Selain itu, nilai lebih dari adanya sistem ini adalah memunculkan data yang dapat diperiksa oleh pihak pengelola tempat ibadah dan tim kesehatan. Hal ini akan memberikan kemudahan bagi mereka untuk menjalankan protokol kesehatan.
Jika sudah demikian, maka pihak pemerintah setempat juga akan menaruh kepercayaan kepada pengelola tempat ibadah. Dan, mereka juga pasti akan berupaya memantau pelaksanaan ibadah tersebut agar tidak terjadi klaster baru.
Walau demikian, saya juga menemukan adanya anggapan bahwa sistem pendaftaran ini seperti pembatasan dalam hak beribadah. Seolah, ini adalah sistem pendaftaran di bidang pendidikan, alias perlu ada seleksi.
Anggapan ini sebenarnya tidak salah, tetapi jika merujuk pada jumlah pendaftar pada jamaah salat Idul Adha di Masjid Al-Akbar, maka kita bisa melihat bahwa antusiasme tetap ada.
Jamaah tetap mampu menjangkaunya, walau harus memenuhi persyaratan yang ada. Jumlahnya pun tak sedikit.
Memang, jika dibandingkan dengan kapasitas aslinya tak sampai 15%-nya. Tetapi dengan jumlah mencapai maksimal 5.000 jamaah, itu sudah bagus.
Artinya, baik dari pihak pengelola masjid dan masyarakat sudah menemukan adanya adaptasi. Khususnya dalam memanfaatkan teknologi digital. Toh, mendaftar sekolah saja sudah online, kenapa tidak untuk beribadah?
Jika untuk menuntut ilmu saja, kita memiliki semangat untuk menyesuaikan diri, maka untuk beribadah pun seharusnya memiliki semangat itu.
Jangan sampai kita terlalu cepat untuk berceletuk, "mau shalat aja kok harus daftar online?".
Komentar semacam ini memang pasti terjadi, tetapi jangan sampai lupa, bahwa era kehidupan kita akan terus bergerak. Kita sudah sulit untuk menggunakan cara-cara lama dalam berkehidupan, apalagi jika tidak melakukan apa-apa.
Itulah mengapa, saya secara pribadi, angkat topi kepada pihak Masjid Al-Akbar yang sanggup membuat keputusan yang sesuai dengan situasi saat ini. Karena, mereka telah bertindak, dan berupaya mencari jalan tengah.