Sejak sepak bola di Eropa dan dunia telah menggeliat kembali, Indonesia pun berupaya mengikuti. Sebenarnya kompetisi sepak bola Indonesia, khususnya Liga 1, telah digelar selama 3 pekan.
Namun, akibat pandemi covid-19, musim kompetisi 2020 itu harus ditangguhkan. Termasuk kompetisi level lainnya yang malah belum sempat kick-off.
Meski demikian, seiring berjalannya waktu pihak pengelola sepak bola Indonesia baik PSSI dan PT. Liga Indonesia Baru (LIB) berupaya untuk mengembalikan kompetisi sepak bola ke permukaan.
Keputusan pun diambil dengan menetapkan bulan Oktober sebagai waktu yang ideal untuk melanjutkan kompetisi. Pro-kontra tak terhindarkan.
Ada yang merasa perlu segera kembali agar neraca keuangan para pelaku sepak bola tak semakin hancur lebur. Namun, ada pula yang sangat sangsi dengan jalannya kompetisi itu nantinya.
Baca juga: Menerka Penyebab Kegalauan Klub Liga 1 Musim Ini
Sebagai masyarakat penonton pun ada yang memaklumi kegentaran pihak-pihak yang masih enggan setuju dengan keputusan comeback tersebut. Tetapi di sisi lain, masyarakat penonton juga diprediksi akan menginginkan kompetisi sepak bola Indonesia kembali.
Ada dua pertimbangan yang mendasari mengapa kompetisi sepak bola nasional harus digelar lagi. Pertama, karena sepak bola nasional juga merupakan bagian dari sepak bola Asia--dan dunia.
Jika kalender musim kompetisi 2020 tidak ada, maka diragukan bagi wakil Indonesia untuk ambil bagian di kompetisi Asia. Jika sudah demikian, maka nanti akan ada saja yang mengkritik--ke federasi--tentang kiprah klub Indonesia yang lagi-lagi tak mampu berbuat banyak di kancah Asia. Padahal, sudah pasti ada alasannya, yaitu pandemi covid-19.
Pertimbangan kedua adalah penggunaan kalender kompetisi. Idealnya ketika sebuah kompetisi menyelenggarakan musimnya di dalam satu tahun penuh, maka ketika terjadi pergantian tahun, itu juga merupakan tanda pergantian musim.
Hal ini yang dilakukan kompetisi di Indonesia, khususnya dalam beberapa musim terakhir. Mereka terlihat seperti berpatokan pada kalender tahunan bukan pada musim--yang digunakan kompetisi di Eropa.
Artinya, jika kompetisi 2020 ini tidak kunjung tergelar lagi, maka lebih baik musim kompetisinya seratus persen dihapus. Sehingga, ketika kalender berganti (2021), maka kompetisi yang digelar juga merupakan musim baru.
Langkah ini akan memudahkan pihak pengelola kompetisi untuk mengatur jadwal. Ditambah dengan kebiasaan kompetisi kita ini adalah menunda pertandingan. Seperti ketika terjadi momen pilkada atau pemilu, maka jadwal kompetisi juga berpengaruh.
Padahal, di negara lain kompetisi sepak bola nyaris tidak terpengaruh dengan hal-hal semacam itu. Termasuk dengan alasan pelaksanaan ibadah (bulan Ramadan) yang dijadikan alasan dalam menolak adanya jadwal kompetisi tertentu.
Ini tentu menggelitik. Karena, anak-anak sekolah saja masih berangkat ke sekolah saat bulan Ramadan walau jam belajarnya dikurangi. Apakah pesepakbola profesional kalah profesionalnya dengan anak sekolah? Bukankah bisa juga pertandingan digelar pada malam hari?
Apabila memang kebiasaan-kebiasaan suka mencari momen berlibur itu tidak bisa dihilangkan, maka sebaiknya pihak federasi dan penanggungjawab kompetisi harus menyiapkan rencana terburuk. Yaitu, menghapus kalender musim kompetisi 2020 dan segera move on ke kalender 2021.
Alasannya sederhana, di kalender itu jadwal kompetisi akan sangat banyak. Seperti Piala AFF, Piala Dunia U-20, hingga jika ada Sea Games yang biasanya digelar di tahun berangka ganjil per dua tahun sekali--edisi terakhir pada 2019.
Artinya, sepak bola Indonesia harus berani membuat dua perencanaan--atau lebih--yang 180 derajat berbeda. Jika sudah demikian, maka ketika terjadi hal-hal yang di luar prediksi, sepak bola kita sudah siap menghadapinya.
Hal ini seperti yang terjadi pada kompetisi di negara lain, Australia. Keputusan sembrono terjadi federasi ataupun penanggungjawab kompetisi di liga domestiknya (A-League) memperbolehkan penonton untuk hadir lagi di tribun stadion.
Hasilnya pun sudah bisa ditebak. Ada yang positif terkena virus corona!
Seolah mereka tidak memandang apa yang telah terjadi pada daerah lain--negara bagian--yang sampai saat ini masih belum membaik, dan malah kembali meningkat grafik kasusnya.
Mereka pun terlihat ingin meniru beberapa pertandingan di Eropa yang telah berani menghadirkan penonton. Seperti pertandingan di Prancis yang mempertemukan Paris Saint-Germain dengan Saint-Etienne beberapa waktu lalu.
Sebenarnya keputusan ini tak sepenuhnya salah jika penerapannya benar, dan andaikata mereka tetap percaya diri bahwa kasus covid-19 bisa ditekan pertumbuhan grafiknya. Salah satu caranya adalah menempatkan suporter dengan cara duduk seperti pemain-pemain cadangan yang saat ini sering terlihat duduk secara berjarak di tribun--diawali oleh Bundesliga.
Baca juga: Ada 7 Penampakan pada Restart Bundesliga 2019/20
Kali ini suporter harus tidak bergerombol kecuali bersaudara atau bersama keluarganya. Peraturan harus seketat itu, bahkan meski ada perayaan gol. Mereka benar-benar harus diawasi, bahkan diingatkan.
Terlepas dari hasil tes pra-pertandingan kepada suporter, mereka tetap harus diberikan sistem yang berbeda ketika di dalam stadion. Itu juga demi keselamatan mereka dan tentunya pihak lain termasuk para pemain.
Perizinan suporter kembali di tribun juga sebaiknya mengikuti statistik kasus di negara tersebut. Bahkan, meski antar daerah berbeda jauh statistik kasusnya, tetap saja pihak pemegang regulasi harus menghindarkan area dalam stadion dari suporter.
Sebisa mungkin regulasi itu adil, biar tidak terjadi kecemburuan sosial antar kelompok suporter. Karena ini juga dikhawatirkan akan membuat adanya oknum-oknum yang nekad masuk ke stadion yang mengizinkan kedatangan suporter tanpa adanya validitas kesehatan.
Bukankah akhir-akhir ini sudah ada orang yang nekad memalsukan surat keterangan sehat dan bebas covid-19? Jika merujuk pada pengawalan regulasi dalam praktiknya di sepak bola, cukup sangsi bahwa pemeriksaan terkait suporter bebas covid-19 bisa berjalan maksimal.
Untuk itulah, sebaiknya kita tidak meniru apa yang terjadi pada sepak bola Australia kemarin. Mencegah tetaplah lebih baik daripada mengobati, walau harus dengan susah payah. Karena ketika sudah sakit, akan lebih susah lagi.
Sebenarnya penggambaran ini bukan bermaksud untuk menuduh suporter sebagai pihak yang paling bertanggungjawab atas potensi penyebaran virus, tetapi ini untuk pencegahan dan demi keselamatan semua pihak. Suporter adalah representasi masyarakat umum yang artinya pihak yang paling rentan untuk menghadapi covid-19.
Suka atau tidak, kita harus menyadari bahwa suporter bukan pemain atau pelatih yang ketika terkena virus corona akan langsung ditangani dan dikontrol oleh tim medis--dari klubnya. Tim medis itu pula biasanya sangat fokus untuk penyembuhan figur-figur tersebut. Kita harus ikhlas untuk mengakui bahwa suporter belum memiliki keistimewaan tersebut.
Untuk itulah, euforia di dalam stadion sebaiknya ditahan dulu. Demi panjang umurnya para suporter semua klub dan negara.
Lalu, kapan idealnya suporter bisa kembali duduk di tribun?
Jika inkubasi virus sekitar 2 minggu, maka perhatian statistik di angka 0 kasus harus dipastikan bertahan selama 1 bulan. Bahkan, harus berskala nasional. Artinya, angka 0 tidak berlaku hanya di daerah tertentu di negara itu tetapi semua daerah dengan tenggat waktu yang sama. Sekali lagi, biar adil.
Ini yang akan membuat angka 0 dalam skala nasional harus--mau tidak mau--dicapai lebih dari 1 bulan, dan itu seharusnya tidak masalah. Daripada "maju-mundur gak cantik", lebih baik sekalian mengambil keputusan yang bulat walau memang cukup merugikan.
Contohnya jika bersudut pandang tentang ekonomi. Penjualan tiket adalah faktor penting dalam roda ekonomi sepak bola dewasa ini. Itulah mengapa, sebenarnya kehadiran penonton sangat penting.
Tetapi, dengan apa yang terjadi seperti di Australia, kita harus mengambil pelajarannya. Jangan sampai ketika nanti kompetisi kembali hadir dan grafik kasus terlihat menurun drastis, kita langsung percaya diri untuk membuka pintu ke tribun.
Lebih baik kita mencoba membuat sistem yang berbeda terkait menonton dan mendukung sepak bola yang berupaya kembali hadir. Salah satu contohnya adalah dengan penerapan tiket menonton secara daring bagi pertandingan yang tidak disiarkan secara live di stasiun tv nasional.
Mengingat bahwa jumlah pertandingan dalam satu pekan atau hitungan per hari pasti lebih dari 1 laga. Maka, perlu ada kebijakan untuk suporter semua klub agar tetap dapat menonton pertandingan klub yang didukung.
Caranya adalah mengadaptasi sistem online ticket booking dan menonton secara live streaming seperti yang diterapkan bidang-bidang lain. Dua diantaranya adalah konser musik dan pementasan teater.
Buat yang ingin nonton teater daring RUMAH KENANGAN.
Dari semua petunjuk tata cara pembelian tiket, yang paling penting adalah point ke-8
HAHAHAHA pic.twitter.com/vL4YvmlR8z--- H. Agus Noor (@agus_noor) August 9, 2020
Tentu kita sudah mengetahui bahwa konser musik tidak semuanya dapat dinikmati di layar kaca, tetapi eksistensi para musisi terbukti tetap terjaga. Mengapa bisa demikian?
Karena, mereka tidak terikat oleh stasiun tv. Tetapi jika ini diberlakukan pada sepak bola, maka sebaiknya ini dilakukan tetap bersama stasiun tv. Hanya, mereka harus menyediakan armada penyiaran pertandingan yang lebih banyak dari biasanya, karena harus menyiarkan semua pertandingan sesuai jadwal.
Agar semua suporter sama rasa, maka semua jadwal pertandingan harus diratakan. Semua klub harus pernah ditayangan secara live di tv maupun dengan streaming. Begitu pun dengan akomodir pemesanan tiket, harus digerakkan pula oleh semua klub yang pasti memiliki fanbase.
Jika ada yang (maaf) miskin, maka mereka wajib diakomodir oleh ketua fanbase lingkup terkecil seperti Ketua RT/RW atau Kelurahan. Tentu, mereka juga harus menerapkan protokol kesehatan agar tetap mampu mencegah potensi penularan covid-19.
Begitu pun dengan stok komentator dan presenter, bagi yang sudah sering menonton siaran pertandingan sepak bola di layar kaca pasti sudah tahu, bahwa kita memiliki banyak figur di bidang tersebut. Atau, jika ingin lebih fokus ke visual lapangan dan pertandingan, maka cukup dengan menyajikan suara presenter dan komentatornya saja, tanpa harus seperti siaran di tv.
Satu hal yang menjadi dasar dari rangkaian konsep ini adalah kita harus mengakui bahwa sebagian dari kita memiliki kecenderungan untuk memaksakan kehendak dan cepat mengambil keputusan yang belum pasti.
Ibarat seperti penggeledahan markas mafia. Ketika sang perintis tidak menemukan tanda bahaya, langsung bilang, "all clear!". Padahal, sebenarnya di sudut tertentu sudah menunggu tim penyergap--dari mafia--yang sebelumnya membuat kesan seolah situasi lengang.
Inilah yang kemudian harus dihindari dalam melawan covid-19. Karena, lawan kita malah tak kasat mata. Kita nyaris tidak tahu siapa, kapan, dan di mana sudah ada kontaminasi dari virus tersebut. Itulah mengapa, sebisa mungkin kita tetap waspada dan meminimalisir risiko terjadi penularan yang semakin tak terkendali.
Melalui cara sedemikian rupa, harapannya penyelenggaraan sepak bola Indonesia tetap berjalan dengan kendali yang maksimal. Jangan sampai kita terlena seperti Australia ketika mereka sebenarnya masih belum sepenuhnya aman dari covid-19.
Jika tangan kita tak bisa bergandengan untuk melawan pandemi ini, maka pikiran kita yang seharusnya saling bertautan untuk mengusir covid-19 dari sekitar kita. Sambil menunggu vaksin covid-19 telah tervalidasi dan tersalurkan ke semua orang, semoga kita masih bisa menjaga diri dari covid-19. Semoga bisa!
Malang, 12 Agustus 2020
Deddy Husein S.
Berita terkait:
Goal.com, Kompas.com, Tempo.co.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H