Menjadi seorang penulis puisi juga akhirnya perlu role model. Misalnya Sapardi Djoko Damono (SDD), Joko Pinurbo (Jokpin), Afrizal Malna, hingga yang muda-muda seperti Aan Mansyur dan Faisal Oddang.
Ketika proses terinspirasi bisa dikatakan cukup, walau belum akan berakhir, pada tahap selanjutnya akan menuju ke ekspektasi. Kita pasti punya harapan dan target.
Ketika memasak, pasti ingin makanan yang diolah itu dapat disajikan ke orang lain dan melihat orang lain menikmati hingga mengapresiasi. Seorang perempuan yang gemar memasak pasti akan lebih suka memasak untuk orang lain daripada hanya untuk dirinya sendiri.
Begitu pula jika menjadi penulis, pasti punya harapan jika tulisannya dapat dibaca oleh banyak orang dibandingkan hanya dibaca sendiri. Tahap itu pasti harus lewat, bukan?
Namun, sudahkah ekspektasi yang dimiliki masing-masing dapat terealisasi dengan benar dan baik?
Menjadi pembaca yang berekspektasi benar, maka dirinya dapat mewujudkan keinginannya untuk menambah koleksi bacaan dari level yang teringan menuju yang terberat. Sedangkan ekspektasi baik adalah dapat mewujudkan gudang inspirasi yang telah dia serap menuju ke tindakan konkrit yang salah satunya adalah menulis.
Menulis tentu pada akhirnya akan memiliki unsur benar dan baik. Namun, kali ini kita tak fokus ke sana. Kita tetap kembali pada ekspektasi.
Karena, ekspektasi inilah yang krusial bagi orang-orang yang sudah melihat dan membaca apa saja yang telah ditemukan. Tentu, kita sama-sama tahu bahwa negeri ini kembali diterpa dengan gosip literasi.
Setelah kasus penyitaan buku berpaham "kiri" beberapa waktu lalu, kemarin kita melihat adanya kehebohan masyarakat akibat adanya penangkapan sindikat Anarko di beberapa tempat. Peristiwa itu kemudian memunculkan buku-buku yang dijadikan sebagai barang bukti dan diduga adalah sumber inspirasi anggota Anarko.
Tentu, kita tidak membicarakan kebenaran tentang sumber inspirasi tersebut dengan pewujudannya. Namun, kita sedang melihat bahwa ada kegagalan dalam mewujudkan ekspektasi setelah terinspirasi.