Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

"Anak Cepat Dewasa", Bukan Itu Masalahnya

21 November 2020   22:01 Diperbarui: 21 November 2020   23:49 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penyaluran informasi saat ada komunikasi itu penting. Gambar: Pexels/Christina Morillo

Ketika tulisan ini dibuat, penulisnya masih belum menikah. Masih lajang, masih muda, masih bisa lari cepat minimal 100 m. Walaupun, tidak bisa dipungkiri juga kalau wajahnya mulai sudah cocok dipanggil "pak". Apalagi, saat masuk ke minimarket dan menghampiri kasir.

Tetapi, bukan itu yang akan dibahas, melainkan tentang anak. Tulisan ini berangkat dari upaya mengilas-balik riwayat penulis sejak kecil sampai sekarang. Tentu, dengan tidak mengulasnya secara detail. Hanya bagian tertentu yang perlu diketahui oleh orang lain.

Sejujurnya, penulis merasa heran ketika ada kekhawatiran yang kabarnya menyelinap di benak para orang tua tentang anaknya. Kekhawatiran itu berupa anak yang cepat dewasa.

Tanggapan saat membaca topik itu adalah, "Memangnya kenapa? Ada masalah dengan anak yang cepat dewasa?"

Penulis menanggapi demikian, karena anak yang cepat dewasa sebenarnya tidak sepenuhnya buruk. Justru, para orang tua perlu bersyukur jika memiliki anak yang cepat dewasa. Mengapa?

Pertama, anak akan lebih mudah menangkap pesan-pesan orang tuanya. Sekalipun anak itu terlihat bandel, dia pasti akan mengerti maksud perkataan orang tuanya. Mungkin tidak ditunjukkan secara langsung atau saat itu juga, melainkan nanti, entah kapan. Tapi, itu pasti.

Kedua, anak akan dapat menjadi teman berbicara, tidak hanya menjadi pendengar. Hal ini bisa terjadi, karena tidak semua orang tua dapat menjalani hidup berumah tangga secara utuh selamanya.

Ilustrasi orang tua yang butuh waktu untuk berbicara dengan anaknya. Gambar: Pexels/August de Richelieu
Ilustrasi orang tua yang butuh waktu untuk berbicara dengan anaknya. Gambar: Pexels/August de Richelieu
Di antara sekian orang tua, pasti ada yang single parent. Orang tua yang berstatus single parent inilah yang biasanya butuh teman berbicara di rumah. Dan, ketika ia memiliki anak yang cepat dewasa, alias mengerti apa yang ingin dibicarakan orang tuanya, itu adalah berkah luar biasa di tengah savana luas yang entah kapan akan merimbun.

Ketiga, anak yang cepat dewasa akan segera belajar dari kesalahan. Inilah yang sebenarnya paling sering diperhatikan oleh orang tua dan membuat mereka ketakutan dengan anak yang cepat dewasa. Membuat kesalahan.

Kesalahannya pun terkadang sangat fatal. Tetapi, justru karena kefatalan itu dan terjadi secara dini--mendahului kewajarannya, si anak juga punya waktu untuk dapat memperbaiki dirinya.

Kita ambil contoh yang paling mendekati status penulis sebagai laki-laki, yaitu merokok. Merokok saat masih kecil, entah SD atau SMP, itu tidak hanya terjadi saat ini, tapi sudah sejak tahun 2000-an sudah ada praktik itu.

Saat hal itu terjadi pada anak-anak yang biasanya laki-laki, itu sebenarnya bukan representasi dari anak yang cepat dewasa. Justru, itu adalah representasi anak-anak yang hanya ingin seperti orang dewasa. Apa maksudnya?

Menurut penulis, anak bisa disebut cepat dewasa jika itu berkaitan dengan pola pikir (mindset) bukan hanya tindakan dan pascakejadian (dampak). Jika anak cenderung bertindak saja, tanpa tahu apa penyebabnya, itu namanya masih anak-anak yang belum dewasa.

Berbeda dengan anak yang tahu alasan di balik tindakannya. Misalnya, dia ingin tahu bagaimana rasanya menjadi lelaki dewasa lalu bisa merokok. Apakah enak atau sebaliknya?

Minimal, pola pikirnya seperti itu. Jika kemudian ia berhasil mewujudkannya, maka dia akan menemukan runtutan proses dan logikanya.

Jika ternyata prosesnya mudah, maka dia akan berpikir, bahwa menjadi orang dewasa ternyata mudah. Tapi, jika ternyata sulit, misalnya mendapatkan rintangan dari orang tua atau orang sekelilingnya, maka dia akan berpikir bahwa menjadi orang dewasa ternyata sulit.

Saat seperti itu, kita menemukan satu keping teka-teki yang harus disertakan, yaitu komunikasi dan informasi dari orang tua. Ada yang bilang bahwa orang tua bukan Google. Penulis sepakat dengan "teriakan" itu, tapi idealnya orang tua juga berusaha menyerupai itu.

Memang, bukan soal kesediaan ruang dan waktu seperti Google yang bisa diakses selama 24 jam, melainkan intelijensinya. Orang tua sebaiknya bisa mencapai tingkat "sok tahunya" Google dengan ala dirinya, ala manusia.

Soal waktu dan tempat, orang tua bisa memberikan persyaratan. Misalnya, memberitahu ke anak kalau ingin bertanya, maka jam sekian baru bisa bertanya. Usahakan waktunya juga tepat, yaitu saat orang tua sudah bersantai, sedangkan si anak sudah memastikan bahwa apa yang dia tanyakan sangat penting--bagi si anak.

Biasanya, pertanyaan yang penting akan sulit dilupakan. Berbeda kalau pertanyaannya masih remeh-temeh. Diganggu dengan menguap saja, bisa hilang.

Saat penulis masih anak-anak, waktu bercengkerama dengan orang tua adalah saat menjelang tidur. Atau, kalau ingin tahu jam pastinya, sekitar pukul 19.00. Jam ini menyesuaikan usia. Semakin gede, bisa lebih malam, begitu pun sebaliknya.

Pertanyaan yang penulis miliki pun cenderung penting-penting. Seperti, "Mengapa saya tidak boleh merokok? Kenapa si X tadi sore 'ditato' punggungnya dengan sabuk bapaknya?" dan lainnya.

Orang tua tidak boleh menyerah dari Google. Gambar: Pexels/Pixabay
Orang tua tidak boleh menyerah dari Google. Gambar: Pexels/Pixabay
Dari sanalah, si anak akan tahu apa yang ada di pikiran orang tua. Termasuk apa yang diharapkan orang tua kepada anaknya.

Hal inilah yang sebenarnya bisa mencegah terjadinya keterperosokan anak ketika dia sedang berenang dalam lautan rasa ingin tahu yang semakin lama semakin tinggi ombaknya. Jika ada komunikasi dan jika ada informasi, maka anak akan mengerti mana yang boleh dilakukan, mana pula yang sebaiknya jangan dulu.

Mengapa penulis menyinggung komunikasi dan informasi?

Karena, jika orang tua mampu berkomunikasi, maka anak tahu bahwa segala sesuatu yang akan dilakukan dan bahkan telanjur dilakukan sebaiknya dibicarakan ke orang tua. Begitu pula dalam hal informasi. Semakin orang tua serba tahu, bahkan minimal teorinya saja, anak akan menaruh respek. Tidak percaya?

Kita bisa menyimulasikannya dengan dua orang senior, A dan B, dengan satu orang junior, C, di sebuah organisasi di kampus. Kita anggap si senior adalah orang tua, dan si junior otomatis kita anggap sebagai anak.

Ketika si C memiliki pertanyaan dan kebetulan yang selalu ada di ruang sekretariat organisasi itu si A, maka ia bertanya ke si A. Ternyata, jawabannya belum memuaskan si C. Bahkan, sebagian besar jawabannya adalah tidak tahu. Maka, bagaimana pikiran si C?

Si C tentu tetap penasaran, bukan? Ia pun kemudian mencoba menemui si B yang sok sibuk. Namun, ternyata si B mampu memberikan jawabannya.

Bahkan, cenderung lengkap, walau sama-sama tanpa praktik atau tanpa dialami langsung. Namun, setidaknya si B telah menunjukkan segalanya yang ia tahu dan bahkan mengajak si C untuk mencari tahu bersama.

Saat seperti itu, bagaimana pikiran si C?

Pertama, dia puas. Walau tentu dia sadar bahwa tidak semua hal harus dipraktikkan sendiri atau dialami oleh orang yang ia tanyai. Tetapi, poin penting dari proses tanya-jawab itu adalah adanya keterbukaan dan usaha bersama yang diberikan oleh orang yang dianggap seharusnya lebih tahu itu.

Kedua, si C tentu menaruh respek kepada si B. Karena, ia tidak jaim, tidak penuh teka-teki, dan mampu menunjukkan bagaimana cara untuk tahu jawaban dari pertanyaan si C. Padahal, bisa saja si B cukup mengatakan "tidak tahu", karena memang tidak tahu seperti yang dilakukan si A.

Dari penggambaran sederhana ini, penulis menganggap bahwa anak yang cepat dewasa itu bukan berarti masalah besar. Dia memang akan memiliki rasa ingin tahu yang besar, bahkan juga sudah memiliki gairah (passion) di hal tertentu, ketika teman sebayanya masih bergembira saat bermain layang-layang.

Penyaluran informasi saat ada komunikasi itu penting. Gambar: Pexels/Christina Morillo
Penyaluran informasi saat ada komunikasi itu penting. Gambar: Pexels/Christina Morillo
Namun, ketika ada komunikasi dan informasi dari orang tuanya atau setidaknya orang-orang yang lebih tua dan dianggap lebih tahu oleh si anak, maka rasa ingin tahunya akan selalu menemukan jawaban. Bahkan, tanpa harus dipraktikkan.

Anak yang cepat dewasa selain dia bisa terjerumus masalah besar, dia juga bisa mencegah dirinya terjerumus ke masalah besar lainnya. Artinya, anak yang cepat dewasa itu masih 50-50. Sangat tergantung pada bagaimana situasi sosial membentuknya.

Justru, yang paling patut diperhatikan oleh orang tua adalah karakter. Mengapa?

Karena, masih banyak orang tua yang berupaya tidak menyelidiki garis-garis besar--apalagi yang kecil--pada karakter anak. Bahkan, orang tua juga terkadang tidak menyadari bahwa karakter anaknya ada yang 11-12 dengannya.

Hal itu bisa terjadi, karena tidak sedikit orang berupaya menampik segala studi dan penelitian yang mengungkap tentang karakter manusia. Bahkan, dari yang katanya mitos sampai yang sudah cukup terbukti pun seringkali dianggap angin lalu.

Padahal, di antara banyak tulisan tentang karakter manusia, sebenarnya ada juga benarnya. Bagaimana bisa dibuktikan?

Pertama, tentukan dulu studi apa yang ingin dibuktikan sendiri. Jika ternyata orang lain tidak percaya dengan studi itu, tidak masalah. Karena, itu adalah uji nyali pribadi.

Ilustrasi becermin. Gambar: Pexels/Min An
Ilustrasi becermin. Gambar: Pexels/Min An
Kedua, kroscek diri sendiri. Lihat baik dan buruknya secara gamblang seperti saat melihat wajah di cermin. Tanpa perlu ditutupi wajah itu dengan mengambil posisi wajah dengan sudut tertentu atau mengubah-ubah mimik. Datar saja.

Ketiga, lihat juga orang sekeliling. Cari tahu hal-hal yang mudah dilihat terlebih dahulu, alias belum intinya. Amatilah dengan jeli. Bandingkan antara satu orang dengan orang lain. Cari persamaan dan perbedaannya.

Keempat, jika tidak puas dengan bagian permukaannya maka cocokkan antarintinya. Bagaimana caranya? Buatlah waktu kebersamaan yang cukup intensif dengan orang-orang tersebut, maka karakter mereka yang paling inti bisa terlihat juga, entah banyak atau sedikit.

Kelima, jika sudah menemukan garis besarnya--lebih bagus lagi jika termasuk garis kecilnya, praktikkan itu juga pada anak-anak. Meskipun mereka masih anak-anak, tetapi ada peluang bahwa mereka akan seperti orang-orang yang sudah diamati tersebut.

Pada poin kelima inilah kita akan mendapatkan tantangan besar, yaitu apakah kita bisa membentuk anak kita menjadi yang ideal--sesuai karakternya--atau tidak. Inilah yang menurut penulis lebih patut diwaspadai daripada "hanya" perdebatan tentang anak yang cepat dewasa atau sesuai usianya.

Karena, memperdebatkan tentang anak yang cepat dewasa pilihannya hanya Baik dan Buruk. Sedangkan, permasalahan terbesar dari kenakalan anak adalah seringnya ketidakmampuan orang tua dalam mengenali karakter anak.

Itu pula yang penulis amati dari perjalanan pribadi sampai sejauh ini. Walaupun, kebetulan orang tua penulis melek terhadap literasi tentang karakter manusia, tetapi terkadang penulis menangkap adanya upaya dari orang tua untuk membentuk anaknya untuk tidak menjadi "versi gagalnya" dari karakter tersebut.

Bahkan, tidak menutup kemungkinan untuk dibentuk untuk menyerupai karakter orang tuanya yang padahal garis-garis kecil karakternya sangat bertolak belakang. Jika sudah demikian, maka alarm pun patut dinyalakan, agar si anak tidak semakin tergelincir ke jurang ketidakjelasan jati dirinya.

Tulisan ini sekali lagi hanya berdasarkan pengalaman penulis saat menjadi anak lalu berupaya berkembang mencari jati diri. Penulis juga bukan pakar psikologi. Hanya seorang antah-berantah.

Namun, penulis sangat ingin membagikan keresahan yang sebenarnya menurut penulis itulah pokok permasalahannya. Selama orang tua masih sulit mempelajari karakter anaknya, sampai zaman kapan pun pasti para anak itu akan membuat kegaduhan. Dan, semoga penulis bisa menjadi salah satu orang tua yang dapat mempelajari karakter anaknya kelak.

~ Malang, 21 November 2020

Deddy Husein S.

Boleh dibaca:

Suara.com, BBC.com, Haibunda.com.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun