Beberapa hari terakhir saya diajak teman untuk berdiskusi tentang edgy. Awalnya saya mempertanyakan ulang apa itu edgy.
Maklum, saya lebih familiar dengan istilah edge daripada edgy. Meskipun pernah dengar, rasanya sulit untuk mengingat apa itu edgy dibandingkan edge.
Akhirnya si teman berupaya memberikan penjelasan terkait edgy, khususnya jika hal itu ada di dunia permusikan dan dengan sudut pandang penggemar. Si teman juga lebih sreg menunjukkan contohnya dibandingkan definisi. Tujuannya jelas, agar saya lekas paham arah pembicaraan yang diinginkannya.
Saya pun mencoba memberikan tanggapan sesuai dengan apa yang saya pahami saat itu juga. Meski secara sekilas, menurut saya inti dari perbincangan tentang edgy seperti cenderung mengarah ke fanatisme dibandingkan upaya eksis dengan ke-edgy-an.
Usut-terusut, akhirnya saya menemukan makna tentang edgy. Menariknya, edgy juga berawal dari istilah edge. Walaupun secara humor, saya berpikir tentang sinyal internet yang dulu sangat familiar di ponsel pintar.
Edgy sangat lekat dengan pola pikir dan gaya hidup. Artinya edgy juga bisa disebut sebagai bagian dari perwujudan tentang adanya ragam pilihan.
Saya boleh menyukai ini karena alasannya begini. Teman saya boleh menyukai itu karena alasannya begitu. Semakin berbeda, ada kecenderungan untuk mengarah ke bentuk edgy. Ditambah dengan pemikiran bahwa menyukai sesuatu yang berbeda dari orang lain adalah suatu hal yang lebih keren.
Kurang lebih, begitulah edgy jika dipaparkan dengan pemahaman saya. Sampai kemudian saya berpikir bahwa tidak hanya tentang musik dan fashion saja yang ada kecenderungan untuk edgy. Sepak bola juga berpeluang untuk terdapat orang-orang atau penggemarnya yang edgy.
Bahkan, menurut saya menyukai sepak bola khususnya dengan memiliki klub yang diidolai juga bisa mengilustrasikan karakter seseorang. Hal ini juga sebenarnya berlaku pada penggemar musik.
Di sepak bola semakin bertumbuhnya usia penggemar akan ada dua hal yang terjadi. Pertama, akan semakin fanatis dalam mengidolai klubnya. Kedua, akan semakin bijak dalam melihat kehadiran sepak bola dalam kehidupannya.
Bagaimana dengan saya?
Ini membuat saya seiring berjalannya waktu justru merasa perlu untuk memiliki klub yang dapat menjadi parameter ideal dalam sebuah kompetisi. Atau, secara idealis yang tak kasat mata, saya perlu menemukan klub yang dapat merepresentasikan sekian persen dari karakter saya.
Namun di sisi lain, dengan kebiasaan menonton dan melihat berita tentang banyak klub, membuat saya semakin terbiasa untuk melihat dan memikirkan tentang bagus-tidaknya klub tersebut. Walaupun saya tahu bahwa harus juga mengkritisi klub yang disukai.
Penggambaran ini tak jauh beda ketika saya menjawab pertanyaan teman saya tentang perilaku edgy dalam bidang permusikan (sebagai penggemar). Inilah yang membuat saya dapat merubah objek bidangnya, karena yang saya alami ketika (proses) menyukai musik dengan menyukai sepak bola dan klub bolanya tak jauh berbeda.
Di sepak bola juga tak menutup kemungkinan ada penggemar sepak bola yang menyukai sebuah kompetisi atau klub sepak bola yang anti-maintream. Misalnya, ketika di Indonesia sebagian besar masyarakat bolanya menggandrungi dan lebih mengenal Premier League, ternyata ada seseorang atau sebuah keluarga yang menyukai Eredivise.
Sebenarnya hal ini juga terlihat seperti ada pada coach Justinus Lhaksana. Memang faktor pengalaman hidup dan belajar sepak bola di Belanda membuat dirinya lebih mengenal Belanda dibandingkan sepak bola Indonesia.
https://t.co/jxa8NjGa5b pic.twitter.com/e5GGEm3NvT--- Justinus Lhaksana (@CoachJustinL) March 3, 2020
Itulah mengapa tak mengherankan jika dirinya juga tetap pede memperkenalkan eksistensi Ajax Amsterdam, meski kita tahu bahwa klub ini di kancah Eropa--khususnya Liga Champions--sekarang masih belum tergolong tim kuat. Namun, sebagai orang yang menemukan adanya keistimewaan yang orang lain tidak tahu bisa jadi merupakan nilai tersendiri yang patut dipertahankan.
Selain dua figur tersebut, saya juga pernah mengingat adanya selentingan berita (di koran) tentang Presiden RI ke-4, alm. Gus Dur yang dikabarkan menyukai sepak bola Amerika Latin. Jika merujuk pada tenarnya nama Pele, Mario Kempes, Maradona, hingga generasi saat ini mengenal Luis Suarez, Sergio Aguero, Neymar, Lionel Messi, Paulo Dybala, dan lainnya, maka tak mengherankan jika ada orang Indonesia menyukai sepak bola Amerika Latin.
Di dalam lingkup keluarga pun bisa ditemukan adanya edgy dalam menentukan sepak bola atau klub yang disukai. Seperti ibu saya yang menyukai sang Pangeran Roma, Francesco Totti. Namun, saya justru tidak mengidolai AS Roma.
Begitu pun ketika semua orang di sekitar saya mengagumi Manchester United, maka saya mencoba mencari klub lain yang bisa menjadi antitesis Man. United di Premier League. Mungkin bagi orang lain saya bisa menjadi pembenci Man. United, namun justru kenyataannya saya pernah membeli sebuah buku tulis yang beredisi Ruud van Nistelrooij ketika SMP.
Usaha untuk berbeda dari orang lain dan kemudian menganggap apa yang disukai lebih baik itu juga pernah saya rasakan sebagai penggemar bola. Bahkan, mungkin sampai saat ini meski saya tidak bisa mengkroscek sepenuhnya tentang apa yang saya lakukan.
Intinya, saya juga bisa menemukan adanya edgy di kalangan penikmat sepak bola, meski lingkupnya masih belum segeneral musik. Kehebohan edgy di kalangan penggemar musik, karena musik menjangkau masyarakat sampai ke dasar dan tanpa pandang gender.
Berbeda dengan sepak bola yang walau sudah jamak ditemukan suporter perempuan, tetap saja sepak bola secara umumnya lebih mendarah daging bagi laki-laki dibandingkan perempuan. Inilah yang membuat istilah edgy di sepak bola belum se-hype di musik.
Baca juga: Fashion ala Penyuka Sepak Bola
Justru yang seringkali terdengar di sepak bola adalah fanatisme. Menurut sepemahaman saya, fanatisme bisa dihubungkan dengan edgy juga hipster. Kecenderungan ingin berbeda dan terlihat lebih keren bisa juga mengarah pada fanatisme.
Hanya, yang mungkin menjadi pembeda adalah si edgy mania kemungkinan akan terlihat tak sefrontal para penganut fanatisme. Karena, mereka bisa saja hanya sendirian dan tak ingin mencari naungan homogenitas.
Hal ini juga nyaris berlaku pada hipster mania, meski di sisi lain saya berpikir bahwa manusia selalu berupaya untuk hidup berkelompok. Sehingga, ketika muncul edgy dan hipster lalu mereka hidup di komunitas yang sama, apa bedanya dengan penyuka hal-hal mainstream?
Bukankah mereka pada akhirnya menciptakan ke-mainstream-an bagi generasi selanjutnya?
Malang, 4 Juli 2020
Deddy Husein S.
Terkait:
Id.quora, Liputan6, Fimela, Panditfootball.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H