Pada satu sisi, masih tertundanya kompetisi sepak bola di Indonesia bisa memberikan kemungkinan bahwa tidak akan muncul kasus covid-19 dengan klaster sepak bola. Hal ini bisa saja akan menjadi berbeda, jika kompetisi sudah digelar dan muncul tambahan kasus dari klaster sepak bola.
Ini seperti yang terjadi pada kompetisi di luar negeri, khususnya di Eropa. Ketika kompetisi kembali digelar, secara estafet muncul kasus-kasus covid-19 yang melanda pihak-pihak di dalam sepak bola. Salah satunya adalah pemain.
Tetapi, jika melihat situasinya seiring berjalannya waktu, kita seperti sudah tidak terlalu panik jika ada pemain-pemain yang terkena covid-19. Lagipula, mereka juga bisa sembuh dan kembali dapat bermain seperti sediakala.
Itulah yang membuat satu sisi lainnya dari keberlanjutan kompetisi sepak bola di tengah pandemi dapat dianggap tidak terlalu membahayakan. Bahkan, itu tetap lebih baik, daripada tidak sama sekali dilanjutkan.
Pandangan ini yang sebenarnya juga bisa diberlakukan untuk sepak bola Indonesia. Mengapa?
Karena, kita sudah dapat menemukan banyak preferensi dari luar. Itu artinya, kita tidak perlu repot dalam menduga-duga apa yang akan terjadi jika kompetisi kembali bergulir di tengah pandemi.
Jika perlu, pihak LIB atau PSSI mengirim delegasi untuk mempelajari seluk-beluk pelaksanaan kompetisi di tengah pandemi. Tidak hanya di Eropa, mereka juga perlu mempelajari cara sepak bola di negara-negara tetangga yang telah menjalankan kompetisi.
Berdasarkan dua kultur sepak bola tersebut, kita akan mencari titik tengahnya. Salah satu bentuk dari titik tengah yang perlu dicari adalah upaya mencegah fanatisme dan kebandelan.
Fanatisme ini bisa mengerucut pada respon suporter ketika kompetisi kembali digulirkan. Apakah mereka akan mencoba menerobos larangan berkerumun dan masuk ke stadion atau tidak.
Hal ini yang sebenarnya (mungkin) ditakutkan oleh pihak pemerintah dan melalui Polri. Itulah mengapa, surat izin penyelenggaraan kompetisi urung dikeluarkan oleh Polri.