Kali ini saya berusaha untuk tidak membahas tentang bola. Beberapa ide tentang bola sengaja saya tahan, walau susah sih. Lalu, apa yang akan saya tulis?
Tentang hubungan. Tetapi, bukan antara dua orang yang sedang pacaran, melainkan antara anak dan orang tua. Lebih tepatnya dengan ibu.
Karena saya anak laki-laki, maka saya berpikir bahwa hubungan antara anak lelaki dan ibunya akan sangat krusial. Alasannya adalah keberadaan faktor penanaman pengetahuan dan budi pekerti yang biasanya cenderung diemban oleh ibu.
Perempuan identik dengan perasaan, dan ibu identik dengan pengajaran kehidupan. Anak lelaki memang bisa menjadikan ayahnya sebagai role model, tetapi sosok ibu juga sangat penting bagi pertumbuhan dan perkembangan si anak dalam membentuk diri di kemudian hari.
Karakter bawaan memang sulit untuk berubah, tetapi sikap bisa beradaptasi berdasarkan apa yang pernah dilihat dan diajarkan oleh orang tua. Dan, berdasarkan pengalaman saya, sosok ibu sangat berperan penting dalam hal ini.
Ada yang bilang karena ibu adalah 'orang domestik', sehingga wajar jika ia paling dekat dengan anak-anaknya dan itulah yang membuat ibu bisa mengajarkan hal-hal penting kepada anaknya. Tetapi, seandainya sosok ibu adalah perempuan karier, ia juga tidak akan mudah melepaskan tanggung jawabnya dalam mengawasi perkembangan anak.
Perasaan semacam itu yang mengantarkan ibu untuk lebih perhatian dengan anaknya dibandingkan ayah. Kurang lebih demikian, karena sosok ayah yang identik sebagai pekerja kebanyakan akan fokus untuk mencari kesejahteraan keluarga.
Itulah yang membuat sosok ayah cenderung menjadikan rumah sebagai tempat istirahat, bukan untuk memikul tanggung jawab lagi, seperti mendidik anaknya. Salah satu penyebab klisenya adalah ayah itu laki-laki, dan biasanya berpikir praktis.
Seperti, "tadi aku sudah kerja, sekarang aku ingin istirahat". Pola pikir ini tidak sepenuhnya salah, tetapi menjadi kurang positif jika dikaitkan dengan pertumbuhan dan perkembangan anak.
Itulah mengapa, sosok ayah sebagian besar lebih memilih berperan sebagai orang rumah yang sabar* dibandingkan sosok ibu. Ayah akan berusaha memilih untuk tidak cerewet, meski tentunya ia tahu bahwa yang dilakukan anaknya ada yang tidak benar.
Tetapi, pola seperti ini akan jarang bahkan nyaris mustahil dilakukan ibu. Karena, ibu adalah 'the last warrior' di dalam rumah. Ibu selalu akan berupaya menjadi orang yang bekerja keras dalam mendidik anaknya, karena pertimbangannya adalah ia ingin anaknya menjadi anak yang baik di masa depan.
Memang, sosok ayah tidak bisa sepenuhnya angkat tangan dalam mendidik anak. Itulah mengapa, tak jarang ada ayah-ayah yang akhirnya mencari waktu khusus untuk dapat lebih dekat dengan anaknya.
Seperti dengan ngopi bareng dengan anak lelakinya ketika si anak sudah dewasa. Juga, ada yang selalu menempatkan waktu khusus untuk liburan, atau setidaknya setiap Minggu ayah harus stay at home dan mengajak anak-anaknya bermain.
Keheranan atau kekaguman ini akan cenderung jarang terjadi pada ibu, karena ia sudah pasti melihat pertumbuhan dan perkembangan anaknya. Kecuali jika sang ibu harus bekerja di luar kota hingga di luar negeri, maka adakalanya ia cukup kagum dengan perubahan pada anaknya--jika positif.
Berdasarkan gambaran semacam ini, saya berpikir bahwa peran ibu sangat penting untuk membuat anaknya menjadi seperti apa nantinya. Ia pasti akan mencoba mengarahkan anaknya. Bahkan, tidak jarang anaknya kemudian berpikir bahwa ibunya sangat mengatur dibandingkan ayahnya yang cenderung diam saja.
Akibat pemikiran semacam itu, tak jarang ada perselisihan di rumah antara anak dan ibunya. Apalagi, kalau si anak adalah laki-laki dan sudah merasa gede (baca: dewasa), maka ia akan berusaha melawan kehendak ibunya.
Kalau sudah demikian, tak perlu heran jika dalam momen-momen kebersamaan malah ada saja yang diperdebatkan. Atau, paling kencang adalah ketika ibu sudah mengeluarkan jurus cerewet maut, dan si anak berusaha segera ke luar untuk membebaskan telinganya dari omelan ibunya.
Di saat-saat seperti itu, tak jarang para anak mulai berharap dapat merantau. Selain karena upaya membuktikan diri telah dewasa, juga karena biar telinganya tidak dijejali banyak kata dari ibunya yang terkadang memang tak perlu didengar lagi.
Namun, ketika para anak sudah berhasil menentukan jalan sendiri dan merantau di ragam tempat--bahkan sudah menikah, di situlah mulai lahir rasa kangen yang luar biasa terhadap ibunya. Bahkan, saat seperti itu juga para anak mulai mengharap bahwa, "saya ingin mendengar lagi celotehan ibu".
Saya sangat mengakui jika rasa kangen selalu muncul ketika berjauhan, apalagi antara anak dan ibu. Saya tentu tak menampik pula bahwa keinginan merantau salah satunya untuk bisa membuktikan diri sudah besar.
Tetapi di sisi lain, saya juga mengakui bahwa sedewasa apa pun saya nanti, saya masih seorang anak yang pantas dinasihati oleh ibu saya. Itulah mengapa, tak jarang saya merindukan momen-momen ketika saya diberikan dongeng sehari suntuk.
Bagi saya, itu adalah momen yang berharga yang harus kembali terulang. Semoga.
Malang, 25 Agustus 2020
Deddy Husein S.
Terkait:
Salah satu dampak positif ibu cerewet dan dampak negatifnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H