Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Leeds United Disebut Box Office Premier League, Setuju?

20 September 2020   20:49 Diperbarui: 22 September 2020   15:10 2071
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hasil laga. Gambar: Watch.thewest.com.au

Di media sosial dan media massa sedang ramai membahas dua pertandingan Leeds United di Premier League 2020/21. Alasannya adalah di dua laga itu, klub yang dilatih Marcelo Bielsa selalu mengakhiri pertandingan dengan skor 4-3.

Bedanya, di laga pertama Helder Costa dkk. harus kalah dari juara bertahan, Liverpool. Sedangkan di laga kedua (19/9), mereka berhasil mengalahkan sesama klub promosi, Fulham.

Melihat skor besar itu, banyak orang mengaku takjub dan bahkan sampai menyebut Leeds maupun Marcelo Bielsa adalah pencipta 'box office' di kompetisi Premier League. Saya pun tak sepenuhnya menampik anggapan itu.

Namun, di satu sisi saya juga tidak merasa harus membuatkan panggung dan red carpet untuk perjalanan Leeds United menuju akhir musim. Apa alasannya?

Pertama, permainan yang diperagakan Leeds sebenarnya sudah akrab sejak musim 2018/19. Ketika klub asal Yorkshire itu masih berlaga di EFL atau Championship Division.

Secara pribadi, saya pernah menonton pertandingan Leeds, karena saat itu kompetisi kasta kedua Liga Inggris tersebut disiarkan oleh TVRI. Dan di suatu momen, saya menonton pertandingan Leeds.

Jujur saja, ketika itu saya mengaku tertarik dengan permainan Leeds. Cepat bertransisi dan tajam dalam membawa dan mengarahkan bola ke depan, membuat ini seperti dambaan. Mengapa?

Pemandangan seperti ini sudah jarang terlihat di Premier League apalagi di level seperti Liga Champions. Sebelum bola sampai di dalam kotak penalti lawan, biasanya perlu melalui proses gocek sana-gocek sini. Kalau efektif, tidak masalah. Kalau tidak?

Itulah yang menjadi permasalahan ketika saya melihat beberapa klub papan atas di Premier League cenderung seperti itu. Tanpa saya sebutkan satu per satu klubnya, Anda pasti tahu yang saya maksud: kenapa ketika saya melihat permainan Leeds seperti, "Ya! Ini yang saya mau."

Tetapi, pikiran itu hanya cukup sampai di situ. Alasannya, saya juga ingin menonton permainan yang tak hanya sekadar tendang bola dan berlari, tetapi juga perlu ada teknik menggiring, melewati lawan dengan 'one pass-move' cepat dengan keterlibatan 2-3 pemain. Kira-kira seperti itu.

Hasilnya, ketika saya melihat pertandingan kedua Leeds di musim pertamanya di Premier League setelah sekian puluh tahun absen, saya hanya bergumam, "Waktu itu juga begini". Itulah yang membuat saya tidak terkejut dengan apa yang dilakukan Leeds saat ini.

Baca juga: Marcelo Bielsa Tetap Menjadi Diri Sendiri

Kedua, pertandingan melawan Fulham seperti pertandingan di Championship. Mereka sama-sama baru menyicipi tepian kopi hitam yang ampasnya belum larut ke dasar. Akibatnya, mereka menciptakan gengsi tersendiri.

Tim satunya berangkat ke Premier League sebagai tim juara, yang satunya lagi sebagai pengisi kuota promosi. Hasilnya, tim juara yang berhasil menang.

Namun, jika berkaca pada permainan dan skor yang tercipta, tidak ada jarak yang berarti. Hanya poin yang diperoleh yang membuat Leeds terasa istimewa dibandingkan Fulham. Selebihnya, biasa saja.

Toh, 2 gol Fulham tercipta setelah Leeds unggul dengan 4 gol. Artinya, Fulham bisa saja membuat epic comeback jika momentum itu ada dan berhasil dimanfaatkan oleh Mitrovic dkk.

Hasil laga. Gambar: Watch.thewest.com.au
Hasil laga. Gambar: Watch.thewest.com.au
Ketiga, ini masih dua laga di awal musim. Perjalanan masih sangat panjang dan kita juga perlu mengingat apa yang terjadi pada klub promosi musim lalu. Salah satunya seperti Norwich City.

Mereka adalah tim yang mampu mengalahkan juara bertahan saat itu, Manchester City, namun apa hasilnya di akhir musim? Degradasi. Padahal, tim promosi berstatus jawara, tetapi malah terdegradasi.

Inilah yang kemudian patut dicermati oleh para perindu aksi penerus generasi Alan Smith, Mark Viduka, Rio Ferdinand, dll. Saya pun mengaku senang melihat Leeds kembali hadir di pentas tertinggi setelah sebelumnya hanya berkutat di 'dunia lain'.

Tetapi di sisi lain, saya berpikir bahwa ini belum cukup untuk disanjung. Memang, mereka langsung mampu menghasilkan teror berupa 7 gol ke gawang lawan, tetapi gawang mereka juga jebol sebanyak 7 kali. Sama saja bukan?

Jika 'best game' adalah 'box office'. Gambar: mywatchlinks.com via Ghumi.id
Jika 'best game' adalah 'box office'. Gambar: mywatchlinks.com via Ghumi.id
Hal inilah yang kemudian membuat saya belum bisa menyematkan kata 'best game' untuk menggambarkan permainan Leeds saat ini. Tetapi, saya masih bisa menyematkan kata 'good game' untuk perjalanan awal mereka. Apa alasannya?

Pertama, mereka belum menghadapi klub-klub yang memiliki gaya main tersendiri. Contohnya seperti Manchester City. Memang, Man. City bisa saja akan sedikit gagap di menit-menit awal, seperti Liverpool yang sempat gagap menghadapi permainan Leeds.

Namun, satu hal yang perlu digarisbawahi adalah gaya main Leeds cenderung seperti sepak bola klasik Inggris, kick and rush. Hal ini bisa dilihat di laga kontra Fulham.

Menariknya, gaya main yang seperti itu sudah biasa dihadapi oleh Pep Guardiola, dan ia diyakini bisa meminta skuadnya untuk meredam gaya main yang seperti itu. Mereka hanya perlu menggunakan kemampuan mereka dalam mengatur tempo dan memanfaatkan momentum.

Itulah yang sebenarnya menjadi pekerjaan rumah besar bagi setiap lawan Leeds. Liverpool nyaris kalah karena itu. Tetapi jika mereka mampu meraih momentum dan mendikte permainan, Leeds juga akan kesulitan.

Ini juga harus ditunjang dengan tingkat konsentrasi yang tidak boleh kendur sedikit pun. Salah satunya di lini pertahanan. Jika lini pertahanan lengah, maka Leeds bisa memanfaatkannya dan akan mampu memberikan ancaman besar.

Itulah kenapa, titik utama permainan bola tidak lagi dari lini belakang seperti sepak bola masa kini, melainkan dengan memainkan bola di lini tengah. Ajak Leeds beradu kekuatan di sektor lini tengah, dan ini paling bisa dilakukan oleh Manchester City.

Kedua, permainan Leeds sebenarnya masih cukup kacau. Mereka juga masih memperagakan sepak bola praktis. Dan ini akan mudah ditebak oleh lawan yang memiliki kualitas lini tengah yang lebih baik.

Inilah yang membuat laga Leeds vs Fulham seperti pertandingan yang justru kurang menarik. Mereka terlalu banyak memainkan bola lambung, yang kemudian para pemainnya beradu lari kencang lalu tabrakan dan tercipta pelanggaran. Skema ini jelas bukan kelasnya Premier League.

Hanya di momen-momen tertentu saja kita akan melihat sebuah tim kuat di Premier League melakukan kesalahan. Sedangkan di laga ini tidak begitu. Nyaris di setiap 5 atau 10 menit akan terjadi duel keras yang terkadang malah menjadi adegan konyol.

Seperti duel keras yang terjadi di area yang sebenarnya tidak berbahaya bagi pemain yang dianggap melakukan pelanggaran. Begitu pun saat bola masih di dalam kotak penalti, malah ada yang tiba-tiba melakukan sapuan tetapi gagal dan malah menjatuhkan lawan. Apa itu kelasnya Premier League?

Ketiga, Leeds perlu menghadapi tim yang bisa menjadi antitesis dari cara bermain Leeds yang nyaris tanpa mengandalkan kreativitas di lini tengahnya. Ada tiga tim yang bisa jadi menjadi perlawanan alot Leeds.

Tim pertama adalah Liverpool. Walau sudah bertemu, tetapi Leeds sepertinya menghadapi Liverpool yang belum sepenuhnya Liverpool. Mengapa begitu?

Karena ini masih di awal musim, ditambah dengan status juara bertahan yang disandang oleh Henderson dkk. Otomatis masih ada beban-beban yang belum hilang dari kepala yang kemudian mempengaruhi kinerja kaki dan mobilitas permainan.

Jika Leeds kembali bertemu dengan Liverpool--di paruh kedua musim, maka ada peluang bagi Liverpool untuk mengalahkan Leeds dengan sedikit lebih mudah. Alasannya, gaya main Leeds sebenarnya sederhana, seperti Liverpool yang sebenarnya juga sederhana.

Pasukan Klopp juga menerapkan pertahanan dengan garis tinggi seperti yang dilakukan Leeds. Artinya, peluang-peluang yang diciptakan oleh Liverpool juga bisa berawal dari kesalahan lawan. Inilah yang juga dilakukan oleh Leeds.

Seandainya Liverpool lebih fokus dan siap menghantam Leeds sedari menit awal, maka kejadian horor di pekan pertama musim ini tidak akan terjadi lagi. Itu artinya di poin pertama kelemahan Leeds adalah mereka bisa dikalahkan oleh tim yang memeragakan strategi yang sama.

Tim kedua adalah Manchester United. Jika melawan tim yang menunggu dan mengandalkan serangan balik, Man. United (nyaris) pasti kalah.

Tetapi, kalau mereka menghadapi tim yang percaya diri dalam menguasai bola, maka Man. United akan punya peluang besar untuk menang. Karena, mereka akan mengandalkan serangan balik cepat nan tajam--bola langsung dibawa/diarahkan sampai ke kotak penalti.

Hanya, persoalannya adalah apakah lini depan Man. United efektif dalam mengeksekusi peluang lewat serangan cepat atau tidak. Jika mereka seperti saat mengalahkan Chelsea di musim lalu, maka itu bisa diperagakan lagi saat melawan Leeds saat ini.

Tim ketiga adalah Tottenham Hotspur. Selama Spurs masih dilatih Mourinho, maka strategi terbaiknya adalah menunggu dan menyerang balik. Meski tidak selalu berhasil, tetapi cara ini paling tepat untuk menghadapi tim yang bermain secara 'kontemporer' seperti Leeds.

Bisa disebut kontemporer, karena secara formasi, Leeds bisa memperagakan formasi yang jarang digunakan oleh sepak bola masa kini. Misalnya dengan formasi 3-1-3-3 atau 3-3-1-3.

Formasi yang digunakan Bielsa saat menjamu Fulham (19/9) adalah 3-4-3/3-4-1-2. (Gambar: 11v11.com)
Formasi yang digunakan Bielsa saat menjamu Fulham (19/9) adalah 3-4-3/3-4-1-2. (Gambar: 11v11.com)
Penggunaan formasi 3 bek adalah formasi lama. Tetapi Bielsa memadukannya dengan gaya main masa kini yang praktis. Terbukti, tim yang sukses di musim lalu adalah tim-tim yang bermain sangat praktis.

Liverpool yang juara Premier League gaya bermainnya tidak serumit Manchester City. Juga Bayern Munchen yang menjuarai Liga Champions dengan peragaan bermain yang jelas, yaitu mengetahui titik-titik kelebihan mereka.

Seperti ketika mereka punya kelebihan di sisi sayap, maka mereka menggunakan itu untuk menghancurkan lawan. Jika mereka punya kelebihan di sisi tengah, maka mereka menggunakan itu untuk mendominasi lawan.

Begitu pun jika mereka unggul di lini depan, maka tinggal disodorkan saja bola daerah ke depan, dan biarkan para pemain depannya yang memiliki kecepatan untuk menyelesaikan peluang yang dimiliki. Simpel bukan?

Peragaan inilah yang kemudian membuat tim-tim yang sebelumnya digdaya seperti Barcelona dan Arsenal menjadi melempem. Barcelona sedikit beruntung, karena terakhir juara liga di musim 2018/19. Sedangkan Arsenal terakhir juara liga 2003/04. Lama sekali.

Tetapi begitulah sepak bola, selalu ada perubahan. Dan saat ini, strategi simpel lebih menjanjikan untuk memenangkan pertandingan maupun kompetisi. Maka tak mengherankan jika permainan yang diusung Mourinho meski sering dicibir, tetapi masih ampuh untuk meraih trofi.

Inilah yang kemudian bisa digunakan pula oleh Mourinho untuk mengalahkan taktik Marcelo Bielsa. Tentang berhasil atau tidak, kita perlu melihat dua faktor di lapangan.

Spurs sekarang diperkuat oleh Bale lagi. (twitter.com/SpursOfficial)
Spurs sekarang diperkuat oleh Bale lagi. (twitter.com/SpursOfficial)
Faktor pertama adalah jika pertahanan Leeds masih kelas medioker. Faktor kedua adalah jika kehadiran Gareth Bale bisa memberikan dampak positif ke permainan Tottenham Hotspur.

Baca juga: Deretan Pemain Lontang-lantung

Dari penggambaran sederhana ini, saya hanya ingin menyampaikan bahwa kehadiran Leeds di pentas Premier League 2020/21 memang sangat menghibur dalam sudut pandang penonton--yang biasanya hanya menginginkan gol.

Hanya, dalam sudut pandang sepak bola yang sudah kian kompleks, khususnya bagi Leeds sendiri, hasil ini masih bagian awal dari pembelajaran mereka untuk dapat bertahan di level tertinggi.

Mereka tidak akan bisa bertahan lama di Premier League, jika cara bermain mereka tidak seimbang. Mereka memang boleh berdalih bahwa sepak bola adalah mencari pemenang dengan siapa yang dapat mencetak gol paling banyak di pertandingan tersebut.

Tetapi, bagaimana jika mereka kemudian gagal mencetak banyak gol?

Suporter Leeds United berkumpul di sekitar Elland Road pada Jumat (17/7/2020) untuk merayakan kembalinya klub tersebut ke Premier League atau kasta teratas Liga Inggris. (Foto: AFP/PAUL ELLIS via kompas.com)
Suporter Leeds United berkumpul di sekitar Elland Road pada Jumat (17/7/2020) untuk merayakan kembalinya klub tersebut ke Premier League atau kasta teratas Liga Inggris. (Foto: AFP/PAUL ELLIS via kompas.com)
~

Malang, 20-9-2020
Deddy Husein S.

Berita terkait:
Bola.net, Tempo.co, dan Panditfootball.com.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun