Itulah yang dikatakan oleh ibu saya sejak situasi Indonesia belum seperti sekarang. Bahkan, ibu saya yang menggerakkan saya untuk kepo dengan situasi di kampung halaman.
Memang, kampung halaman saya dekat. Hanya berjarak 3 jam perjalanan dengan transportasi umum. Jika menggunakan sepeda motor bisa lebih cepat, meski tergantung pada cuaca.
Sebenarnya saya memang sudah berniat tidak pulang ketika Indonesia dinyatakan positif corona. Namun, sebelum itu saya tentu butuh mengetahui bagaimana pendapat orang tua.
Nyatanya ibu saya sudah merestui atau malah menyarankan untuk tidak mudik. Faktor situasi yang tidak aman menjadi pertimbangan.
Baca juga: Ibu Restui Anaknya Tak Mudik
Sedangkan di pikiran saya ada dua. Ketika saya mudik, belum tentu kebutuhan saya terjamin di sana. Meski saya berdiam di rumah, saya pasti tetap butuh logistik.
Di kampung halaman, saya tidak tahu apakah situasinya masih cukup terkendali. Khususnya eksistensi toko kelontong yang selalu saya butuhkan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Berbeda dengan situasi di tempat rantau yang masih cukup terkendali, dan saya sudah hapal jam-jamnya. Begitu pula jika akhirnya harus mencari kebutuhan di minimarket atau lainnya. Saya masih bisa menggunakan aplikasi pesan-antar.
Di kampung halaman, aplikasi itu setahu saya tidak berfungsi. Terakhir saya sempat ke Blitar dan saya melihat aplikasi tersebut juga tidak terdukung.
Jadi, ibaratnya mau menyelamatkan diri seperti mindset masyarakat umum, malah bagi saya itu menjadi blunder--bagi saya. Meski memang di kampung halaman bakalan ada interaksi dan kepedulian dari orang sekitar, itu malah perlu saya waspadai, karena orang-orangnya lebih acak.
Pertimbangan semacam itu, membuat saya sudah sepakat untuk tidak mudik. Lagi pula menurut saya, mudik itu tidak hanya karena dorongan sosial, alias ikut-ikut, tetapi juga karena dorongan individu, alias kebutuhan.
Saya memang tidak menyarankan orang lain meniru apa yang saya lakukan. Karena saya juga jarang mengikuti apa yang dilakukan orang lain. Namun, untuk urusan tidak mudik kala situasi segenting ini, saya pikir seharusnya kita bisa berpikir jernih dan memilih keputusan yang paling rasional.
Jika tidak percaya dengan dampak mobilitas masyarakat terkait kenaikan kurva kasus covid-19, maka bisa menonton video yang diunggah oleh channel Mata Najwa berikut ini. Di situ kita bisa tahu alasan mengapa mudik sangat harus dihindari.
Khusus tahun ini saja, kita tidak mudik. Toh, jika surga ada di telapak kaki ibu, dan jika ibu sudah merestui keputusan untuk tidak mudik, maka Tuhan pasti juga merestui keputusan anak-anak manusia ini untuk tak sungkem secara langsung.
Memang nilai sungkem secara langsung sulit digantikan dengan video call. Namun, jika itu yang tinggal bisa dilakukan, mengapa tidak? Toh, sang ibu sudah merestui bukan?
Memang secara pribadi, saya tidak tahu bagaimana situasi orang lain. Namun, saya masih yakin bahwa setiap orang yang ada di sekitar kita akan selalu berupaya peduli dengan kita.
Saya bisa menyampaikan pesan ini juga karena saya mengalaminya sendiri. Ketika bertahan di kost dan tetap menjalin hubungan baik dengan orang kost, maka mereka juga akan membantu saya. Begitu pula sebaliknya.
Inilah yang menurut saya perlu dilakukan pula oleh kalian. Jika orang penyendiri seperti saya masih bisa berinteraksi dengan orang lain dan saling membantu, pasti kalian--yang biasanya lebih terbuka terhadap interaksi sosial--akan bisa melakukannya pula.
Jadi, jangan mudik dulu, ya! Bertahanlah di tempat masing-masing. Jika memang sangat butuh bantuan, hubungi orang-orang terdekat. Mereka pasti akan berupaya untuk saling membantu.
Malang, 21 Mei 2020
Deddy Husein S.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H