Tetapi, hal ini sudah membuat saya pusing. Semakin pusing jika ketebalan dompet menyusut dan tanda-tanda pemasukan hanya cukup untuk membeli paket data sebulan dan sisanya untuk beli makan nasi lalapan beberapa porsi.
Saya terkadang berpikir kalau seandainya saya pulang kampung, pasti ceritanya berbeda. Walau di sisi lain, semakin ke sini justru nilai tukar barang di kampung halaman malah terasa lebih mahal jika sama-sama bersifat langsung jadi.
Justru di tempat rantauan ini, saya masih dapat menemukan barang-barang jadi yang harganya terjangkau. Faktor 'identitas' kotanya atau dominasi status penduduknya di suatu daerah juga mempengaruhi.
Contohnya, bisa dilihat dari pesepak bola asing yang bermain di Indonesia. Mereka rata-rata akan kembali--hingga memboyong keluarga--ke Indonesia dan berusaha survive di Indonesia. Mereka tahu nilai tukar di sini lebih murah dari negara asalnya.
Dari tiga faktor tersebut, faktor terakhirlah yang sebenarnya patut dipikirkan secara mendalam. Apakah kita pindah kewarganegaraan untuk menjadi orang yang lebih tinggi derajatnya dari jati diri kita sebelumnya, atau malah terdegradasi?
Minimal, kita bisa menyamakan derajatnya dengan diri kita sebelumnya. Kalau malah turun, mending tahan dulu keinginan untuk pindah warga negara.
Pindah kos saja terkadang repot. Harus mengurus ini-itu, juga harus mengenal si ini-itu yang belum tentu seakrab yang sebelumnya.
Itu artinya, melakukan perpindahan bukan hal yang mudah. Jika ada yang di antara kita memiliki keinginan untuk berpindah tempat, sebaiknya dimulai dari yang sederhana dulu.
Kecuali kalau ada yang berpindah kewarganegaraan karena sudah memiliki "back up" di negara tersebut, baru up to you. Tetapi, kalau hidupnya masih sebatang kara dan susah bersosialisasi, lebih baik stay at home.