Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Meski Introvert, 3 Tradisi Menjelang Lebaran Ini Menyenangkan

18 Mei 2020   22:50 Diperbarui: 18 Mei 2020   23:45 729
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber foto: Antara Foto/GALIH PRADIPTA

Dua hari terakhir ini jagat maya diramaikan dengan video di Youtube yang membahas tentang adanya pengakuan seorang introvert terkait konten yang menuai kontroversi di mata publik. Secara pribadi, saya belum menonton konten pemicunya.

Namun, saya sudah menyaksikan bagaimana klarifikasi mereka (si perempuan dan lelakinya) di konten Youtube Deddy Corbuzier. Di situ saya melihat bagaimana adanya ketidakstabilan antara pernyataan awal sampai ke bagian isi.

Penggiringan pendapat dari pihak yang berklarifikasi pun menurut saya tepat dilakukan oleh host-nya, karena yang ingin diwakilkan adalah opini publik. Agar terjadi titik temu antara opini umum (host) dan opini subjektif (guest).

Beruntung tindakan klarifikasi ini dilakukan di pihak yang memang point of view-nya cukup mewakili masyarakat, seperti Deddy Corbuzier. Sehingga, ada netralitas dan si pengklarifikasi dengan berbesar hati menanggapinya dengan cukup baik.

Sebenarnya ada part tertentu yang membuat saya tidak sepakat terkait penggambaran introvert. Karena sebagai seorang yang introvert, menurut saya, gambaran yang sebenarnya tidak separah itu.

Misalnya, seorang introvert juga masih mau berbincang-bincang dan bersosialisasi. Hanya, yang menjadi pembeda adalah harus dilakukan dengan adanya absolute reason.

Jika tidak, jangan harap si introvert mau diajak ngopi di sembarang waktu. Bahkan, terkadang juga cenderung pemilih dalam menentukan tempat untuk bercengkrama.

Namun, seorang introvert masih bisa menyesuaikan diri (adaptif) dengan keadaan. Kuncinya adalah dia bertemu dengan orang yang dikenal atau sudah berada di tempat tersebut lebih dari 5 menit.

Artinya, seorang introvert masih bisa terlihat normal (baca: asyik) kok. Selain itu, saya juga tidak terlalu sepakat dengan pembentukan persona yang berbeda--antara karakter asli dengan karakter "buatan"--untuk kebutuhan ranah berkarya.

Bagi saya, seorang introvert meski adaptif terhadap lingkungan, namun tidak begitu adaptif dengan karakter. Seorang introvert biasanya egonya besar di samping rasa insecure yang terkadang muncul.

Artinya, ketika seorang introvert itu muncul ke permukaan--ruang publik, biasanya sudah melalui set up yang cukup rapi. Namun, si introvert juga bisa menjadi apa adanya jika tidak ingin melakukan set up yang berlebihan.

Dari sini saya secara pribadi menyayangkan jika memang seorang introvert berkarya namun harus menjadi orang lain. Padahal menonjolkan karakter sendiri saja biasanya sudah lebih dari cukup.

Mengapa? Karena, seorang introvert biasanya dikaruniai kreativitas dan abilitas yang biasanya terlihat seolah adalah bakat. Padahal, tentu saja itu melalui proses nyata dengan belajar dan berlatih. Bukan hanya bertapa saja.

Inilah yang membuat saya cukup menyayangkan keputusan untuk membentuk persona yang berbeda, jika ternyata itu tak sesuai dengan karakter dasarnya. Kalau memang tidak bisa membentuk persona, lebih baik kembangkan kapasitas diri, itu sudah bagus kok.

Terakhir, satu hal yang menurut saya menyedihkan adalah introvert ditakutkan akan menjadi (maaf) gila. Memang, saya belum mencaritahu tentang korelasi antara potensi ketidakwarasan dengan karakter dasar introvert.

Namun saya masih yakin 100%, bahwa orang introvert tidak mungkin gila. Mengapa?

Karena orang introvert tidak pernah merasa kesepian, meski sedang sendiri. Mereka juga malah selalu menggemari aktivitas merenung, karena di sanalah akan muncul banyak ide kreatif yang nantinya bisa menuntun si introvert menghasilkan karya.

Artinya, seorang introvert tidak butuh dikasihani ataupun dibuyarkan lamunannya agar tidak sampai gila. Wah, bagaimana dengan saya yang nyaris 15-16 jam/hari melek sendirian?

Juga apa kata dunia, jika semua puisi indah yang kita baca bukan dari kontemplasi? Sedangkan kontemplasi kebanyakan terwadahi oleh proses diam, hening, dan merenung. Apakah kemudian para pemuisi adalah introvert?

Bisa jadi.

Baca juga: Bedanya Introvert dengan yang Mengaku Introvert (Himam Miladi)

Namun, agar pembahasan ini tidak semakin melebar, maka pembahasan ini nantinya bisa dilanjutkan di lain waktu. Atau mungkin ada yang ingin membuat artikel tanggapan? Silakan!

Kini, saya akan membahas keterkaitan antara karakter dasar saya yang "asyik sendiri" dengan pernak-pernik tradisi menjelang Lebaran. Apa saja?

Ilustrasi petasan kembang api. Gambar: Shutterstock via Kompas
Ilustrasi petasan kembang api. Gambar: Shutterstock via Kompas
Pertama, saya ternyata masih suka melihat anak-anak--dulu adalah teman sebaya--bermain petasan. Tentu saat itu saya belum begitu terkaget-kaget jika ada bunyi petasan.

Saat saya masih kecil, saya suka melihat tetangga menyalakan petasan. Rumah saya saat itu ada terasnya yang luas. Bahkan bisa menjadi kamar kost-an saya saat ini.

Dari tempat itu saya sudah bisa melihat teman sebaya bermain petasan. Mengapa saya tidak join? Entahlah, saya juga tidak tahu alasannya saat itu.

Namun jujur saja, ketika momen Lebaran akan tiba, ini adalah yang saya rindukan. Ditambah jika ibu saya yang juga sebenarnya introvert membelikan saya petasan kembang ataupun kembang api yang berbungkus merah itu.

Cukup dinyalakan di halaman samping rumah, saya sudah merasa seperti teman-teman sebaya tadi. Hehehe.

Kue apem identik untuk acara megengan. Gambar: Detikone.com
Kue apem identik untuk acara megengan. Gambar: Detikone.com
Kedua, megengan. Memang, saya paling tidak mau menjadi si tukang antar makanan. Karena, saya memang tidak nyaman menemui orang, meski itu tetangga saya dan saya tentunya mengenali mereka.

Lagi-lagi saya tak tahu alasan pastinya. Namun, adanya tradisi ini saya merasa bahwa beginilah indahnya menjadi makhluk Zoo politicon.

Ketiga atau yang terakhir, saya menyukai adanya proses berbagi zakat fitrah. Biasanya ini terjadi ketika saya masih sekolah. Bisa membeli beras lebih dari sekilo itu sesuatu bagi saya.

Begitu pula jika saya bisa membawanya ke sekolah. Ditambah orang tua selalu mendukung untuk kegiatan ini meski kami tahu, bahwa kami juga biasanya menjadi pihak yang menerima zakat.

Ilustrasi zakat fitrah. Gambar: Tribunnews/ENDRO
Ilustrasi zakat fitrah. Gambar: Tribunnews/ENDRO
Namun, dengan adanya tradisi berbagi zakat semacam ini, saya melihat bahwa berbagi itu sangat menyenangkan. Tidak perlu merasa pantas terlebih dahulu, namun cukup merasa bisa, maka itu sudah lebih dari cukup.

Dari tiga tradisi yang saya rindukan ini setidaknya bisa cukup menggambarkan bahwa seorang--yang mengaku--introvert masih bisa menyukai aktivitas sosial, dan bisa memikirkan apa yang seharusnya baik dilakukan meski terkadang tak (perlu) dilakukan. Toh, pasti ada orang lain kok yang bakalan mengambil peran untuk berinteraksi sedemikian rupa.

Jika itu tadi adalah versi saya, lalu, apa tradisi jelang Lebaran yang kalian rindukan? Tulis di kolom komentar, ya!

Malang, 18 Mei 2020

Deddy Husein S.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun