Sebenarnya ini kisah unik, karena sulit saya nalar. Namun kenyataannya memang terjadi.
Kisah ini dikabarkan oleh ibu saya yang mengaku masih ada kegiatan ke luar rumah saat Lebaran. Seperti berkunjung ke rumah kerabat ayah dan tentunya berbelanja (tengkulak) untuk memenuhi persediaan di warungnya.
Saat di pasar, ibu juga mengabarkan jika ada pengecekan suhu. Ibu saya turut melakukan cek suhu, dan syukurlah catatan suhunya masih cukup normal yaitu 35,2 derajat Celsius.
Kabar baik tentunya, mengingat beliau adalah salah seorang di antara banyak profesi yang masih harus bertemu dengan orang lain. Sebagai pemilik warung, jelas tidak bisa menghindari interaksi dengan pembeli meski tidak seramai sebelum pandemi.
Ketika ke luar pun ibu dan ayah menggunakan masker agar tetap aman. Sebagai orang yang sedang sangat jauh dari orang tua, tentu saya bersyukur melihat betapa patuhnya orang tua terhadap protokol kesehatan.
Namun, suatu kabar lain mendadak membuat saya tercengang, karena ibu menunjukkan foto yang jelas di luar perkiraan saya. Tidak hanya satu, melainkan dua foto yang memastikan bahwa situasinya memang demikian.
Setelah terusut, ternyata apa yang dilakukan ibu saya sudah dilakukan sejak beberapa waktu sebelumnya. Saya tentu tidak memastikan apakah benar tak ada yang mengambil atau memang ada yang berani mampir lalu mencicipi jajanan tersebut.
Jika melihat penampakannya, jelas jajanan yang disediakan sangat icipable, namun saya jika dihadapkan pada situasi demikian juga segan meski saya tahu bahwa orangnya pasti ikhlas. Di sisi lain, saya juga memikirkan tentang higienisitas.
Memang, saya paham, ini adalah tindakan dari orang tua saya. Tujuannya pun baik. Semata-mata untuk berbagi. Sebagai orang baru di pulau seberang, tentu jumlah tamunya tak akan sebanyak di Jawa.
Namun, saya juga berpikir bahwa ketika berlebaran di sana dan tanpa ada anak, lalu situasi sedemikian rupa, apakah jajanan itu akan cepat habis? Bagaimana jika tak habis?