Dalam beberapa hari ini, kita sedang dihebohkan kasus prank yang menjadi konten di Youtube dan membuat publik tidak terima. Tentu sudah banyak berita maupun ulasan tentang kasus tersebut, sehingga penulis tak akan membahasnya lebih banyak.
Singkatnya, si pembuat konten prank di Youtube telah dibekuk. Videonya yang sedang menangis di ruang tahanan atau mungkin ruang interogasi pun sempat menjadi konsumsi publik hingga bertebaran di grup chat.
Penulis secara pribadi tidak ingin larut untuk menanggapi fenomena tersebut. Karena, sedari awal saat menyelami konten-konten di Youtube selalu berupaya menghindari konten prank.
Bagi penulis, konten prank gampang aus. Sekali, dua kali akan boom! Menarik. Namun, setelah itu akan butuh effort yang lebih dan biasanya akan menjadi kian garing, padahal sudah dapat dipastikan bahwa persiapannya juga maksimal, loh!
Alasannya sederhana. Dewasa ini informasi cepat tersebar luas. Ambil contoh, prank orang yang bisa berbahasa Jawa padahal bukan orang Jawa.
Lambat laun konten ini akan diketahui masyarakat berbagai sudut di Pulau Jawa. Artinya, sasarannya akan mulai tak maksimal, jika tetap mengarah pada orang-orang Jawa yang kemudian sudah kenal siapa yang membuat konten tersebut.
Begitu pula ketika akhirnya konten prank itu dimodifikasi dengan merubah sasaran. Hasilnya akan menarik di awal. Namun, akhirnya menjadi awkward, karena yang di-prank mulai terlihat bingung dan mengundang rasa kesal pula--bagi penonton--atau malah merasa tak masuk akal.
Inilah yang membuat penulis akhirnya (terkadang) tidak lagi mengikuti perkembangan tentang channel yang masih menggunakan konten prank sebagai andalan. Walau pada akhirnya penulis melihat channel-channel tersebut mulai meninggalkan konten prank dan lebih mengarah pada ranah introduction dan education.
Artinya ada dua poin dari konten prank yang biasanya pernah dilakukan para Youtuber. Pertama, konten prank menaikkan viewers. Kedua, konten prank dapat menjadi penggebrak.
Namun, keduanya berkorelasi sama. Akhirnya akan aus. Tidak tahan lama.
Belajar dari situ, seharusnya Youtuber masa kini tidak mengikuti jejak mereka. Meniru memang tak masalah. Namun jika malah tidak lebih baik, khususnya secara kualitas, tentu akan merugikan.
Meski kita selalu diagungkan sebagai makhluk paling sempurna karena memiliki kecerdasan. Namun, yang paling banyak menentukan sikap kita terhadap perwujudan dan/atau penilaian baik dan buruk adalah perasaan kita.
Jika perasaan kita baik, maka akan menghasilkan sikap yang baik. Wujudnya akan baik. Begitu pun sebaliknya.
Itulah mengapa konten prank adalah salah satu konten kreatif yang berisiko untuk melukai perasaan dan akhirnya dapat menjadi salah satu tindak kejahatan. Siapa pula yang ingin dipenjara karena awalnya berharap menjadi content creator, bukan?
Walaupun penulis juga mengakui bahwa ada konten-konten prank yang secara tersirat memberikan nilai yang positif, namun penulis menyarankan untuk tidak memilih konten prank sebagai amunisi di channel atau lapak kreatif kita.
Bahkan, meski konten prank sebenarnya konten yang tidak sepenuhnya jahat. Mengapa? Karena, sebenarnya ada konten-konten yang justru lebih jahat dan sebenarnya tergolong tindak kriminal papan atas.
Memang di Youtube ada undang-undang hak cipta atau yang sering disebut copyright. Secara pribadi, penulis menganggap pasti banyak content creator yang pernah terkena copyright. Karena, penulis juga pernah mengalaminya saat awal-awal mengunggah video. Hehe.
Namun, konsekuensinya video tersebut tidak dapat dimonetisasi oleh pembuat video tersebut, melainkan dimonetisasi oleh pemilik musik yang dijadikan latar tersebut. Itulah yang membuat copyright yang dimaklumi akhirnya tetap harus dihindari.
Sedangkan yang satunya adalah yang sangat tidak bisa dimaklumi. Contohnya seperti gambar yang dilampirkan ini.
Kasus seperti inilah yang seharusnya diviralkan dan dihukum, baik secara undang-undang cyber, kepolisian umum, maupun sosial. Karena, yang seperti ini akan menumbuh dan melestarikan mental pencuri, bukan lagi sekadar peniru.
Bayangkan saja, jika selarik kalimat yang diciptakan sebagai "quote" di media sosial kita diambil oleh orang lain. Apakah kita menerimanya?
Mungkin ketika sudah menjadi penulis besar, hal ini tak akan jadi persoalan. Karena manajer yang mengurus, pengacara yang menuntut, hingga penggemar yang akan merundung di dunia maya.
Namun, hal semacam ini tak bisa dianggap enteng. Apalagi seperti contoh di atas. Beruntung, konten curian tersebut kini telah raib. Karena pihak yang memiliki konten asli telah bergerak cepat.
Semoga bisa, ya!
Selamat berkarya, dan tentunya dengan jujur!
Malang, 10-5-2020
Deddy Husein S.
Tulisan terkait:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H