Kedua, pertandingan melawan Fulham seperti pertandingan di Championship. Mereka sama-sama baru menyicipi tepian kopi hitam yang ampasnya belum larut ke dasar. Akibatnya, mereka menciptakan gengsi tersendiri.
Tim satunya berangkat ke Premier League sebagai tim juara, yang satunya lagi sebagai pengisi kuota promosi. Hasilnya, tim juara yang berhasil menang.
Namun, jika berkaca pada permainan dan skor yang tercipta, tidak ada jarak yang berarti. Hanya poin yang diperoleh yang membuat Leeds terasa istimewa dibandingkan Fulham. Selebihnya, biasa saja.
Toh, 2 gol Fulham tercipta setelah Leeds unggul dengan 4 gol. Artinya, Fulham bisa saja membuat epic comeback jika momentum itu ada dan berhasil dimanfaatkan oleh Mitrovic dkk.
Mereka adalah tim yang mampu mengalahkan juara bertahan saat itu, Manchester City, namun apa hasilnya di akhir musim? Degradasi. Padahal, tim promosi berstatus jawara, tetapi malah terdegradasi.
Inilah yang kemudian patut dicermati oleh para perindu aksi penerus generasi Alan Smith, Mark Viduka, Rio Ferdinand, dll. Saya pun mengaku senang melihat Leeds kembali hadir di pentas tertinggi setelah sebelumnya hanya berkutat di 'dunia lain'.
Tetapi di sisi lain, saya berpikir bahwa ini belum cukup untuk disanjung. Memang, mereka langsung mampu menghasilkan teror berupa 7 gol ke gawang lawan, tetapi gawang mereka juga jebol sebanyak 7 kali. Sama saja bukan?
Pertama, mereka belum menghadapi klub-klub yang memiliki gaya main tersendiri. Contohnya seperti Manchester City. Memang, Man. City bisa saja akan sedikit gagap di menit-menit awal, seperti Liverpool yang sempat gagap menghadapi permainan Leeds.
Namun, satu hal yang perlu digarisbawahi adalah gaya main Leeds cenderung seperti sepak bola klasik Inggris, kick and rush. Hal ini bisa dilihat di laga kontra Fulham.