Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Penulis Juga Ada "Up and Down" dan Terserah

21 Mei 2020   21:09 Diperbarui: 23 Mei 2020   07:31 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menjadi penulis pasti pernah seperti sedang Honeymoon. Gambar: Travelji.com via Tribunnews

Sebenarnya pembahasan pada tulisan ini bisa berlaku di media tulis secara general, seperti di novel, kumpulan cerpen, puisi, hingga esai baik cetak dan digital. Namun untuk memudahkan pembaca agar dapat melihat langsung bagaimana implementasi dari pembahasan ini, maka kita sepakat, bahwa media yang digunakan hanya Kompasiana.

Contoh tulisannya juga hanya menggunakan milik penulis, agar tak terjadi multitafsir yang berlebihan hingga muncul pula kecemburuan sosial. Mungkin.

Seperti yang kita ketahui bahwa menulis di Kompasiana itu bisa dikatakan suka-suka. Kompasiana nyaris tak pernah menyebut tulisan yang dihasilkan para pemilik akun tervalidasi ataupun belum--nanti disebut Kners--adalah tulisan jelek.

Ini seperti yang pernah diungkap oleh seorang Kner yang sayangnya sesuai perjanjian di atas tidak dilampirkan artikelnya di sini.

Begitu pula dalam hal rutinitas, Kompasiana tidak memberikan target secara top down kepada Kners. Mau nulis setiap hari, mau unggah setiap hari, terserah.

Itulah yang membuat ada yang berhasil mencapai 4000 judul. Padahal di sisi lain ada yang lebih lama atau dengan waktu gabungnya sama, namun belum mencapai jumlah demikian. Ya, terserah!

Namun, secara tersirat Kompasiana memberikan dua hal kepada Kners.

Pertama, rule tersembunyi namun absolut. Kedua, apresiasi nyata namun fleksibel.

Untuk perihal pertama, ini berupa pembelajaran hak cipta atau yang populer dengan istilah copyright.

Memang, selama penulis bergabung, tata aturan menulis yang ada di Kompasiana diterapkan sambil jalan. Di proses tersebut, penulis belajar bagaimana menyantumkan gambar yang benar dan baik.

Awalnya hanya benar saja, namun nyatanya belum baik. Cara paling beruntung adalah melihat tulisan sendiri yang telah dimodifikasi sedemikian rupa oleh admin Kompasiana.

Menjadi penulis harus menghargai hak cipta. Gambar: Shutterstock via Kompas.com
Menjadi penulis harus menghargai hak cipta. Gambar: Shutterstock via Kompas.com
Dari situlah penulis belajar bagaimana melampirkan gambar yang menghargai hak cipta. Pada akhirnya, bukankah menjadi Kners juga akan menghasilkan gambar-gambar berhak cipta pribadi selain tulisan?

Contoh tulisan yang saya pelajari terkait hak cipta terkait gambar ada di tiga artikel ini.

Lalu, bagaimana dengan hak cipta tulisan?

Sedangkan ini dapat dipelajari saat membaca tulisan sesama Kner. Ada yang nyaris seperti buku, jurnal ilmiah, hingga ala-ala berita online.

Tentu semuanya memiliki tampilan kerennya masing-masing. Namun, di sini penulis juga belajar dari apa yang dilakukan admin Kompasiana saat melihat perubahan yang terjadi pada tulisan pasca terunggah.

Terlihat bahwa Kompasiana ingin tampilan yang simpel namun tidak meninggalkan esensinya. Yaitu, menghargai hak cipta dengan menyantumkan sumber atau acuan berargumentasi. Bukankah pemikiran kita seringkali sudah ada dan sama?

Seiring berjalannya waktu penulis akhirnya nyaman dengan cara yang ada di artikel ini. Menurut penulis, itu sudah mewakili dua hal, simpel namun tetap menunjukkan eksistensi dari sumber yang terkait.

Secara pengamatan sederhana, sebagai konsumen kita seringkali tergiring oleh visual. Maka, dalam hal penyantuman sumber juga harus ada visualitas. Kita harus diberitahu, bahwa ini loh sumbernya!

Bahkan, dengan penampakan sedemikian rupa tanpa diklik pun pembaca sudah tahu dan percaya bahwa ada tulisan lain yang terkait dengan yang barusan dibaca. Ditambah jika pembaca sudah lelah membaca yang barusan dibaca, maka cukup melihat nama sumbernya, biasanya sudah terpuaskan.

Mengapa penerapan hak cipta di Kompasiana disebut sebagai rule tersembunyi namun absolut?

Tersembunyi, karena admin Kompasiana bergerak selayak editor, namun tidak perlu menunjukkan eksistensinya sebagai editor seperti di media lainnya. Bukankah itu seperti bersembunyi?

Namun bersembunyi di sini bertujuan baik. Meski di sisi lain kadang jarang membuat Kners peka--termasuk penulis. Itulah yang membuat kita masih menganggap menulis di sini suka-suka. Padahal tidak juga.

Selain itu, jika tulisan di Kompasiana tidak ada penampakan editor-nya, maka bagus dan jeleknya tulisan yang ada memang hak milik penulisnya.

Jika bagus, bisa menjadi dua. Bagus karena dasar penulisnya yang bagus, juga bagus karena adminnya telah memberikan jalan kepada penulis untuk belajar, upgrade, dan eksis.

Jika jelek, sebenarnya juga dua. Karena, seharusnya ada langkah pembenahan. Namun, karena tidak ada editor, maka pembenahan harus dilakukan secara mandiri oleh penulisnya.

Caranya dengan membaca tulisan lain yang telah menjadi Headline dan Highlight. Bukan berarti yang tidak mendapatkan sematan itu tidak bisa dipelajari, justru dari tulisan yang seperti itu kita banyak mengambil pelajaran.

Kita bisa mengambil manfaat dari tulisan tersebut dan patut mengapresiasi penulisnya yang tetap menulis dengan tekun meski jarang mendapatkan sematan tersebut. Ini nanti akan terungkap alasannya di tahap selanjutnya.

Kembali ke hak cipta, kita tentu sudah paham bahwa itu adalah sesuatu yang absolut. Meski tindakan para admin Kompasiana ibaratnya gerilya, namun apa yang mereka lakukan adalah untuk sesuatu yang absolut.

Lalu, adakah yang tidak absolut namun nyata?

Ada, yaitu apresiasi. Apresiasi ini bisa berupa sematan tadi, juga dapat berupa rating. Ini berarti kita sudah melangkah ke perihal kedua yang dihadirkan oleh Kompasiana.

Setiap selesai membaca semua tulisan di Kompasiana, kita pasti menemukan pilihan rating. Itulah yang nantinya akan menggambarkan bagaimana tulisan tersebut berdampak kepada pembaca maupun ke admin Kompasiana.

Rating Kompasiana:

  • Menarik
  • Bermanfaat
  • Inspiratif
  • Menarik
  • Menghibur
  • Tidak menarik
  • Unik

Secara langsung dan tidak, pilihan rating itu menggiring pembaca untuk mengapresiasi maupun untuk mengukur nilai terhadap tulisan tersebut. Begitu pula dengan penulisnya yang pasti akan mengevaluasi pasca melihat rating yang diperoleh.

Penampakan rating di Kompasiana. Gambar: Kompasiana
Penampakan rating di Kompasiana. Gambar: Kompasiana
Namun secara pribadi, penulis seringkali kurang menghitung keberadaan rating Inspiratif. Mengapa?

Karena sejak awal penulis melihat rating Inspiratif cenderung kurang akurat. Terkadang ada faktor kesengajaan dari pembaca untuk membuat tulisan itu sangat bernilai tinggi. Padahal belum tentu demikian.

Namun sebagai penulis, kita tak bisa mengatur ataupun melarang pembaca untuk memberikan apresiasi yang seperti apa. Terserah mereka, karena mereka yang memikirkan apa yang harus dipilih.

Entah itu memang demikian atau tidak, juga terserah. Namun jika itu dilakukan secara pribadi, tidak banyak tulisan yang memperoleh sematan Inspiratif.

Menurut penulis, rating itu cukup berat dibandingkan rating lainnya. Tidak banyak tulisan yang secara objektif dinilai inspiratif. Namun, akhir-akhir ini secara pribadi, penulis sering menemukan tulisan yang inspiratif.

Bisa saja faktor situasi saat ini yang sangat butuh ide-ide dan saran yang memang sangat bagus untuk ditiru secara individu maupun masif. Ada salah satu tulisan yang sangat inspirasional, meski sebenarnya sudah ada yang melakukan saat situasi sekitar belum seperti sekarang.

Bagi penulis, ulasan yang semacam itulah yang patut dipenuhi rating Inspiratif. Sedangkan sampai sejauh ini, penulis belum menemukan tulisan pribadi yang bisa diberi rating tersebut.

Penulis tentu maklum, karena faktor usia--seperti penulis--biasanya menggiring perwujudan pada tulisan yang cenderung "hanya" aktual, menarik, dan tentunya bermanfaat. Sejauh ini belum ada tulisan di Kompasiana yang ditemukan tanpa manfaat. Pasti ada manfaat kepada pembacanya.

Sedangkan rating langka lainnya adalah Menghibur. Secara tersirat ada dua penafsiran.

Menghibur karena konteksnya hiburan, atau menghibur karena secara konten tulisan tersebut mengupas sesuatu yang dapat menjadi guyonan secara satir. Biasanya yang membahas tentang ranah politik akan ada hal begini.

Namun, karena secara pribadi belum bisa menulis tentang politik, maka tidak ada contoh dari penulis tentang apa tulisan yang menghibur namun tidak pada konteks sebenarnya. Hal ini juga berlaku pada konteks yang sebenarnya, yaitu humor.

Jujur saja, menulis di genre humor sangatlah sulit. Itulah yang membuat rating Menghibur sulit digunakan. Bahkan, akhirnya level humor itu bisa menjadi berbeda, dan yang diklik bukan Menghibur, melainkan rating Menarik.

Tulisan yang sudah dianggap menarik pasti bagus. Meski di sisi lain penulis menemukan adanya anggapan bahwa rating Menarik adalah untuk skip atau sekadar memberikan rating tanpa komentar.

Ini juga sempat menjadi topik hangat di kalangan Kners. Namun, karena perjanjian sebelumnya, tulisan itu tidak bisa menjadi pajangan di dinding tulisan ini. Sayang sekali.

Apa yang kita lihat pada rating tersebut sudah bisa menjelaskan betapa fleksibelnya penggambaran terkait tulisan yang ada pada Kompasiana. Ini juga berlaku terhadap eksistensi tulisan yang mendapatkan sematan.

Ada yang bagi pembacanya secara lugu mengatakan bahwa tulisan itu pasti Headline. Namun nyatanya tulisan yang telah "disumpahi" itu tidak berubah menjadi pajangan utama di beranda si rumah biru.

Artinya, apa yang kita nilai demikian belum tentu sesuai dengan apa yang diketahui oleh admin Kompasiana. Apakah mereka salah? Tidak ada yang salah.

Karena apa yang tampak memang mudah dinilai, namun belum tentu dapat mencapai sesuatu yang pasti. Logika sederhananya begini, jika dalam satu rumah ada 2 orang anak, apakah orang tuanya dapat menunjuk siapa yang menjadi terbaik?

Penulis perlu menunggu giliran yang sesuai kemampuannya saat itu. Gambar: Shutterstock via Dream.co.id
Penulis perlu menunggu giliran yang sesuai kemampuannya saat itu. Gambar: Shutterstock via Dream.co.id
Memang akan ada, tapi biasanya secara bergilir. Si sulung biasanya akan disuruh berdiri dulu dan membantu sang ayah, sedangkan si bungsu bisa membantu ibu atau malah hanya menjadi penonton.

Keputusan itu tidak perlu dipermasalahkan, karena nantinya si bungsu juga akan dapat membantu sang ayah. Atau malah menggantikan tugasnya melindungi rumah ketika si sulung dan ayah merantau atau bekerja.

Tulisan di Kompasiana yang sebanyak itu juga akan demikian. Karena semua pasti ada saat untuk duduk saja, berdiri, dan kembali duduk.

Up and down, itu istilah yang populer, dan berlaku juga pada para penulis dan tulisannya. Termasuk Kners yang hampir dipastikan juga penulis selain voter dan comentator.

Menjadi penulis di Kompasiana juga akan ada masa naik dan turun, baik secara kualitas dan kuantitas. Hal ini juga akan menampakkan pemandangan yang kasat maupun tidak.

Secara kasat kita bisa melihat dari rating dan jumlah tulisan. Penulis yang dianggap bagus pasti secara statistik akan sangat menyimbolkan demikian. Hal ini akan semakin dipertegas dengan penampakan rating yang nyaris selalu bagus.

Namun, bisakah Kners mempertahankannya?

Sangat sulit.

Menjadi penulis pasti pernah seperti sedang Honeymoon. Gambar: Travelji.com via Tribunnews
Menjadi penulis pasti pernah seperti sedang Honeymoon. Gambar: Travelji.com via Tribunnews
Kesulitan yang pasti akan dialami para penulis di Kompasiana adalah mempertahankan rutinitas mengunggah tulisan. Ketika di masa honeymoon, kita bisa yakin bahwa berapa kalipun aktivitas yang sama itu pasti akan dijabanin, dan seolah tak kenal bosan.

Namun seiring berjalannya waktu, kita pasti kehabisan bensin, bukan?

Banyak faktornya. Ada yang seiring berjalannya waktu, produktivitasnya bukan lagi untuk menulis. Apalagi bagi yang masa produktifnya adalah untuk menanjak, maka akan muncul masa untuk seorang penulis harus meninggalkan kesempatan untuk nampang sebagai penulis.

Misalnya menjadi editor. Salah satu tahap yang pasti ketika sudah menjadi penulis yang terpercaya kualitasnya, adalah menjadi editor. Mau dan tidak mau, akan ada jalan ke sana.

Di satu sisi ini bagus. Karena secara prestis, ini adalah peningkatan status. Namun secara produktivitas yang harfiah, ini bukan suatu kabar yang bagus. Mengapa?

Menjadi editor pada akhirnya seperti menjadi juri lomba. Apakah para juri itu masih mengikuti perlombaan?

Ada, tapi tidak banyak. Bahkan, sangat sedikit. Karena, tidak banyak orang yang merawat keinginan untuk terus bertarung. Seiring berjalannya waktu pasti kita ingin kembali ke rumah dan beristirahat, bukan?

Itulah yang kemudian membuat orang yang besar terkadang sulit untuk kembali seolah haus akan suatu tantangan baru. Bukan karena tidak mau, melainkan terkadang (merasa) sudah tidak ada tantangan baru.

Lalu, apa yang harus dilakukan?

Para penulis yang sudah naik kelas menjadi editor tetap memiliki pekerjaan rumah yang bahkan sebenarnya sangat sulit, yaitu mempertahankan kualitasnya. Kita bisa membayangkan pada pertandingan bola di Jerman kemarin yang seolah menjadi kelas amatir karena sudah 2 bulan para pemainnya tidak bermain.

Hal ini sama seperti seorang penulis yang secara kasarnya tidak lagi menghasilkan tulisan sendiri sebagai rutinitas atau pekerjaan. Pada akhirnya, mereka juga seperti kembali membentuk jati diri yang baru.

Jika beruntung, maka hasilnya akan semakin bagus dibandingkan tulisan sebelumnya. Namun jika nahas, maka hasilnya adalah sebaliknya. Seolah tulisannya menjadi kembali amatiran.

Bahkan, hal ini juga terjadi pada orang-orang yang malah sangat rajin menghasilkan tulisan. Kita terkadang tidak bisa menutup mata terhadap stereotip bahwa kuantitas tinggi tapi belum tentu kualitasnya juga demikian.

Hal ini secara pribadi sangat terasa. Khususnya ketika sebulan penuh mengunggah tulisan secara terus menerus. Terkadang hasilnya kurang maksimal.

Memang, lagi-lagi ini terserah kita. Mau menantang diri untuk menulis sebulan penuh, silakeun. Mau tidak juga sumonggo. Tidak ada yang melarang dan memaksa.

Namun, imbasnya bisa ke penurunan kualitas. Ketika berada di situasi "normal" penulis lebih memilih untuk tidak terlalu sering mengunggah tulisan, meski secara eksistensi akhirnya menjadi tergerus.

Namun secara pribadi ini menguntungkan, karena ada jeda. Artinya ada kesempatan untuk membuat proses yang bisa dikendalikan dengan baik. Jika sudah demikian, tidak ada ketergesaan, tidak ada perasaan terpaksa, tidak ada pula merasa sedang buntu.

Menulis juga seperti berenang. Berupaya mencapai suatu titik dan mentas. Gambar: Shutterstock.com
Menulis juga seperti berenang. Berupaya mencapai suatu titik dan mentas. Gambar: Shutterstock.com
Akhirnya, kita sampai pada akhir dari tulisan ini, yaitu menulis itu pasti ada "up and down". Ketika masih berada di dasar pasti ada keinginan kuat untuk muncul ke permukaan. Namun, ketika sudah ada di permukaan apakah kita bisa mengapung dalam durasi yang lama?

Malang, 21 Mei 2020

Deddy Husein S.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun