Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Gadget Pilihan

Pilih iPhone atau Android, Jangan Hanya Terjebak pada Stereotip

27 Oktober 2020   06:01 Diperbarui: 27 Oktober 2020   06:16 346
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sistem Operasi sebelum 2010-an, masih beragam. Symbian salah satu yang terkuat. Gambar: Google/BlackBerry OS

Membicarakan tentang dua jenis telepon seluler (ponsel) pintar ini, saya terkadang merasa sedikit membuang waktu. Alasannya, itu seperti membicarakan tentang tipe ideal terkait pasangan.

Misalnya, saya memiliki tipe ideal tertentu, ternyata itu tidak berlaku pada tipe ideal Anda, begitu juga sebaliknya. Kurang-lebih demikian persamaan pola pikirnya. Namun, saya tidak bermaksud menyamakan derajat manusia dengan barang. Catat!

Kembali ke topik, yaitu ketika saya dihadapkan pada pembicaraan yang mengharuskan untuk memilih ponsel antara Android atau iPhone, maka saya akan mencari pilihan yang sesuai dengan apa yang cocok dengan saya. Cocok di sini secara mudah memang bisa ditebak dalam kacamata ekonomi, yaitu harga ponselnya.

Tetapi menurut saya, ada juga orang memilih jenis ponselnya bukan berdasarkan faktor ekonomi. Misalnya, ada orang yang memang kaya dengan kewajiban pajak penghasilan sekitar 100 juta lebih per tahun, namun dia ternyata lebih nyaman menggunakan ponsel berjenis Android. Apakah itu aneh?

Menurut saya, itu bukan hal yang aneh. Apa yang dimiliki oleh orang tersebut bukan berdasarkan faktor harga dan jenis ponselnya, tetapi sisi subjektifnya, yaitu kenyamanan si pengguna terhadap ponsel tersebut.

Selain kenyamanan, pengguna ponselnya juga harus memiliki kepercayaan terhadap kinerja ponsel yang akan digunakan. Hal ini seperti yang saya alami ketika dibelikan ponsel oleh ibu saya beberapa tahun lalu ketika masih sekolah.

Waktu itu sedang zamannya pertarungan sengit antar banyak merek ponsel. Menariknya, ponsel saat itu basisnya (sistem operasi) berbeda-beda. Tidak seperti sekarang yang hanya terfokuskan pada Android dan iPhone.

Sistem Operasi sebelum 2010-an, masih beragam. Symbian salah satu yang terkuat. Gambar: Google/BlackBerry OS
Sistem Operasi sebelum 2010-an, masih beragam. Symbian salah satu yang terkuat. Gambar: Google/BlackBerry OS
Saya juga masih belum ada sisi idealisme dalam menggunakan ponsel. Apa yang ada untuk saya, tinggal pakai saja.

Namun, suatu ketika saya harus berani memilih ponsel apa yang harus saya beli. Saat itu, estimasi harga yang disediakan sekitar 1 jutaan rupiah--kalau bisa pulang dengan kembalian lebih baik.

Jika berdasarkan jenis ponsel yang sedang tren, saya seharusnya memilih ponsel Ss karena Android. Walaupun, belum tentu saya akan menebus versi kelas menengah-idealnya.

Tetapi, saya akhirnya memilih ponsel yang saya ketahui 'versi senternya' sangat tahan banting. Itulah yang membuat saya membeli ponsel merek N. Saya berharap akan bersama ponsel itu cukup lama.

Memang, setelah itu ada yang mengatakan bahwa jenis ponsel saya dengan harga sekian rupiah itu termasuk kemahalan. Namun, saya tidak panik dan tetap menggunakannya kurang-lebih seperti orang lain menggunakan ponselnya yang sudah berjenis Android.

Berdasarkan apa yang terjadi saat itu, saya berpikir bahwa saya sudah mulai menentukan pilihan berdasarkan apa yang sudah diketahui. Minimal dari produk terdahulunya.

Saya juga harus merasakan kecocokan terhadap ponsel yang dimiliki agar di kemudian hari tidak menyesal alias merasa rugi. Walaupun, ponsel itu kemudian dianggap kalah berkelas, tetapi saya tetap percaya diri saat memilikinya.

Lagipula, secara fitur, saat itu ponsel saya masih bisa dimanfaatkan sampai 2015-an. Masih bisa juga digunakan chatting, walau secara kapasitas penyimpanannya semakin tertinggal.

Bahkan, seandainya layarnya tidak tergeprek, saya yakin sampai detik ini akan menyala. Walaupun, tentu hanya untuk bertelepon atau berkirim pesan singkat (sms).

Peninggalan Device ponsel lama saya di laptop. Gambar: Dokpri/DeddyHS
Peninggalan Device ponsel lama saya di laptop. Gambar: Dokpri/DeddyHS
Berdasarkan contoh ini, saya kemudian berpikir bahwa kenyamanan terhadap ponsel dapat dilahirkan dari pilihan merek. Bahkan, meski Anda mencoba menentukan berdasarkan jenis ponselnya, seperti saat ini yang mempertarungkan antara Android vs iPhone. Tetap saja, merek ponselnya--pada Android--juga perlu diperhatikan.

Percuma, kita memilih ponsel berdasarkan jenis, tetapi merek ponselnya tidak mampu dan jarang menggaransi keawetan produknya. Minimal ponsel itu mampu bertahan selama mungkin, walau akhirnya hanya bisa untuk menjadi hotspot internet, atau menjadi perantara berkas-berkas dari mobile ke pc.

Berdasarkan pemikiran itu, menurut saya, memilih ponsel Android atau iPhone, seharusnya tidak menimbulkan perdebatan sampai seteko kopi menjadi dingin. Saya akan cenderung memilih ponsel dikarenakan faktor realistisnya dalam penggunaan.

Saya akan merasa percuma jika (seandainya) memiliki iPhone, tetapi saya kesulitan mengoperasikan fitur-fiturnya. Itu seperti membuat hidup yang sudah rumit menjadi kian rumit.

Begitu pula dalam hal kepercayaan diri ketika berfoto di depan cermin. Seharusnya kepercayaan diri kita bukan pada tampilan belakang ponsel yang berlogo apel tergigit, melainkan seberapa menarik fisik kita atau mengamati kecocokan pakaian yang dikenakan.

Artinya, jika memilih Android yang harus dicermati adalah pemilihan mereknya. Sedangkan, saat memilih iPhone, kita tidak boleh sampai kalah bernilai dari ponsel tersebut.

Begitu pula dalam hal idealis atau realistis, bagi saya, memilih ponsel berdasarkan jenis saja itu tidak cukup. Karena, jenis ponsel Android dewasa ini juga tidak hanya bergerak di kelas sosial dan ekonomi menengah-bawah, tetapi juga kelas atas.

Harganya juga ada yang malah lebih mahal dari jenis iPhone. Maka, saat memilih ponsel hanya berdasarkan jenis dan korelasinya dengan harga, itu artinya kita sudah terjebak dalam kubangan stereotip.

Sebuah ponsel pintar Android yang harganya 30 jutaan rupiah. Gambar: Youtube/GadgetIn
Sebuah ponsel pintar Android yang harganya 30 jutaan rupiah. Gambar: Youtube/GadgetIn
Kita sudah tidak lagi berbicara soal fakta, apalagi kedekatan dengan kebutuhan individu. Itulah yang membuat saya merasa membicarakan ponsel hanya dengan topik Android vs iPhone itu seperti menyinggung pernyataan viral beberapa waktu lalu tentang "masyarakat miskin" dan "masyarakat kaya".

Memangnya, kita sudah tahu pasti tentang batas-batas yang dapat menggaransi seseorang atau suatu keluarga dapat digolongkan sebagai masyarakat miskin? Jangan-jangan, masyarakat miskin di kota A dengan kota B ternyata berbeda. Bahkan, antar desa A dengan desa B bisa saja sudah berbeda standar kemiskinannya.

Hal ini juga sama seperti membicarakan tentang ponsel Android dengan iPhone. Sudah tahu pastikah kita dengan segala produk yang berbasis Android?

Jangan-jangan, kita hanya mengetahui satu-dua merek Android. Lalu, dengan mudah menyimpulkan bahwa ponsel jenis Android seperti ini, sedangkan iPhone seperti itu.

Pernyataan semacam itu akan menjadi lelucon, karena menjadi kurang cocok. Lebih cocok kalau antar produk berbasis Android dipertarungkan, maka kita akan bisa mengulik apa persamaan dan perbedaan dari jenis yang sama.

Kalau mempertarungkan hal yang sudah jelas berbeda, itu buang-buang waktu. Karena, suatu hal yang berbeda sudah pasti akan memiliki keunggulannya tersendiri.

Perihal semacam itu seperti memperdebatkan siapa yang lebih baik, antara Lionel Messi dengan Cristiano Ronaldo. Perdebatan itu hanya akan berhenti setelah semua manusia punah, atau semua orang sudah kehilangan sejarah tentang kehebatan mereka.

~

Malang, 26 Oktober 2020

Deddy Husein S.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun