknya permainan yang ada saat itu harus beramai-ramai dan secara langsung berkumpul di satu tempat.
Namun, bagi anak-anak yang cepat mahir membaca atau punya ketertarikan ke dunia membaca, maka perihal yang menyenangkan selain bermain dengan teman sebaya adalah membaca komik. Apa pun jenis komiknya, yang paling penting adalah sesuai dengan ketertarikan anak tersebut.
Saat kesenangan itu terjadi dan melanda semua anak-anak, maka permasalahan di sekolah juga terjadi. Ada anak yang nilainya tidak kunjung bagus, karena jarang mengerjakan PR, alias bermain terus. Ada juga anak yang peringkatnya tidak bagus, karena terlalu sering membaca komik daripada membaca buku pelajaran.
Bagaimana dengan remaja, alias pelajar SMP? Aktivitas berbasis kegemaran pun berkembang dan malah banyak jenisnya.
Misalnya, kegemaran dalam mendengarkan radio. Pada saat itu, masih ada tren tentang radio yang memperdengarkan lagu-lagu cinta. Kemudian para remaja hanyut dalam lirik-liriknya, dan turut mempraktikkan cinta-cintaan yang biasanya disebut 'cinta monyet'.
Belum lagi dengan kegemaran menonton sinetron-sinetron bertema ABG yang mulai marak, dan membuat para remaja ingin menirunya di lingkungan sekolah. Salah satunya dengan membuat geng-gengan.
Hal semacam ini bisa memengaruhi konsentrasi pelajar yang kemudian juga membuat mereka malah cenderung suka membuat sensasi dan drama di lingkungan sekolah. Para guru jelas harus meredam situasi ini agar tidak menjadi lebih pelik.