Beberapa hari kemarin, banyak orang mempolulerkan tentang hobi-hobi baru ketika di rumah saja akibat adanya pandemi covid-19. Namun, saya kebingungan untuk turut andil pamer hobi baru saya, karena nyaris semua hobi baru bagi mereka rata-rata sudah saya alami.
Seperti hobi baca komik, saya pernah sangat antusias dalam membaca komik, khususnya komik digital. Bahkan, sebenarnya saya masih membaca komik saat bulan puasa kemarin untuk menemani masa ngabuburit.
Begitu juga soal kebiasaan memangkas rambut sendiri. Sejak SMA, saya sudah berani memangkas rambut sendiri, karena biasanya yang memotong rambut saya adalah sang ibu tersayang.
Namun, karena ibu saya mulai merantau kembali, maka saya harus mulai mandiri dalam hal menata rambut. Mengapa tidak pangkas di salon? Anggap saja karena saya kurang betah dicukur dalam waktu yang lama, khususnya ketika kepala saya harus diam di satu posisi dalam waktu yang tak sebentar.
Bagi saya itu sangat menjengkelkan. Bahkan, sebenarnya ibu saya juga kadang menolak memotong rambut saya karena kepala saya tidak bisa diam atau patuh dengan arahan.
Sebenarnya saya bisa saja memangkas rambut saat pandemi. Namun karena sedang musim orang berpuasa, dan saya melihat bahwa orang lain sedang bergondrong-ria, maka saya ingin merasakannya juga.
Tentu saya ingin kembali merasakan sensasi memiliki rambut lebat seperti 2016 lalu. Hal ini yang meluntur seiring berjalannya waktu, karena merasa lebih suka berambut tipis agar lebih mudah menatanya, karena bisa tiga bulan sekali ke salon, dan tentunya hemat sampo.
Lalu, apa hobi baru saya?
Setelah tiga purnama lebih berlalu, akhirnya saya menyadari bahwa ada kebiasaan baru yang terjadi saat di "rumah" saja, yaitu menonton beberapa kajian yang cukup dan sangat kompleks melalui media online, Youtube.
Kebiasaan ini sebenarnya diawali dari cukup seringnya saya menonton siaran langsung diskusi panjang--sebelum pandemi--di channel Dewan Pundit Indonesia (DPI). Channel yang identik dengan pembahasan sepak bola itu ternyata sangat mengasyikkan untuk diikuti, meski durasinya sekitar 1 jam.
Hal ini juga seirama dengan kebiasaan saya menonton ulasan-ulasan sepak bola yang diberikan oleh salah seorang pundit bola senior Indonesia, Justinus Lhaksana. Di situ saya membiasakan diri menyimak ulasan-ulasan yang sangat menarik, namun dikemas dengan cara cukup serius oleh Coach Justin.
Sebenarnya ada beberapa channel yang menyerupai konten-konten tersebut, namun dua channel itu terasa sangat berpengaruh dalam adaptasi saya untuk mengikuti diskusi-diskusi melalui daring.
Hingga kemudian, ada kesempatan untuk mengikuti topik pembahasan yang lebih serius dan cukup interaktif, yaitu ketika Kompasiana mengadakan live streaming dengan membahas tentang Optimasi Konten. Saat itu tidak hanya saya senang atau tertarik untuk menontonnya, namun juga dikarenakan saya membutuhkan isi dari materi tersebut.
Akhirnya dari situ saya mulai cukup semangat untuk mengikuti beberapa konten serupa, termasuk ketika saya menemukan sebuah hobi singkat saya, yaitu menonton live streaming dari channel Vincent & Desta Show. Bukan soal kontennya yang saya utamakan kali ini, melainkan adanya pembiasaan baru akibat munculnya channel tersebut.
Sampai akhirnya yang terbaru, selain saya menonton perayaan Wisuda LDR angkatan 2020 yang disiarkan Narasi TV (14/6), saya juga sempat menyimak sebuah webinar yang dilakukan oleh sebuah fakultas di salah satu kampus di Malang, Universitas Brawijaya.
Baca Juga: Menjadi Pembicara Webinar, Cara Produktif dan Kreatif di Tengah Pandemi Covid-19
Tujuan saya hanya ingin tahu apa yang akan dibahas di webinar tersebut, ditambah dengan korelasinya terhadap situasi aktual. Siapa tahu ada pesan-pesan yang menarik, sekaligus mencaritahu pembuktian dari praktisi dari prodi tersebut, atau dari fakultas tersebut.
Beruntung, keinginan itu terwujud. Meski sedikit terlambat beberapa menit saja, namun saya cukup berhasil mengikuti jalannya webinar sampai berakhir. Ada beberapa hal yang menarik dari webinar tersebut, yang diantaranya akan saya ungkap sebagai 7 catatan penting berdasarkan jumlah pembicaranya.
Pertama, adanya harapan bahwa praktisi yang berkaitan dengan komunikasi publik, atau yang biasanya disebut Public Relations (PR), seyogyanya diemban oleh alumni Ilmu Komunikasi. Tentu ini tak lepas dari faktor rekam jejak pendidikan yang harus linear bagi praktisi, dan saya cukup menyetujui hal itu.
Kedua, praktisi yang paham dengan media komunikasi dan informasi harus bekerja sama  dengan pemerintah daerah untuk pengawasan dan pengendalian terkait informasi yang ada di media sosial--termasuk media (massa) online. Hal ini bertujuan sebagai penyaringan dan penangkalan adanya informasi bohong (hoax).
Ketiga, meski kita sulit berinteraksi langsung (offline), kita harus tetap berkarya. Hal ini sangat penting untuk dilakukan, khususnya oleh para putra daerah. Karena, merekalah nanti yang akan menjadi penyambung lidah yang tepat antara pemerintah dengan masyarakat sampai yang terbawah.
Keempat, perlu adanya kolaborasi yang padu antara atasan dengan seluruh kepanjangan tangannya. Ini nantinya akan memberikan dampak bagus terkait penerapan kebijakan ketika muncul sesuatu yang berbahaya seperti pandemi covid-19.
Kelima, perlu akurasi terkait informasi yang beredar, khususnya berita. Tujuannya adalah menghindarkan masyarakat dari kesimpangsiuran informasi dan mencegah masyarakat untuk menerima informasi yang tidak benar.
Keenam, dalam hal penyebaran informasi dan pembangunan serta pengembangan jaringan komunikasi dan informasi, harus ada apresiasi yang dilakukan oleh pihak tertinggi (pemerintah) dan terendah (masyarakat luas). Ini biasanya berkaitan antara Kominfo dengan media penyiaran--khususnya televisi dan radio--beserta masyarakat yang selalu membutuhkan informasi yang terjamin validitasnya.
Catatan ketujuh alias yang terakhir adalah menggunakan praktik komunikasi yang tepat, sinergi, dan tunggal. Artinya, pemerintah pusat harus tegas dalam membuat kebijakan (tunggal). Lalu, kebijakan itu harus dapat dikomunikasikan secara menyeluruh ke semua daerah dengan ketepatan dalam menanggapi apa yang terjadi (good response).
Ketika terjadi situasi seperti sekarang, masyarakat memerlukan informasi yang tepat serta adanya perwujudan karya yang positif dan dapat menguatkan masyarakat. Karya tidak hanya tentang seni, namun dalam hal informasi yang akurat juga merupakan karya yang menurut saya tak ternilai harganya.
Jika boleh untuk mengenalkan pula apa yang sudah dilakukan oleh Kompasiana dan kompasianers, saya juga telah menemukan banyak tulisan dari putra daerah terkait informasi dan himbauan kepada masyarakat untuk berperilaku tepat dalam menghadapi pandemi covid-19.
Artinya, dari webinar ini saya menemukan adanya keharusan bahwa yang bergerak dalam menghadapi covid-19 adalah kita semua. Kita juga bertanggungjawab untuk menyelamatkan diri maupun masyarakat dari efek covid-19 dari cara yang kita mampu.
Kita (seharusnya) tidak hanya bergantung pada tenaga medis dan pemerintah yang menjadi garda terdepan, namun juga dengan kreativitas dan inovasi yang dimiliki oleh kita yang notabene ternyata juga dapat disebut sebagai putra daerah.
Oiya, terkait hobi nangkring di live streaming atau webinar, saya baru saja menyimak webinar yang diadakan Kompasiana terkait makroprudensial bersama Bank Indonesia di Youtube (15/6). Semoga nanti saya dapat membagikan pesan-pesan yang saya peroleh dari hasil saya ikut menyimak webinar tersebut. See you on next article!
Malang, 15 Juni 2020
Deddy Husein S.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H