Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Haruskah Ole Dipecat

6 November 2020   14:26 Diperbarui: 6 November 2020   14:39 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Posisi Ole Gunnar Solskjaer sebagai manajer Man. United semakin genting. Gambar: Getty Images/Pool via Detik.com

Prediksi pergantian pelatih di Manchester United menjadi topik hangat bagi penikmat bola Liga Inggris. Sejak dua laga yang dilakoni Manchester United, yaitu vs Arsenal dan vs Basaksehir, yang hasilnya adalah kekalahan, Ole Gunnar Solskjaer berada di ambang pintu ke luar Old Trafford.

Namun, apa yang akan dilakukan manajemen--jika memecat Ole--tidak akan sepenuhnya menyelesaikan masalah. Ole bukan satu-satunya problem dari semua hasil buruk Manchester United, bahkan di musim lalu (2019/20).

Tentu masih ingat, bahwa di musim lalu, Manchester United berada di semifinal Piala FA dan Liga Europa (UEL). Artinya, Ole sebenarnya juga bisa mengantarkan Man. United ke arah nyaris berprestasi.

Bahkan, seharusnya pencapaian yang perlu diperhatikan pada Man. United adalah di dua kompetisi itu. Alasannya, di Premier League semua klub sedang banyak yang labil, sehingga Man. United bisa menyelinap masuk ke papan atas di akhir musim.

Hal ini berbeda dengan UEL yang semua klub sudah merasa dekat dengan pencapaian terbaiknya di akhir musim. Atau, di Piala FA, yang beberapa tim membutuhkan tujuan alternatif di akhir musim.

Saat seperti itu, Man. United bisa berada di empat besar bersama klub-klub yang sedang butuh gelar. Tentu, Man. United juga menginginkannya.

Namun, apa yang diinginkan tidak bisa sejalan mulus dengan pembuktian di lapangan. Permainan Man. United terkadang bagus, terkadang tidak bagus.

Hal itu sudah terlihat di dua laga yang dilakoni Man. United di UEL. Tidak hanya di semifinal, mereka terlihat kedodoran, di perempatfinal pun Man. United tidak bermain bagus.

Hanya, Man. United memiliki keberuntungan-keberuntungan seperti yang didapatkan di liga domestik. Itu yang kemudian menjadi permasalahan ketika menghadapi tim yang sangat mempersiapkan segalanya dengan baik seperti Sevilla.

Hasilnya, Man. United "menebarkan benih" 'meme' di pertandingan itu. Kekalahan pun membuat Man. United dicap spesialis semifinal di musim tersebut.

Berdasarkan satu pertandingan itu, sebenarnya Man. United perlu mewaspadai bahwa akan ada laga-laga tertentu yang akan seperti itu lagi. Karena, yang mempraktikkan adalah pemain di lapangan, sedangkan pelatih hanya menyiapkan.

Pelatih juga baru bisa sedikit berbenah di babak kedua lewat evaluasi singkat di jeda turun minum. Namun lagi-lagi, pelatih tidak akan tahu bagaimana praktiknya.

Menang atau kalah adalah bonus dari apa yang sudah pelatih lakukan kepada skuadnya. Tentu, semua pemain ingin menang. Tetapi, bagaimana jika pada kenyataannya di antara pemain itu ada yang tidak fokus?

Itulah sebenarnya yang menjadi permasalahan laten di dalam pemain. Terkadang, ada pemain yang mampu bermain baik dalam satu pertandingan atau sebaliknya.

Juga ada pemain yang bagus hanya di satu babak, yang artinya pemain ini harus diidentifikasi menit bermainnya. Saat seperti itu, pelatih punya kesempatan memperbaiki komposisi pemain di lapangan.

Namun, terkadang pelatih harus berkompromi dengan keputusan dalam penyusunan dan pergantian pemain. Tentang ini, tentu hanya seorang pelatih yang bisa mengonfirmasinya.

Selain itu, pelatih juga harus memiliki "kartu As" pada setiap pertandingan. Kartu itu bisa ditempatkan pada pemain-pemain yang berbeda.

Misalnya, ketika di laga PSG vs Man. United. Pada laga itu, kita bisa menemukan kartu As Man. United ada pada Axel Tuanzebe.

Apakah berarti Tuanzebe akan selalu menjadi kartu As-nya Ole?

Jawabannya bisa dilihat dari laga kemarin kontra Istanbul Basaksehir (5/11). Di situ, Tuanzebe bermain seperti "pemain normal", bukan senjata rahasia lagi.

Lalu, di manakah kartu As Ole?

Hanya Ole yang tahu. Dialah yang bisa mencari pemain lain yang dapat menjadi pemain 'kejutan' di laga itu.

Jika merujuk pada status kedua tim di atas kertas, maka Man. United seharusnya mengutamakan kekuatan di lini serang. Artinya, kartu As Man. United bisa dicari pada pemain-pemain bertipikal menyerang.

Itu seperti ketika Man. United mengalahkan RB Leipzig. Mereka memiliki pemain kejutan pada Marcus Rashford.

Namun, belum tentu pemain kejutan harus dari bangku cadangan. Membunuh permainan lawan juga bisa dilakukan sedari menit pertama.

Kita sudah melihatnya pada laga kontra PSG. Ole mempercayakan formasinya kepada pemain-pemain yang ingin fokus menjalani laga itu, dan salah satunya adalah Tuanzebe.

Sepak bola memang permainan tim. Namun, perlu ada individu-individu yang bisa memberikan pengaruh dalam permainan.

Main kompak saja tidak cukup. Pasti perlu ada pemain tertentu yang memerankan dirinya sebagai algojo penakluk lawan.

Entah itu di lini belakang atau di lini depan. Itu tergantung di mana titik fokus yang diinginkan pelatihnya dalam suatu pertandingan.

Itu juga yang harus dilakukan Ole, dan sepertinya sudah dilakukan. Soal worth it atau tidak, itu juga bergantung pada pelaksanaan permainan dari timnya juga tim lawan.

Artinya, kalah-menang itu juga bukan hanya karena bagus/tidaknya satu tim di laga itu, tetapi juga tim lain. Bisa saja tim lain yang memang sudah memegang kendali pada laga itu.

Penampakan posisi semua pemain Man. United saat menyerang. Gambar: via The Sun
Penampakan posisi semua pemain Man. United saat menyerang. Gambar: via The Sun
Kita ambil contoh pada penampakan pemosisian Nemanja Matic. Jika Man. United ternyata bisa menghasilkan peluang/gol dari tekanan tinggi itu, pasti penonton tidak akan melihat itu sebuah kesalahan, melainkan keharusan.

Namun kenyataannya, Man. United tidak bisa memanfaatkan tekanan tinggi tersebut menjadi peluang. Justru lawannya yang bisa melakukannya.

Coba kalau pemain Basaksehir tidak dapat berinisiatif membuang bola ke depan, atau Demba Ba gagal mencetak gol. Pasti kesalahan Man. United itu tidak akan terlihat.

Artinya, bukan hanya Man. United yang harus dirundung, tetapi Basaksehir juga harus dipuji. Bisa saja, Basaksehir sudah menyiapkan antitaktiknya Man. United, dan itu perlu dipertimbangkan dalam menilai kinerja Ole secara keseluruhan.

Hal itu juga berlaku ketika kita melihat pemosisian tiga pemain yang berada di satu sisi yang sama dalam kotak penalti saat bertahan. Di situ sudah pasti Ole juga menjadi salah satu orang di antara kita yang tidak menyangka bahwa akan terjadi penampakan seperti itu.

Salah satu penampakan posisi pemain Man. United saat bertahan. Gambar: Twitter/Goal_ID
Salah satu penampakan posisi pemain Man. United saat bertahan. Gambar: Twitter/Goal_ID
Hanya, Ole tidak seperti kita yang langsung menceploskan kata-kata yang mengundang tawa di media sosial. Dia harus berbesar hati untuk menerimanya.

Apakah dengan kesalahan para pemainnya itu, lalu dia harus langsung membangkucadangkan mereka yang melakukan blunder?

Memainkan sepak bola di atas lapangan jelas tidak semudah memainkan jemari atau jempol di atas keyboard. Sepak bola di atas lapangan mempertimbangkan banyak hal. Sedangkan di media sosial orang-orang bisa hanya mempertimbangkan satu sudut pandang.

Membuang pemain seperti Harry Maguire jelas bukan semudah kita bilang "Ole Out" di tagar medsos. Bahkan, membuang pemain semahal Maguire juga seperti hubungan percintaan yang terkadang perlu dipikirkan masak, agar muncul keputusan terbaik untuk kedua belah pihak.

Penyakit bertahan Man. United juga terlihat di laga melawan Spurs. Gambar: AFP/Alex Livesey via Tribunnews.com
Penyakit bertahan Man. United juga terlihat di laga melawan Spurs. Gambar: AFP/Alex Livesey via Tribunnews.com
Artinya, keputusan memperbaiki nasib Man. United tidak hanya pada Ole Gunnar Solskjaer, melainkan juga pada para pemain dan manajemen.

Jika Ole gagal menunjukkan kemarahannya, maka manajemen bisa menunjukkan kemarahannya kepada pemain. Itu jika manajemen ada di sisi Ole.

Terkadang, sepak bola dewasa ini lebih menempatkan pelatih sebagai pihak yang disalahkan jika terjadi kehancuran di sebuah tim. Padahal, belum tentu hanya si pelatih yang bertanggung jawab.

Itulah mengapa, Ole seharusnya masih bisa bertahan di Man. United. Setidaknya sampai dia yang memilih mundur, bukan dipecat.

Jika pelatih yang mundur, maka dirinya yang ingin mengambil keputusan, bukan tim manajemen atau pemain. Bahkan, meski dia akan dianggap kalah sebelum bertanding sampai akhir--menyelesaikan kontrak.

Justru, bisa saja keputusan itu membuat citra pelatih yang berstatus sebagai mantan pemain tetap dianggap baik. Klub pun tidak akan sepenuhnya disalahkan jika memang harus berpisah dengan pelatihnya.

Hanya, kita akan menjadi tahu apakah yang bermasalah adalah pelatih, pemain, atau juga manajemennya ketika tim tersebut berganti pelatih. Belum tentu, ketika Man. United merekrut Maurichio Pocchetino, lalu Man. United kembali menjadi tim disegani.

Pada awal proses, bisa saja demikian. Tetapi ketika pemain-pemainnya mulai bosan dengan taktik pelatih, bisa saja permainan yang diharapkan pelatihnya akan dieksekusi dengan tidak benar oleh para pemainnya.

Begitu pula dalam hal masuk-keluarnya pemain. Bisa saja, keinginan pelatih tidak dituruti oleh tim manajemen, atau tim manajemen malah terlampau ambisius dalam membuat keputusan transfer tanpa memperhitungkan kebutuhan pelatihnya.

Artinya, apa yang sedang terjadi pada Man. United itu kompleks. Kita bisa melihat pada kejadian Man. United ketika memecat Jose Mourinho, lalu Tottenham Hotspur merekrut Mourinho.

Pada musim 2020/21 ini, di mana posisi Spurs di liga bersama Mourinho?

Dari situ saja kita bisa sedikit melihat bahwa tidak hanya pelatih yang bermasalah di Man. United. Bahkan, kalaupun Man. United berhasil menggaet Jadon Sancho, dia akan menjadi Mason Greenwood kedua di Man. United.

Artinya, keputusan-keputusan Man. United termasuk dalam hal merekrut pemain saja sudah tidak sepenuhnya bagus bagi tim. Mereka cenderung buta peta rumahnya sendiri.

Hal itu diperparah dengan naik-turunnya performa pemain yang sudah masuk dan reguler di skuad. Hanya Bruno Fernandes yang nyaris konsisten, walau tidak seganas di paruh akhir musim kemarin.

Jadi, kalau Man. United akhirnya harus berpisah dengan Ole, lebih baik mereka juga mempertimbangkan untuk berpisah dengan pemain-pemain yang bisa menjadi kanker selamanya bagi klub tersebut. Ubahlah struktur secara jelas walau tidak cepat, dan jangan terlalu sering menempatkan pelatih sebagai biang keroknya.

~ Malang, 6 November 2020
Deddy Husein S.

Terkait:

Kompas.com, Detik.com 1, Detik.com 2, Bola.net, Okezone.com,Goal.com.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun