Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bersyukur Kok Susah Banget

11 November 2020   11:54 Diperbarui: 11 November 2020   12:07 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi bersyukur. Gambar: Getty Images/iStock/Natasaadzic via Upsidethinking

Beberapa hari ini atau lebih tepatnya sudah tiga bulan terakhir ini, saya sedang diliputi kegundahan. Karena itu, saya jadi penuh dilema.

Dilema itu muncul karena saya berpikir sudah melakukan sesuatu, tapi hasilnya tidak memenuhi ekspektasi. Akibatnya, saya nyaris ingin berhenti, lebih tepatnya menjedanya agar pikiran saya tidak semakin kalut.

Tetapi, hal itu juga saya tahan. Menurut saya, justru akan semakin berbahaya jika saya memilih berhenti walau sejenak.

Itu artinya, saya akan mengubah kebiasaan saya. Jika berubah, tentu untuk mengembalikan hal yang sebelumnya saya lakukan akan penuh perjuangan lagi.

Sebagai orang yang perlu beradaptasi lebih lama dari orang lain, itu bahaya. Malah bisa membuat saya akan semakin tenggelam.

Tenggelam di dalam air itu ada dua penyebabnya. Pertama, kita tidak percaya dengan kemampuan air dalam mengapungkan tubuh kita.

Kedua, kita sudah sangat kelelahan untuk terus berenang. Faktor kedua ini yang biasanya menjadi penyebab paling banyak.

Tetapi, saya pikir faktor pertama juga bisa membuat orang tenggelam. Karena tidak percaya dengan diri sendiri atau dengan apa yang ada di sekitarnya, maka orang tersebut akan melawan.

Perlawanan pun ada dua dampaknya. Pertama, bisa membuat seseorang lolos dari bahaya. Kedua, orang tersebut juga bisa malah menjemput maut.

Dua dampak yang berbeda itu berdasarkan dua konteks yang berbeda. Positif dan negatif.

Jika saya berada di tempat yang positif, maka hasil dari perlawanan saya akan menjadi negatif bagi saya.

Sedangkan, kalau saya berada di tempat negatif, maka perlawanan saya bisa memberikan hasil positif.

Artinya, di dalam upaya melakukan perlawanan, perlu dilihat juga di mana atau seperti apa konteksnya. Amati dulu, dan analisis dulu dua hal tersebut.

Setelahnya, baru diputuskan tindakannya. Melawan atau bertahan.

Pertimbangan itu yang kemudian saya terapkan di kasus saya. Saya mencoba menganalisis dulu konteksnya dan di mana saya berada.

Ternyata konteksnya memang ada dalam pertautan antara tantangan dan ketidakmampuan. Bahkan, juga keengganan.

Terkadang, atau malah sering, saya merasa enggan untuk mengikuti tantangan yang ada. Saya sering mengedepankan keinginan atau atas dasar kemampuan saya.

Itu membuat saya tidak memperoleh hasil yang seperti orang lain dapatkan. Orang lain lebih fleksibel, dan berani berdarah-darah. Saya tidak.

Itulah yang membuat saya belum kunjung melawan. Karena, saya pikir (mungkin) permasalahannya ada di diri sendiri.

Analisis kedua adalah tempatnya. Saya mengamati tempat yang saya huni ternyata cukup positif.

Masih saya bilang cukup, karena tidak ada tempat yang sepenuhnya positif. Pasti ada saja ruang-ruang negatif di dalamnya, entah kecil atau sedang.

Namun, dalam menilainya saya juga perlu melakukan komparasi. Tidak elok menilai sebuah tempat tanpa ada referensi tempat yang berbeda untuk menemukan bagus-tidaknya tempat itu.

Meskipun saya tidak perlu menjadi penghuni tempat lain, saya sudah merasa cukup tahu poin-poin mana yang bisa dibandingkan ketika saya menjadi pengunjung di tempat lain.

Selain itu, saya juga menggunakan sedikit pengalaman, yaitu tentang 'apa yang Anda suguhkan adalah yang terbaik'. Ini bisa dilihat contohnya dari kebiasaan orang zaman sekarang di media sosial.

Pernahkah, kita mengunggah penampakan rumah berantakan di media sosial?

Mungkin ada yang pernah, demi konten tertentu, misalnya konten horor atau kampanye minta bantuan sosial. Selebihnya, nyaris mustahil.

"We show what's best".

Pemikiran semacam ini juga tidak muncul serta-merta. Misalnya, dari pengalaman saya menjadi bagian dari organisasi atau suatu pekerjaan, yang kemudian memperlihatkan bagaimana perbedaan di luar dan di dalam tempat itu.

Hal ini juga yang kemudian menjadi modal saya dalam menganalisis tempat saya. Sejauh ini, saya masih merasa aman. Itu artinya, masih positif.

Jika sudah demikian, maka tidak mungkin saya memilih pergi atau melawan. Saya justru ingin mengikuti aturan mainnya.

Sejauh itu tidak merusak karakter saya, dan malah membantu membangunkan kemampuan saya, maka itu akan saya arungi. Bagaimana dengan timbal-baliknya?

Timbal-balik yang berbeda. Gambar: Shutterstock via Sleekr.co
Timbal-balik yang berbeda. Gambar: Shutterstock via Sleekr.co
Inilah yang paling sulit untuk ditekankan. Apakah saya ikhlas atau tidak dalam menerimanya.

Namun, agar saya tidak pusing kepanjangan dan sakit hati, maka saya mencoba membandingkan apa yang saya lakukan dengan orang lain.

Saya menemukan banyak orang yang melakukan pekerjaannya dengan lebih baik, lebih tekun, dan konsisten. Entah bagaimana caranya, yang pasti itulah yang mereka lakukan.

Saya tentu tidak serta-merta mendorong diri untuk segera menirunya, tapi saya lebih berusaha untuk menerima kenyataan itu. Orang lain tidak tahu perjuangan saya, begitu juga sebaliknya.

Selalu ada yang berjuang di balik timbal-balik yang diterima. Gambar: via inequality.org
Selalu ada yang berjuang di balik timbal-balik yang diterima. Gambar: via inequality.org
Atas dasar itulah, saya memilih untuk menerima apa yang saya peroleh. Seraya berusaha untuk melakukan lebih baik lagi di kesempatan selanjutnya.

Ini memang terlihat mudah untuk dibaca atau ditulis, tapi untuk diterapkan sangat sulit. Saya pun tidak seratus persen mengungkap apa yang ada di pikiran saya dan apa yang saya lakukan di balik upaya menerima hasil yang (nyaris selalu) di luar ekspektasi ini.

Tetapi, saya hanya ingin bertanya kepada para pekerja yang sudah berpendapatan sesuai UMP, yang artinya sudah tetap itu. Apakah Anda sudah menganalisis apa yang sudah dilakukan selama ini?

Apakah Anda sudah melakukan perbandingan atas dan bawah? Sudahkah Anda mengamati di mana Anda bekerja dan bagaimana konteksnya?

Jika sudah, apakah Anda menerima UMP 2021 yang tidak naik, atau menolaknya?

~Malang 11-11-2020
Deddy Husein S.

Berita:

Liputan6.com, Tempo.co, Merdeka.com.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun