Nama Valentino Rossi sangat melekat dengan ajang olahraga balap bernama MotoGP. Bahkan, beberapa tahun lalu, sekitar 2000-an pertengahan hingga 2010-an awal, saya sering mendengar ada yang selalu bilang, "aku mau menonton Rossi", alih-alih menonton MotoGP.
Saya pun mengakui jika nama Rossi sangat tenar dan paling berpengaruh dalam jagat MotoGP. Ia adalah pembalap yang selalu konsisten berada di baris terdepan di setiap balapan. Jika seorang pembalap sering berada di depan, otomatis dia sering tersorot kamera.
Itulah yang membuat banyak orang menjadi familiar dengan Rossi. Belum lagi dengan prestasinya yang gemilang. Bahkan, ia pernah menjuarai MotoGP secara beruntun dan sesekali hanya mampu digeser oleh pembalap lain.
Jika dihitung sejak 2001 hingga 2009, hanya ada dua pembalap yang mampu juara selain Valentino Rossi. Dua pembalap itu adalah Nicky Hayden pada 2006 dan Casey Stoner 2007.
Artinya, Rossi mampu menjuarai 7 musim dengan pencapaian 5 kali beruntun pada 2001-2005. Pencapaian itu juga semakin spesial, karena ia melakukannya dengan dua pabrikan berbeda, Honda (NSR dan Repsol) dan Yamaha (Factory).
Setelah sempat digeser dua musim beruntun oleh pembalap Amerika Serikat dan Australia itu, Rossi kembali bangkit. Ia sukses merengkuh dua gelar yang kemudian tanpa diduga (seperti) menjadi dua gelar terakhirnya.
Masa kejayaannya mulai tergerus, meski sebenarnya masih berada di performa yang luar biasa. Namun, sejak kedatangan Jorge Lorenzo di Yamaha pada 2008, pencapaian Rossi cukup labil.
Hal itu diperparah pada 2010, ketika Yamaha kembali berpesta juara dunia, tetapi bukan dengan Rossi. Jorge Lorenzo yang berhasil merengkuh juara dunia pertamanya.
Bahkan, meskipun pada 2015 Rossi sangat dekat dalam upaya meraih titel ke-10 atau ke-8 di kelas MotoGP, ia sudah cukup kesulitan untuk menandingi Jorge Lorenzo dan pembalap lainnya, Marc Marquez. Bukan soal kemampuan, namun lebih ke arah menjaga fokus.
Jika berbicara soal teknik, Rossi masih bagus, walau kemudian tidak cukup baik dibandingkan Marc Marquez, karena faktor era. Eranya sejak 2013 adalah eranya pembalap dengan tipe membalap seperti Marc Marquez. Namun, Rossi masih cukup mampu, karena dia punya pengalaman sangat banyak.
Jika berbicara tentang pengalaman, ia lebih berpengalaman daripada Jorge Lorenzo, apalagi Marc Marquez. Namun, ia sedikit lupa, bahwa kali ini ia berada di eranya pembalap muda.
Rossi saat ini adalah Max Biaggi-nya era 2000-an awal. Sedangkan, dirinya dulu bisa dikatakan adalah Marc Marquez era 2000-an awal. Mengapa terjadi persamaan ini?
Hanya, yang menjadi persoalan adalah Biaggi harus bertemu dengan pembalap yang lebih muda darinya, Rossi. Pembalap itu pun terlihat lebih taktis dalam menyusun strategi, baik pra dan saat di lintasan. Ini yang membuat Biaggi pada akhirnya tidak mampu menjuarai kelas MotoGP, meski ia jebolan kelas "Moto2" dengan titel juara dunia 4 kali beruntun.
Hal ini nyaris sama dengan Rossi. Ia yang sebenarnya masih mampu mengerahkan kemampuannya berkat akumulasi pengalaman, perkembangan pengetahuan, dan adaptasi dengan gaya balap masa kini, tapi ia harus berhadapan dengan pembalap-pembalap yang memang berada di masanya.
Itu terlihat dari bagaimana ia cukup kesulitan menjaga konsistensi pasca kegagalan merengkuh juara dunia 2015. Sejak musim 2016 sampai 2019, ia semakin tak kunjung mampu mengejar target juara dunia ke-10.
Padahal, jika dibandingkan dengan Jorge Lorenzo, ia cenderung sudah berada di zona nyaman. Berbeda dengan Lorenzo yang mendapat gilirannya untuk angkat kaki dari Yamaha.
Namun, apa yang terjadi pada Rossi kian mengkhawatirkan. Hal ini dapat digambarkan dengan keberadaan Maverick Vinales yang mulai lebih dipercaya untuk memimpin Yamaha.
Bukan sebuah blunder bagi Yamaha, karena memang sudah saatnya Yamaha secara teknis mengandalkan Vinales dibandingkan Rossi. Faktor yang patut dikedepankan adalah siapa yang paling sering memberikan kemenangan seri balap sejak 2017. Vinales.
Setelah Vinales, proyek Yamaha kembali mengedepankan pembalap muda, yaitu Franco Morbidelli dan Fabio Quartararo. Bahkan, awalnya juga ada pembalap seperti Johann Zarco dan Jonas Folger.
Apa yang dilakukan Yamaha perlahan nan pasti mulai menemukan sosok yang tepat. Musim 2020 yang walaupun terlihat kurang sempurna karena tidak ada pembalap paling hebat era sekarang--Marc Marquez, tapi sudah dapat mereguk bukti dari keputusan Yamaha mengedepankan pembalap muda.
Faktor ini bukan hanya karena menurunnya performa Rossi, tetapi juga kecenderungan fokus Rossi. Ia mulai lebih cerewet dan terkadang tidak berbicara tentang hal teknis yang mana pernah membuat publik--termasuk saya--sangat respek dengannya.
Dia adalah pembalap cerdas, karena selalu mengungkapkan hal-hal teknis yang dapat menjadi faktor dari hasil yang ia raih di setiap balapan--entah bagus atau buruk. Namun, semakin ke sini ia terlalu sering berkomentar tentang hal-hal yang berbau sentimentil atau kepribadian.
Hal ini semakin jelas, ketika musim 2015 ia terlibat pergesekan dengan Marc Marquez. Faktor itu membuat Rossi mulai terlihat seperti artis media sosial, bukan pembalap hebat nan legendaris seperti yang saya tahu sebelumnya.
Itulah yang membuat saya cukup sering kurang sependapat dengan komentar-komentar Rossi di media massa. Walaupun saya tahu, bahwa saya bukan siapa-siapa, tapi apa yang saya pikirkan sudah cukup terbukti dengan performanya yang semakin mudah ditebak.
Ia mulai sering hanya mengandalkan pengalaman ketika mencoba bersaing dengan pembalap muda. Pada satu sisi, jelas itu bagus. Tetapi, di sisi lain itu juga akan menjadi basi. Mengapa?
Ketika pembalap zaman sekarang sudah semakin familiar dengan konstruksi motor MotoGP zaman sekarang, maka ia tidak perlu tahu tentang bagaimana cara menaklukkan (misalnya) Philipp Island tahun 2003. Buat apa mempelajari cara membalap pada tahun itu, jika karakteristik motornya sangat berbeda jauh.
Itulah mengapa, saya menyayangkan sosok Rossi saat ini, karena ia semakin tidak seperti Rossi yang selalu bekerja keras dan fokus pada motornya seperti saat terakhir ia lakukan pada 2015. Ia kini seperti Biaggi yang dulu, yang terjebak pada sirkulasi 'kebaperan' hingga sulit fokus pada bagaimana cara menjadi juara dunia dengan mengedepankan sisi teknisnya.
Namun, dari rentetan panjang pemikiran dan kevokalan sang legenda tersebut, saya akhirnya sepakat dengan apa yang ia komentari terkait Yamaha. Saya setuju dengan komentar Rossi tentang Yamaha yang tidak tegas dalam misi mengembangkan motor dan memanfaatkan pembalap tesnya yang kini diemban Jorge Lorenzo.
Saya juga melihat Yamaha seperti menyia-nyiakan kehebatan pembalap yang pernah memberi gelar juara dunia 3 kali kepada Yamaha itu. Saya pun sedikit tidak percaya dengan alasan finansial yang membuat Yamaha tidak melakukan pengujian motor dengan Jorge Lorenzo.
Hal ini berdasarkan keluhan Rossi itu. Jika pihak yang berkomentar bukan pembalap Yamaha, misalnya seperti Carlos Pernat--pengamat MotoGP, maka saya akan berpikir bahwa Yamaha bisa saja tidak punya dana cukup untuk melakukan uji coba.
Namun, karena yang berbicara adalah Rossi, maka saya pikir Yamaha tidak terlalu krisis untuk mengadakan uji coba. Mengenai masalah finansial, menurut saya, semua pabrikan di MotoGP pasti punya masalah tersebut akibat pandemi covid-19. Namun, mereka terlihat tetap berusaha mencari celah untuk menemukan solusi terkait kondisi motornya.
Minimal mencari tahu tentang korelasi antara kinerja mesin dengan ban. Sekecil apa pun peluangnya untuk mengujicoba motor, itu harus dilakukan oleh Yamaha.
Jika Yamaha memang ingin membidik gelar juara dunia, maka itu harus dilakukan. Mereka harus menurunkan Jorge Lorenzo ke lintasan untuk memberikan masukan kepada tim tentang apa saja kekurangan Yamaha, dan mengapa mereka hanya mampu menang ketika menggunakan taktik 'kabur' pasca start.
Itu yang harus segera dipecahkan, setidaknya dalam 2 seri terakhir yang mana bisa menjadi titik krusial bagi Yamaha dalam mengamankan gelar juara dunia. Walaupun masukan Jorge Lorenzo tidak semuanya dapat direalisasikan karena faktor waktu, tetapi hal kecil yang sangat darurat, seharusnya dapat dilakukan oleh Yamaha.
Jika mereka memang ingin juara dunia dengan memanfaatkan momen kesialan Marc Marquez di musim ini, maka harus ada keberanian dalam mengambil risiko. Setidaknya, mereka harus mampu menargetkan adanya perbaikan performa motor pada dua sirkuit yang krusial.
Ketiadaan Marc Marquez bukan berarti membuat Yamaha "berleha-leha". Mereka juga harus berpikir tentang bagaimana kekuatan kompetitor lain di sisa seri musim ini dan musim depan.
Musim depan, Yamaha harus mampu mengakomodasikan pembalap pabrikannya secara maksimal. Jika Vinales atau Quartararo gagal juara dunia di musim 2020 ini, maka Yamaha sama sekali tidak memiliki pembalap eks-juara dunia seperti Rossi.
Itulah mengapa, keberadaan Jorge Lorenzo harus sangat dimanfaatkan oleh Yamaha. Buatlah keputusan yang jelas dan tegas. Hal ini saya yakini harus dilakukan Yamaha kepada Lorenzo, karena Lorenzo bukan tipikal pembalap yang sangat mengeyel seperti Marc Marquez.
Sejak ia sering kecelakaan dan sering tidak fit, Lorenzo sekarang mudah untuk menghindari risiko. Namun, demi kariernya sebagai pembalap tes, juga demi loyalitasnya kepada Yamaha, seharusnya ia berani mengambil keputusan bersama Yamaha.
Bahkan, ketika saat ini Rossi sedang diragukan untuk membalap di MotoGP Teruel (25/10), karena faktor pemulihan pasca diklaim positif covid-19, maka Yamaha harus berani mengambil keputusan. Hal ini juga harus dengan diskusi antara Rossi, Lorenzo, dan Yamaha.
Mereka harus mencoba menghitung-hitung peluang. Seperti, bagaimana Yamaha ketika tetap memaksa Rossi membalap di Teruel atau sebaliknya. Apakah itu akan mempengaruhi usaha Vinales dan Quartararo untuk mengamankan klasemen juara dunia atau tidak.
Begitu pun jika motor Rossi akhirnya diberikan ke Lorenzo, apakah Lorenzo dapat memberikan dampak kepada Yamaha. Memang, untuk memaksa Lorenzo langsung di barisan depan bukan target yang bijak.
Tetapi, untuk membuat Yamaha tahu di mana letak kesalahan motornya berdasarkan masukan dari Lorenzo itulah yang paling penting. Bahkan, ada pertimbangan alternatif jika memang Lorenzo masih diragukan untuk balapan.
Yamaha bisa menurunkan Lorenzo hanya pada sesi latihan bebas (FP). Berdasarkan jumlahnya yang ada 4 kali latihan bebas, maka itu bisa membuat Lorenzo cukup mengetahui karakteristik Yamaha YZR-M1 2020.
Melalui latihan bebas itu, Yamaha dan Lorenzo atau juga Rossi dapat mencari keputusan apakah akan tetap lanjut sampai kualifikasi dan balapan atau tidak. Apa pun keputusannya nanti, hal itu jauh lebih baik daripada Yamaha hanya mengandalkan 3 pembalap utamanya dan masih tidak ada Rossi.
Menganggurkan 1 motor Yamaha dalam 2 seri beruntun ketika musim kompetisi berjalan sangat pendek dan singkat ini, jelas Yamaha membuat kesalahan. Mereka juga semakin memubazirkan keberadaan Lorenzo, khususnya di musim ini.
Memang, kita tidak bisa sepenuhnya berkaca pada Repsol Honda yang menurunkan pembalap tesnya di balapan. Tetapi, keputusan Repsol Honda menurunkan Stefan Bradl jauh lebih baik daripada tidak sama sekali.
Menurut saya, seintensifnya Bradl menunggangi motor RCV213V 2020, saya pikir ceritanya akan berbeda dengan Lorenzo yang mendapatkan kesempatan menunggangi motor YZR-M1 2020. Bahkan, meski hanya 1 seri atau dua hari sekalipun, saya pikir akan berbeda, dan itu akan memberikan keuntungan bagi Yamaha--walau tidak banyak.
Jadi, kali ini saya sepakat dengan ocehan Rossi tentang Yamaha dan Lorenzo. Saya pikir, apa yang ia katakan itu cukup tepat.
Lalu, bagaimana dengan para penggemar MotoGP atau malah pendukung Yamaha terkait Yamaha musim 2020 ini?
~
Malang, 19-20 Oktober 2020
Deddy Husein S.
Terkait:
CNNIndonesia.com, Okezone.com, Gridoto.com, Kompas.com, Detik.com.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H