Itulah yang sebenarnya saya dapatkan dari keberadaan Alfred Riedl yang pernah tiga kali membesut timnas Indonesia. Kali terakhir, ia kembali membuktikan bahwa pengendalian diri dan kedisiplinan masih bisa menjadi kunci untuk dapat sekali lagi menjejak final di Piala AFF 2016.
Menariknya, ia dapat menerima warna baru dalam tubuh timnas yang kali ini dipimpin oleh Boaz Solossa. Bersama skuad yang diracik dengan kuota 2 pemain per 1 klub itu ternyata Alfred Riedl masih bisa bekerja dengan cukup baik.
Inilah sebenarnya letak dari luar biasanya magis kedisiplinan jika kemudian dikombinasikan dengan penyesuaian diri (adaptasi). Jika kita bisa self control, discipline, dan adaptation, peluang untuk sukses akan sangat terbuka lebar.
Tetapi kenapa kita masih belum bisa melihat timnas kita juara--bahkan dengan Alfred Riedl?
Jawabannya adalah proses atau bisa juga disebut waktu. Timnas Indonesia sangat membutuhkan proses yang berjangka panjang agar segala menu yang dibawakan oleh pelatihnya bisa diterapkan hingga mencapai nyaris 100%.
Namun, perihal kunci yang dibawa oleh Alfred Riedl ini bukanlah untuk membuat timnas segera membuka ruang pesta, melainkan untuk membuka ruang penyadaran diri. Sudahkah kita mampu mengendalikan diri dan disiplin?
Lewat pertanyaan itulah, saya memilih mengibaratkan sosok Alfred Riedl sebagai manusia yang berhasil menepukkan tangannya dan membuat dua atau tiga nyamuk berjatuhan. Ia mungkin hanya ingin memperbaiki kebiasaan buruk pesepak bola Indonesia (1 nyamuk).
Tetapi, caranya juga bisa membuat masyarakat umum (banyak nyamuk) memperoleh dampak dan pembelajaran terkait pola hidup. Semoga kita bisa mulai membiasakan diri untuk mengendalikan diri dan belajar disiplin.
Terima kasih Coach Alfred, atas singgahmu di negeri ini. Damai dan tersenyumlah di sana.
Deddy Husein S.