Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Alasan Tetap Upacara Kemerdekaan Meski Sendirian

21 Agustus 2020   10:45 Diperbarui: 21 Agustus 2020   10:45 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari kemerdekaan Indonesia sudah berlalu, namun masih banyak kisah tentang momen kemerdekaan yang masih melingkupi masyarakat Indonesia. Diantaranya adalah orang tua saya.

Kebetulan ibu saya tipikal orang yang suka seremonial. Beliau sangat memperhatikan hari-hari penting dan selalu menyambutnya dengan doa agar kehidupan selalu menemukan titik balik dalam mencapai jalan yang lebih baik dari sebelumnya.

Hal ini juga berlaku ketika hari kemerdekaan tiba. Bahkan, beliau sudah memasang bendera sejak tanggal 1 Agustus. Sedangkan himbauan dari pihak perangkat setempat baru tanggal 2 atau setelahnya.

Acungan jempol pun diberikan ke ibu saya, dan saya secara pribadi tidak terkejut. Karena memang begitulah ibu saya. Bahkan, beliau selalu tidak senang jika orang di rumah lalai dalam memasang bendera.

Beliau pasti akan mengingatkan atau memerintah untuk segera memasangnya. Bahkan, meski terkadang tiang bendera di rumah sedang tidak ada atau raib entah ke mana.

Pernah, waktu itu kami memasang bendera di tiang/saka teras rumah, karena tiang dan/atau bambu yang bisa dijadikan alternatif tidak ada. Saya pun tidak bisa membantu mencari penggantinya, karena rumah kami saat itu di sekitar tengah kota.

Susah mencari patahan pohon, apalagi batang bambu. Namun, ibu saya tetap mengharuskan untuk pasang bendera.

Ini adalah hari merdeka. Momen negara kita bisa memulai perjalanannya menjadi negara berdaulat. Kira-kira begitu caranya untuk membuat kami sangat menghormati momen kemerdekaan.

Memang, ini bukan hanya soal simbol perayaan, melainkan penghargaan kepada leluhur yang telah memperjuangkan tanah ini untuk merdeka. Itulah mengapa, dengan adanya pengibaran bendera, kita secara simbolis juga telah menghargai perjuangan pahlawan bangsa.

Mereka berjuang sudah dengan darahnya, kenapa kita dengan hanya mengibarkan bendera saja masih enggan?

Satu hal penting yang mendasari kebiasaan ibu saya dalam memperingati hari kemerdekaan adalah pengalamannya yang pernah hidup di Aceh. Tentu, kita pernah tahu bahwa negeri ini sempat mengalami gejolak luar biasa di berbagai tempat, salah satunya di ujung Sumatera*.

Di sana terjadi pemberontakan yang membuat pihak militer negara, yaitu TNI harus berperang melawan kaum pemberontak. Nahasnya, ibu saya harus ada di sana ketika seharusnya pulang ke Jawa pasca dari luar negeri.

Hal ini terjadi karena adanya sabotase kendaraan saat transit. Ibu dan beberapa orang lainnya yang ada di transportasi umum itu dibelokkan arahnya menuju ujung Sumatera alih-alih ke Jawa.

Ini adalah kedua kali dalam hidupnya, beliau berada dalam ketakutan yang luar biasa, padahal hidup di negerinya sendiri. Betapa mahalnya istilah merdeka kala itu.

Pengalaman keduanya yang mencekam ini salah satunya digambarkan dengan keadaan di setiap malam. Selepas Maghrib, di jalan perkampungan tempat tinggal sementara ibu saya itu selalu dimasuki mobil-mobil patroli.

Mereka berjalan dengan lambat dan terkadang tak terdengar deru mesinnya. Untuk membuat rumah-rumah aman, ibu dan keluarga--yang baik hati dan bersedia menampung ibu saya selama beberapa bulan itu--harus mematikan penerangan. Hanya lilin yang bisa dinyalakan.

Bahkan, mereka pun harus siap-siap untuk tiarap jika ada desingan peluru yang tentunya peluru itu bisa mengarah secara acak. Entah oleh pihak mana, ibu saya juga tidak tahu pasti.

Dari situlah kemudian ibu saya merekam pengalamannya bahwa untuk bisa--negara ini--kembali utuh seperti sekarang, kehidupan masyarakat di negeri ini sangat tidak mudah. Untuk itu, sebagai bukti rasa syukurnya setelah lepas dari masa paceklik kemerdekaan itu, ibu saya selalu mengedepankan momen mengibarkan bendera merah-putih.

Bahkan, ketika sekarang sudah marak upacara online*, ibu saya malah sudah rutin mengadakan upacara sendiri di hadapan sang merah-putih. Memang, tidak sampai harus membawa bendera itu ala regu paskibraka, tetapi momen yang paling penting dari upacara itu adalah mengheningkan cipta tepat di bawah sang merah-putih.

Di situlah waktu yang tepat untuk kita bersyukur bahwa kita masih bisa makan dan minum dengan duduk--tidak tiarap. Kita juga masih bisa menyalakan lampu, menyalakan televisi, hingga sekarang juga sudah banyak orang yang bisa memasang WiFi di rumah-rumah baik di pelosok maupun di perumahan elit.

Itulah yang membuat ibu saya memanfaatkan momen kemerdekaan dengan melakukan upacara sendiri. Walau ada orang-orang yang memandangnya dengan segala pemikiran mereka, ibu saya tidak malu untuk mengheningkan cipta di bawah bendera merah-putih.

Ia pun mengirimkan doa kepada para leluhur bangsa yang telah dengan ikhlas mengorbankan nyawanya demi kemudahan hidup generasi selanjutnya yang diharapkan mampu membawa negeri ini lebih baik. Salam merdeka!

Sang Merah-Putih sudah tegak di pagi hari di tanah Borneo. Gambar: Dokpri/DeddyHS
Sang Merah-Putih sudah tegak di pagi hari di tanah Borneo. Gambar: Dokpri/DeddyHS
Malang, 20-21 Agustus 2020

Deddy Husein S.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun