Pelecehan seksual pada anak itu...
"Tidak pandang agama.
Tidak pandang cara berpakaian.
Tidak pandang fisik.
Hingga, tidak pandang jenis kelamin."
Sungguh mengerikan ketika membayangkan hal itu terjadi, dan menimpa orang terdekat, apalagi diri sendiri. Bahkan, perasaan ini juga muncul bagi orang yang terlahir sebagai laki-laki.
Saya merasa bersyukur ketika di masa anak-anak masih mampu menjaga diri dari jeratan semacam itu. Mengingat di masa kecil pergaulan saya lebih terbuka dibandingkan saat ini.
"Ah, karena saat itu belum ada aksi tak manusiawi itu, Ded!"
Siapa bilang? Sebenarnya ada kok. Hanya, hal itu belum begitu mudah untuk terkuak seperti saat ini.
Saat ini ketika teknologi semakin canggih, kita (sedikit) dimudahkan untuk dapat memantau aktivitas semua orang. Salah satunya dengan keberadaan CCTV di jalan atau toko besar. Termasuk di gedung-gedung yang memiliki beragam aktivitas.
Hanya, kita terkadang tidak mampu memanfaatkan itu dengan baik dalam upaya mencari tahu atau berinvestigasi. Atau, kita malah kalah cepat dengan pelaku-pelaku kejahatan tersebut untuk memanfaatkan keberadaan teknologi.
Pelecehan seksual juga merupakan tindakan kejahatan. Itulah yang kemudian membuat kita tidak bisa menganggap remeh keberadaan praktik pelecehan seksual.
Lalu, mengapa anak-anak dapat terjebak di kubangan kelam itu?
Sebenarnya, saya bukan ahlinya dalam bidang penganalisisan kasus kriminalitas semacam ini. Saya hanya masyarakat biasa, yang sebagian besar pemikiran saya berasal dari sumber lain dan interpretasi.
Saya pun tak mampu menjamin apa yang pernah saya pikirkan dan kemudian saya terapkan dapat menjadi solusi bagi anak-anak dan/atau adik-adik di seluruh pelosok negeri ini. Namun, berdasarkan apa yang saya ketahui, ada beberapa hal yang membuat anak-anak dapat menjadi korban pelecehan seksual.
Faktor pertama, anak-anak selalu memiliki kesenangan tertentu. Biasanya mereka juga cenderung adiktif ketika sudah menemukan apa yang disukai. Salah satunya adalah game.
Bermain game virtual di masa saya anak-anak saat itu sangat mengasyikkan. Bahkan, saya meyakini bahwa yang membuat generasi saya tidak begitu gagap teknologi adalah karena pernah bermain game.
Dan, ketika anak-anak sudah terhanyut dalam kenikmatan itu, mereka tidak menyadari bahwa ada bahaya yang mengintai. Contohnya, diajak bermain oleh orang dewasa tanpa batas waktu, alias sampai lelah.
Ketika hal itu terjadi, bisa saja anak itu akan disarankan untuk tidak pulang. "Besok saja pulangnya. Kan besok libur."
Saya tidak berani membayangkan apa yang akan terjadi ketika si anak mau bermalam di tempat itu. Sekali lagi, kita tak memandang jenis kelamin si anak.
Oh, nak! Di dunia ini tak ada yang benar-benar gratis!
Baca juga: Dugaan Penyebab Terjadinya Perkosaan Anak oleh Ayahnya (Nursini Rais)
Faktor kedua adalah anak-anak kurang kasih sayang. Bisa dari orang tua, saudara, maupun keluarga. Kasih sayang bukan berarti dimanja dan diprotektif.
Kasih sayang di sini cenderung mengarah ke pemahaman terkait apa yang diinginkan dan apa yang dikuasai oleh anak-anak. Tidak semua anak memiliki keinginan dan kemampuan yang sama, di situlah orang-orang di sekitarnya perlu memahami itu.
Mengapa hal ini menjadi salah satu perhatian?
Alasannya adalah ketika anak tidak mendapatkan ruang bereksplorasi yang sesuai dengan keinginannya, maka anak pasti akan ke luar. Di sanalah mereka akan mencoba menemukan apa yang diinginkan dan dikuasai.
Saya memahami bahwa setiap orang di sekeliling anak-anak wajib memberikan pengetahuan tentang larangan dan anjuran. Tetapi, jangan sampai larangan dan anjuran itu dipahami oleh anak-anak sebagai paksaan.
Mereka juga harus diberi pengertian dan alasan. Karena, pada dasarnya anak-anak memiliki tingkat keingintahuan yang sangat tinggi dibandingkan orang dewasa. Di situlah ada kewajiban bagi orang di sekelilingnya untuk merangkul mereka dengan kenyamanan dan pemahaman yang selaras dengan apa yang mereka butuhkan.
Faktor ketiga adalah anak-anak sebagian besar lebih terbuka terhadap jalinan pertemanan, dibandingkan usia yang lebih tua. Kalaupun ada tipe anak yang cenderung tertutup, dia akan tetap punya keinginan besar untuk memiliki teman dan bahkan juga berani ke luar.
Ketika hal ini terjadi, tak sedikit anak-anak dapat bertemu dengan orang dewasa yang diantaranya adalah pelaku kejahatan seksual. Mereka tentu belum mampu berpikir tentang adanya potensi bahaya ketika bertemu orang tersebut, ditambah jika si pelaku mampu memberikan iming-iming yang menggiurkan.
Jangankan anak-anak, orang dewasa saja terkadang masih bisa dirayu dengan sales bisnis bodong. Itulah yang membuat anak-anak rawan untuk terjebak di arena kelam tersebut.
Namun, bukan berarti kita sebagai orang di sekitarnya menjadi semakin protektif terhadap anak-anak. Justru kita perlu memberikan pemahaman, perjanjian, dan kepercayaan.
Baca juga: Berikan Kepercayaan kepada Anak (Hennie Triana)
Pemahaman bisa dilakukan dengan cara berdialog ketika selesai makan, saat menemani si kecil mandi, bahkan ketika mereka hendak terbenam dalam samudera mimpi. Di momen seperti itu, apa yang dikatakan orang tuanya sebagian besar masih bisa diingat bahkan sampai mereka dewasa.
Di sinilah, anak-anak kemudian mulai diberikan kepercayaan. Khususnya, ketika mereka sudah mengerti bagaimana kerja dari perjanjian itu. Jika sudah demikian, saya pikir mereka akan selalu ingat dengan perkataan dari orang tuanya meski sedang asyik push rank.
Dari rangkaian tiga faktor yang dapat menjembatani pertemuan antara anak-anak dengan pelaku kejahatan seksual, maka tiga cara tersebut saya pikir cukup ampuh untuk menjadi pencegah.
Memang, tindakan ini berkaitan dengan seksualitas. Namun, saya juga berpikir bahwa pemicunya bukan hanya soal (maaf) birahi, tetapi juga karena ada yang salah dengan mentalnya.
Jika merujuk pada takaran seksualitas, maka saya pikir semua manusia pasti memiliki gairah yang besar terkait itu. Namun, terbukti tidak semua orang (misalnya) di satu area pemukiman harus melakukan pelecehan seksual kepada anak-anak--demi memuaskan gairah seksualnya.
Baca juga: Mengenal Viralnya Kasus "Kain Jarik" (dr. Ayu Deni Pramita)
Itulah yang membuat saya terfokus pada pengaruh mentalitas para pelaku kejahatan tersebut. Bahkan, saya pikir adanya pelaku kejahatan seksual di beberapa tempat yang seharusnya aman, dikarenakan lolosnya mereka dari tes kejiwaan.
Fakta ini pula yang kemudian membuat saya berpikir bahwa yang dibutuhkan dewasa ini bukan hanya tentang kemahiran seseorang, tetapi kesehatan mentalnya. Jika mentalnya sehat, maka tindakannya akan lebih terkontrol.
Tetapi, apakah kita yang telah hidup di era yang serba menuntut keidealan ini sudah dapat menggaransi kesehatan mental masing-masing?
Semoga saja bisa.
Mari, jaga anak-anak dengan kesehatan jiwa kita dan kepedulian terhadap mereka!
Malang, 29-31 Juli 2020
Deddy Husein S.
Terkait:
Tirto, Liputan6, BBC, Kompas 1, Kompas 2, Kompas 3, Republika, Youtube.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H