Memang, saya tidak dilahirkan di salah satu kabupaten yang berada di Jawa Timur, Tulungagung. Tetapi, saya masih merasa terikat dengan daerah penghasil marmer itu. Sudah genap dua dekade saya menjadi penduduknya, meski kini mulai jarang menetap di sana.
Kenangan yang terpatri sejak kecil, sejak awalnya belum bisa berbahasa Jawa, dan memanggil nenek dengan, "Heh!", di situlah saya mulai menyimpan apa saja yang sudah terjadi. Termasuk tempat yang paling lama saya lihat ketika itu.
Memiliki ingatan yang tidak terlalu baik terhadap lokasi memang membuat tempat-tempat lama lebih banyak mengisi ruang ingatan, dibandingkan tempat-tempat baru. Seperti tempat-tempat ibadah yang bernama masjid.
Sudah ada beberapa masjid yang disinggahi, baik di kampung asal, tempat tinggal saat ini, hingga di kota-kota yang pernah disinggahi. Namun, tetap saja, masjid-masjid di Tulungagung memiliki tempat tersendiri di ingatan.
Faktor tempat tinggal yang kala itu sangat dekat, hanya sekitar 150-an meter membuat masjid ini sudah seperti tempat lahir. Tetap diingat walau sudah semakin lama tak dikunjungi lagi.
Inilah yang membuat masjid ini tetap dikenang meski sudah pindah rumah, ditambah dengan kini jarang pulang kampung. Benar, saya hanya pulang kampung sebagian besar saat momen mudik.
Kecuali jika ada momen pilkada atau mengurus keperluan tertentu yang membuat saya harus pulang. Jika tidak ada hal semacam itu, maka tak perlu pulang.
Saat Ramadan pun yang paling diingat tentu adalah ketika dapat mengikuti buka bersama di masjid yang sangat luas itu. Hanya, terkadang saya juga pernah merasa terdiskriminasi karena dianggap masih kecil, belum tentu puasa.
Maka tak heran jika seusai Maghrib, pulang tak membawa apa-apa kecuali sebelumnya minum segelas susu dan dua-tiga butir kurma--jika dapat. Syukurlah....
Dari situ pula saya--saat itu--mengira bahwa, anak kecil sepertinya disangsikan untuk berpuasa. Anak kecil juga dianggap tak akan kuat berpuasa. Termasuk juga kepantasan dalam memperoleh makanan untuk berbuka. Ah, mungkin di rumah ibunya sudah masak kok.
Di sisi lain, ada juga pengalaman menarik yang bahkan tak mungkin saya alami lagi, yaitu bertakbir langsung di masjid. Jadi, jika sekarang mendengar suara takbir anak-anak kecil di masjid, saya pun tersenyum, karena dulu juga pernah melakukannya.
Masjid itulah yang memberikan kesempatan pertama kali kepada saya dan beberapa teman yang merupakan anak dari ulama dan jamaah tetap masjid tersebut. Tentu bangga saat itu, meski kini sadar bahwa ternyata itu adalah hal biasa. Asal berteman dengan anak jamaah masjid pasti akan dapat kesempatan bertakbir di masjid.
Selain itu, saya juga pernah berharap akan menjadi remaja masjid (REMAS) di masjid tersebut. Karena, melihat mereka bisa seperti menganggap masjid adalah rumah, bukan hanya tempat ibadah.
Saya juga berpikir bahwa menjadi REMAS akan memberikan pengaruh terhadap status sosial. Ditambah dengan kepastian akan lebih dekat dengan agama. Tentunya apa yang saya lihat saat itu memang hanya pada kehidupan di Masjid Agung Al Munawwar yang saat itu sangat menyejukkan bagi saya.
Lalu, ada pula masjid baru yang kini hanya tinggal menyeberang dari rumah untuk menjangkaunya. Menariknya, masjid itu menjadi tempat ke-5 atau ke-6 yang saya jadikan tempat untuk sholat Idul Fitri.
Semoga, tahun depan saya bisa berjumpa lagi dengan masjid-masjid di Tulungagung setelah tahun ini dipastikan akan kali kedua beribadah total di kota rantau.
Malang, 30 April 2020
Deddy Husein S.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H