Akhir pekan kemarin (12/7), kita sudah menyaksikan laga sengit antara Juventus vs Atalanta di Allianz Stadium, Turin. Terjadi pertemuan antara dua tim yang sedang memiliki misi yang sama, ingin saling mengalahkan.
Si tuan rumah berharap dapat menjadi pemutus rentetan kemenangan panjang Atalanta. Sedangkan klub asal Bergamo berharap dapat menjadi penakluk sang calon juara guna mengikuti jejak AC Milan sebelumnya.
Jika Juve menjadi pemenang, maka jarak antara mereka dengan lawan-lawannya akan semakin jauh. Ditambah, Lazio yang sementara waktu menghuni posisi kedua justru kalah lagi--dari Sassuolo. Ini yang membuat jarak antara puncak klasemen dengan peringkat di bawahnya masih cukup longgar, 8 poin.
Situasi yang positif juga akan terjadi kepada Atalanta jika mereka menang. Mereka akan mampu menggusur Lazio, karena hanya berjarak 2 poin. Namun, sayangnya target mereka gagal terealisasi.
Bukan karena mereka tak mampu mengalahkan Juventus, tetapi seperti yang disebut oleh Gian Piero Gasperini, jika mereka dikalahkan oleh nasib. Pernyataan ini bisa diakui jika kita dapat mencermati apa yang terjadi di laga itu.
Dua gol dari Juventus diperoleh dari eksekusi dua penalti untuk menggagalkan keunggulan La Dea. Terasa kurang normal ketika dua penalti itu juga bukan karena kecerobohan pemain Atalanta dalam menjaga pergerakan pemain Juve.
Ini seperti yang pernah terjadi di laga Piala Dunia 2018 yang dimainkan timnas Argentina*. Saat itu ada perdebatan tentang bola yang mengenai tangan Marcos Rojo. Apakah itu handball?
Pada akhirnya kita tahu bahwa itu bukan handball. Memang, bola secara jelas mengenai tangan, tapi itu bukan karena disengaja. Ditambah dengan pergerakan bola yang sedikit menyentuh kepala terlebih dahulu dibandingkan langsung mengenai tangan.
Secara khusus, terlepas dari peraturan FIFA, kejadian itu juga dinilai wajar terjadi karena situasinya adalah Rojo sedang melompat dan hendak menyundul bola.Â
Ketika dipraktikkan, maka cukup sulit bagi para pemain untuk melompat dan membuat gerakan menyundul bola tanpa diiringi dengan pergerakan tangan yang seolah menciptakan keseimbangan di udara.
Ulasan ini ada di blog pribadi penulis tentang Piala Dunia 2018. Di situ dipraktikkan pula bagaimana gerakan natural tangan ketika melompat dan melakukan gerakan sekaligus saat di udara.
Lalu, bagaimana dengan kasus handball di laga Juventus vs Atalanta?Â
Pada kasus itu, sebenarnya patut diperdebatkan. Namun, jika mengacu pada aturan tangan aktif dan tidak aktif, maka, hukuman penalti hanya cukup valid pada kasus Muriel alias penalti kedua Juve.
Hanya, yang disayangkan adalah pengakuan si pemain yang justru menunjuk tangan yang telat merapat ke tubuh, meski dalihnya adalah siku.
Padahal, jika dia sangat yakin dengan keputusannya, maka dia akan tetap menatap lurus ke depan yang mana biasanya harus meladeni protes dari pemain tim yang dihukum.
Meski demikian, pujian tetap patut diberikan kepada kedua tim meski sebagian besar akan menganggap Atalanta yang seharusnya menang. Lalu, mengapa Juventus juga pantas diberikan sanjungan?
Pertama, tidak semua hadiah penalti dapat berbuah gol. Terbukti, Inter Milan yang juga sempat memperoleh hadiah penalti di laga lainnya tetap saja gagal merengkuh keuntungan dari peluang emas tersebut.
Ini yang tidak dilakukan oleh Inter Milan ketika mereka memiliki cukup banyak pemain yang lebih berpengalaman dalam mengeksekusi penalti dibandingkan Lautaro Martinez. Antonio Conte masih memiliki Alexis Sanchez, Christian Eriksen, dan tentunya Romelu Lukaku. Artinya, mengeksekusi penalti juga bukan pekerjaan mudah.
Ketiga, terlepas dari kontroversi atau tidak, penalti juga seperti tendangan bebas. Bahkan, klub seperti Barcelona akan lebih memilih memperoleh tendangan bebas dibandingkan penalti. Karena, mereka memiliki eksekutor setpiece handal pada diri Lionel Messi.
Dari tiga hal tersebut, sebenarnya sudah cukup untuk membuat keberadaan penalti masih bisa diterima dan bahkan melahirkan pujian kepada tim yang berhasil mengkonversikannya sebagai gol dan poin.Â
Hanya, kita juga tak bisa menampik adanya cibiran ketika sebuah klub cukup dan/atau sangat identik dengan hadiah penalti.
Tidak hanya Juventus yang sangat sering memperoleh penalti di sebuah kompetisi, di liga lain pun ada beberapa klub yang nyaris selalu diuntungkan dengan hadiah penalti. Seperti Real Madrid (La Liga), Manchester United (Premier League), Bayern Munchen (Bundesliga), dan Paris Saint-Germain (Ligue 1).
Bahkan, jika dilihat secara statistik** yang tanpa melihat tingkat keberhasilannya, justru klub seperti Lazio dan Villareal juga terhitung sebagai klub yang memperoleh banyak hadiah penalti dalam semusim ini. Namun, mereka nyatanya tak begitu baik dalam memanfaatkan kesempatan itu.
Berbeda dengan klub seperti Juventus, Real Madrid, juga Bayern Munchen yang bisa memanfaatkan hadiah penalti dengan efisien. Artinya, cibiran terkait adanya klub yang sering mendapatkan penalti bisa saja hanya karena terpatok pada hasil dari eksekusi tersebut.
Padahal seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa dalam memperoleh penalti sebenarnya juga sama seperti ketika seorang pemain berada satu lawan satu dengan kiper lawan, yang artinya tinggal menceploskan bola ke gawang. Jika tenang dan tendangannya akurat, pasti gol.
Begitu pun dengan adanya penalti. Sekalipun sudah head to head dengan kiper namun tidak tenang dan mengukur akurasi tendangan dengan tepat, maka hadiah penalti yang sudah diberikan juga akan seperti cairan parfum yang dibiarkan di udara terbuka.
Jadi, jika melihat sebuah klub sering mendapatkan penalti dan memperoleh hasil pertandingannya dengan penalti tersebut, apakah kalian memujinya atau mencibirnya?
Highlight Juventus vs Atalanta (12/7):
Malang, 12 Juli 2020
Deddy Husein S.
Terkait:
*) Panditfootball, **) Bolaskor, Kompas, Goal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H