Hal ini sebenarnya seringkali disebabkan oleh pemahaman secara harfiah yang digunakan untuk meraih inspirasi dan memiliki ekspektasi. Padahal, setiap bacaan pasti memberikan esensi yang sebenarnya, meski tak mudah ditemukan--secara harfiah.
Termasuk saat membaca puisi. Banyak puisi-puisi berkualitas yang terkadang justru cukup sulit ditemukan maknanya, namun pada kenyataannya kita secara prematur sudah menyatakan suka dengan puisi dan ingin berpuisi.
Lalu, apakah itu akan menggiring kita pada kegagalan ekspektasi?
Bisa saja demikian. Karena, pada nyatanya dibandingkan orang-orang yang cukup paham tentang apa dan bagaimana itu berpuisi, yang tidak paham justru lebih banyak.
Uniknya, orang-orang semacam itu justru yang membuat puisi lebih besar pasarnya daripada karya tulis lain. Hanya, yang perlu diingat adalah jangan terjebak pada bentuk tulisannya, melainkan apa yang dituliskan pada puisi itu.
Bukan mentang-mentang puisi adalah karya tulis yang relatif lebih pendek dari cerpen, apalagi novel, lalu kita menjadi seenaknya mengumbar permainan kata-kata yang sepintas lalu, namun telah disebut puisi. Jangan-jangan, itu bukan puisi!
Ketahuilah dulu apa itu puisi dan bagaimana puisi itu bisa seperti itu, baru jatuh cintalah padanya.
Jika hal itu sudah terjadi, (mungkin) ekspektasi untuk menulis puisi dan menjadi pemuisi tak lagi gagal besar. Bisa saja di antara kita masih menunggu antrian untuk dapat duduk bersama Joko Pinurbo dkk. sebagai pembicara puisi.
Selamat Hari Puisi! Semoga kita bisa memahami setiap larik-larik diksi indah di dalamnya dan mampu menunaikan segala ekspektasi yang telah dimiliki bersama puisi.
Oya, jangan-jangan Anda juga gagal berekspektasi terhadap tulisan ini. Hehe. Salam, dan terima kasih telah membaca!
Malang, 28 April 2020