Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Alfred Riedl dan Sekali Tepuk Nyamuk Berjatuhan

19 September 2020   12:06 Diperbarui: 19 September 2020   12:13 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kabar kepergian Alfred Riedl beberapa waktu lalu (8/9) telah membuat publik pendukung timnas Indonesia sangat merasa kehilangan. Hal ini tentu berlaku pula bagi saya yang pernah dibuat merinding dan turut merasakan gejolak euforia-nya Piala AFF 2010.

Saat itu banyak pemain yang ikonik di turnamen antar negara se-Asean itu, seperti duo pemain baru Cristian 'El Loco' Gonzales dan Irfan Bachdim. Mereka seperti menjadi bagian dari pecahan puzzle yang dibutuhkan untuk membuat timnas Indonesia kala itu nyaris bisa dikatakan sempurna.

Nyaris sempurna sebagai pondasi dari racikan strategi pelatih baru timnas saat itu, Alfred Riedl. Alfred Riedl jelas bukan orang baru di jagat AFF.

Tetapi, biasanya kita jarang menengok kiprah pelatih asing sebelum bersinggungan dengan Indonesia. Ditambah saat itu media massa masih belum sepenuhnya menggelora di media online/digital.

Ini membuat pertukaran informasi masih mengandalkan surat kabar. Sedangkan pemuatan kabar di koran seringkali hanya memuat yang headline (baca: penting) banget di bidang tersebut.

Contohnya, kalau kita membaca judul "Alfred Riedl dan Vietnam" atau "Alfred Riedl dan Laos", apakah kita akan kepo terhadap kabar yang dimuat dengan judul itu? Bagaimana dengan "Alfred Riedl dan Indonesia"? Rasanya pasti berbeda, kan?

Namun jika boleh jujur, nama Coach Alfred bisa semakin melambung karena kiprahnya di Piala AFF 2010, dan tentunya karena bersama timnas Indonesia. Atmosfer fanatis suporternya dan melihat bagaimana penampilan Firman Utina dkk. yang enerjik seolah pemandangan baru yang sudah lama ingin dilihat lagi.

Alfred Riedl dikenal sebagai pelatih yang jarang tersenyum dan momen ini akrab di ingatan masyarakat Indonesia. Gambar: Goal.com
Alfred Riedl dikenal sebagai pelatih yang jarang tersenyum dan momen ini akrab di ingatan masyarakat Indonesia. Gambar: Goal.com
Di momen itulah, kita melihat pemandangan menarik yang kemudian menjadi salah satu pembahasan saya. Sebenarnya saya ingin melakukan flashback lebih jauh tentang jejak pertama Alfred Riedl bersama timnas Indonesia, yaitu melalui gelaran Piala AFF tersebut.

Namun, saya pikir sudah banyak yang mengulasnya. Ini yang membuat saya akan mencoba membahas hal lain yang berkaitan antara Alfred Riedl dengan pola kehidupan secara general. Meski begitu, ilustrasinya tidak akan jauh-jauh dari dunia olahraga.

Ilustrasi dari Pixabay/skeeze
Ilustrasi dari Pixabay/skeeze
Dimulai dari yang pertama, yaitu Self Control. Dewasa ini membahas pengendalian diri seperti membahas tentang keputusasaan atau bisa dikaitkan pula dengan upaya mencari penebusan dosa. Padahal tidak begitu juga.

Pengendalian diri bisa kita lakukan untuk membuat apa yang kita inginkan dan kita butuhkan masih ada dalam batas yang ideal alias masih terkendali. Berbicara soal ideal, tentu seperti membaca kata surga. Pasti berat untuk dicapai.

Namun, saya melihat ini dapat dilakukan oleh Alfred Riedl. Entah mengapa dan bagaimana, tetapi saya melihat Alfred Riedl seperti melakukan self control yang kemudian membuat keadaan di sekitarnya menjadi (nyaris) lebih ideal.

Banyak contoh yang ia terapkan. Di dalam stadion, ia bisa membuat dirinya tak pernah larut dalam suasana pertandingan. Ia lebih memilih fokus mencermati pertandingan secara keseluruhan dibandingkan mengikuti irama pertandingan yang fluktuatif.

Sedangkan di luar stadion atau di konferensi pers dan agenda-agenda wawancara lainnya, ia akan menerapkan pola khusus. Sebenarnya penerapan pola khusus dalam agenda bincang-bincang atau tanya-jawab sudah pernah diperkenalkan oleh pemain Indonesia, Bambang Pamungkas.

Namun seolah belum familiar atau kebiasaan publik yang suka menyamaratakan semua tipe pemain, maka penerapan pola itu tak jarang mendapatkan cibiran hingga penyematan sikap-sikap kepada si pemain*. Padahal, sebenarnya ini adalah contoh yang bagus untuk diterapkan.

Alasannya pun salah satunya untuk pengendalian diri. Dengan penerapan pola khusus dalam agenda seperti itu, maka si "orang yang ditodong" tidak akan lost mind hingga membuatnya kelepasan dalam memberikan statement.

Dewasa ini, permasalahan ini kemudian juga menjadi viral. Entah karena disengaja atau tidak, yang pasti salah satu penyebabnya karena kurang/tidak ada pengendalian diri.

Jika sudah demikian, sulit rasanya untuk membuat suatu tindakan menjadi tepat dan bermanfaat bagi orang lain. Ditambah jika orangnya berstatus figur publik, maka tidak mungkin tiba-tiba membuat video singkat di media sosial lalu menyalahkan temannya, jika itu bukan karena sedang larut dalam suasana dan tidak mampu mengendalikan diri.

Ilustrasi disiplin. Gambar: Pixabay/wiredsmartio
Ilustrasi disiplin. Gambar: Pixabay/wiredsmartio
Perihal kedua yang diterapkan oleh Alfred Riedl adalah Discipline. Disiplin bisa dikatakan menjadi muaranya praktik pengendalian diri. Jika kita sudah bisa secara berkelanjutan melakukan pengendalian diri, maka kedisiplinan juga akan bisa dilakukan di langkah berikutnya dan tidak akan menjadi "tantangan baru".

Permasalahannya, melakukan tindakan disiplin itu sulitnya seperti nyaris berkali-kali lipat dari pengendalian diri. Jika melakukan pengendalian diri saja sudah sulit, maka kedisiplinan bisa dikatakan jauh dari harapan.

Seperti pungguk yang merindukan bulan, maka kita mengharapkan kedisiplinan bisa menjadi habit diri kita seperti terus bermimpi. Memang, bukan berarti tak ada orang yang disiplin. Tetapi jumlahnya tak akan sebanyak orang yang tidak disiplin.

Artinya, kita tidak bisa membuat perbandingan 50-50. Nahasnya, hal ini masih terjadi di dunia profesional, termasuk di olahraga.

Tentu, kita sempat tahu apa yang dilakukan oleh pemain-pemain berlabel timnas yang ternyata tidak melakukan kedisiplinan. Salah satunya dengan makanan.

Sebenarnya hal ini juga terjadi pada sosok senior bernama Bambang Pamungkas. Meski saya secara pribadi menjadikannya sebagai idola di lapangan, namun dalam hal kuliner, saya mengkritisinya.

Bukan karena dirinya tidak boleh menjadi "duta kuliner" untuk warung-warung khas di berbagai daerah. Tetapi alangkah baiknya tidak untuk ketika ia menjadi pemain profesional.

Memang sepak bola juga identik dengan travelling, tetapi sebaiknya tidak untuk wisata kuliner. Kalaupun ada, carilah kuliner yang memang sangat direkomendasikan untuk atlet, bukan untuk masyarakat umum penyuka pedas, gorengan, dan lainnya.

Masyarakat umum bahagia, tetapi bagaimana dengan generasi pesepakbola yang bermimpi ingin sepanggung (misalnya) dengan Lionel Messi?

Memang, dalam hal ini kita bisa melakukan komparasi dengan kebiasaan pesta pesepakbola internasional ketika jeda musim kompetisi atau pasca musim kompetisi digelar. Bahkan, ketika sebuah klub meraih gelar, maka mereka akan mengadakan pesta.

Contohnya sudah sangat jelas seperti Liverpool yang di musim 2019/20 berhasil "buka puasa" setelah 30 tahun "menunaikan puasanya". Seolah balas dendam, mereka segera melakukan perayaan*--if you know what I mean, padahal esoknya masih ada laga-laga lain yang harus dihadapi.

Ini contoh buruk yang kemudian seolah menjadi pembenaran bagi pelaku sepak bola profesional di Indonesia juga. Nahasnya yang baik-baik belum mampu ditiru, tetapi yang buruk-buruk cepat sekali ditiru, dan ini di level profesional.

Jika di level profesional dan senior saja sudah demikian, bagaimana dengan yang junior atau yang masih di SSB? Apakah mereka akan dengan senang hati makan nasi bungkus seperti saya yang hanya tiap hari duduk dan mengetik, sedangkan mereka harus berlari minimal 100 meter dengan kecepatan rata-rata 30 km/jam.

Mending mereka pensiun segera dan menjadi penulis bola yang ahli, daripada bermain bola yang bergaji berjuta kali lipat dari saya, tapi mereka masih ingin makan makanan yang seharusnya mereka baru nikmati saat pensiun. Inilah yang disayangkan ketika ada figur publik yang gagal memberikan contoh yang baik.

Memang, kita patut berpikir maklum bahwa semua orang punya celah di dalam segala tindakannya, tetapi lebih baik tidak dipublikasikan. Itulah guna self control tadi.

Jika ada self control, maka kita tidak akan pernah tahu bahwa ternyata para pemain kita sering kendur di babak kedua karena masih adanya ketidakdisiplinan dalam pola hidup. Secara 'cocokologi', itu pula yang membuat timnas (senior) kita masih sulit juara padahal masih di level AFF.

Namun, seandainya timnas kita berhasil juara, bisa jadi akan ada unggahan, "Berkat nasi bungkus yang halal kami bisa juara. Gitu aja kok repot."

Susah memang untuk berbuat saling mengingatkan, karena tidak ada yang saling merasa ada salahnya pada diri sendiri, melainkan kepada orang lain. Saya akan berpikir bahwa teman saya pasti punya celah di balik kehebatannya dalam membuat karya, tetapi tidak berpikir bahwa saya sendiri juga begitu.

Hasilnya, ketika saya berhasil menemukan celah dari teman, saya tidak meniru kemampuan teman saya menutupi celahnya, melainkan meniru teman saya dalam membuat celah di balik kehebatannya. Konyol bukan?

Kira-kira begitulah yang dapat menggambarkan bagaimana dampak dari kegagalan seseorang dalam menerapkan kedisiplinan yang sebenarnya juga berawal dari keharusan dalam mengendalikan diri. Inilah yang kemudian dibawakan oleh Alfred Riedl.

Alfred Riedl mencoba menerapkan kedisiplinan dalam timnya. Bahkan, di luar dugaan publik saat itu, ia memilih tetap memanggil Bambang Pamungkas, alih-alih Boaz Solossa yang sedang moncer di Liga Indonesia--masih bernama Indonesia Super League (ISL)--saat itu.

Entah karena indisipliner atau karena cedera, Boaz saat itu tidak merapat ke timnas. Begitu pun dengan pendapat para pemain saat itu pasca melakoni beberapa kali latihan. Mereka mengungkapkan bahwa kedisiplinan sangat ditekankan oleh Alfred Riedl di luar perihal teknis.

Itulah yang kemudian seperti teraplikasikan ke dalam permainan di Piala AFF 2010. Meskipun tidak juara, kita setidaknya sudah diberitahu oleh Alfred Riedl bahwa untuk menjadi juara ternyata tidak hanya soal skill tetapi juga tentang kedisiplinan.

Memang, kedisiplinan juga dapat memberikan dampak lain, seperti konservatisme. Terkadang, orang-orang yang cenderung sangat disiplin tidak berani keluar dari zona nyamannya.

Hal ini dapat dilihat dari bagaimana timnas kita saat itu seperti tidak berani keluar dari patokan formasi 4-4-2. Ketika lawan sudah berhasil mempelajari sisi kelebihan dan kekurangan taktik Alfred, maka yang terjadi seperti saat di partai final.

Namun sebagai seseorang yang tidak memiliki kedisiplinan, saya masih berpikir bahwa kedisiplinan tetap lebih baik. Walaupun cenderung statis, tetapi itu akan memberikan arah yang jelas untuk ke mana kita akan berjalan.

Itulah yang sebenarnya saya dapatkan dari keberadaan Alfred Riedl yang pernah tiga kali membesut timnas Indonesia. Kali terakhir, ia kembali membuktikan bahwa pengendalian diri dan kedisiplinan masih bisa menjadi kunci untuk dapat sekali lagi menjejak final di Piala AFF 2016.

Menariknya, ia dapat menerima warna baru dalam tubuh timnas yang kali ini dipimpin oleh Boaz Solossa. Bersama skuad yang diracik dengan kuota 2 pemain per 1 klub itu ternyata Alfred Riedl masih bisa bekerja dengan cukup baik.

Inilah sebenarnya letak dari luar biasanya magis kedisiplinan jika kemudian dikombinasikan dengan penyesuaian diri (adaptasi). Jika kita bisa self control, discipline, dan adaptation, peluang untuk sukses akan sangat terbuka lebar.

Tetapi kenapa kita masih belum bisa melihat timnas kita juara--bahkan dengan Alfred Riedl?

Jawabannya adalah proses atau bisa juga disebut waktu. Timnas Indonesia sangat membutuhkan proses yang berjangka panjang agar segala menu yang dibawakan oleh pelatihnya bisa diterapkan hingga mencapai nyaris 100%.

Namun, perihal kunci yang dibawa oleh Alfred Riedl ini bukanlah untuk membuat timnas segera membuka ruang pesta, melainkan untuk membuka ruang penyadaran diri. Sudahkah kita mampu mengendalikan diri dan disiplin?

Lewat pertanyaan itulah, saya memilih mengibaratkan sosok Alfred Riedl sebagai manusia yang berhasil menepukkan tangannya dan membuat dua atau tiga nyamuk berjatuhan. Ia mungkin hanya ingin memperbaiki kebiasaan buruk pesepak bola Indonesia (1 nyamuk).

Tetapi, caranya juga bisa membuat masyarakat umum (banyak nyamuk) memperoleh dampak dan pembelajaran terkait pola hidup. Semoga kita bisa mulai membiasakan diri untuk mengendalikan diri dan belajar disiplin.

Terima kasih Coach Alfred, atas singgahmu di negeri ini. Damai dan tersenyumlah di sana.

Selamat jalan Coach Alfred. Gambar: diolah dari AFP PHOTO/HOANG DINH NAM via MediaIndonesia.com
Selamat jalan Coach Alfred. Gambar: diolah dari AFP PHOTO/HOANG DINH NAM via MediaIndonesia.com
Malang, 12-19 September 2020

Deddy Husein S.

Terkait:

CNNIndonesia.com, Bola.com, Kompas.com, Jebreeetmedia TV.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun