Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Multitafsir yang Terkadang Sangat Merugikan

26 April 2020   07:15 Diperbarui: 26 April 2020   07:16 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi berpikir. | Gambar: Shutterstock via Kompas.com

Dalam beberapa hari ini penulis menemukan fenomena yang menarik perhatian, meski sebenarnya juga ada keraguan untuk membahasnya. Karena, sudah banyak orang yang memperbincangkannya, dan sepertinya mereka sudah memiliki opini yang cukup seirama.

Apa itu?

Tentang konflik kepentingan.

Betul, ini menyinggung tentang viralnya tindakan staf khusus (stafsus) Presiden RI, Joko Widodo yang semuanya berasal dari generasi milenial. Jujur saja, penulis belum mengetahui apa kinerja stafsus milenial tersebut sejak resmi dibentuk pada 21 November 2019.

Antara penulis yang kudet atau memang kinerja mereka masih step by step, membuat performa mereka (seperti) belum saatnya untuk muncul ke permukaan. 

Hal ini cukup berbeda jika dibandingkan dengan tuntutan kinerja yang harus cepat terwujud dari para menteri pada kabinet baru Presiden Jokowi di periode keduanya sebagai Kepala Negara Indonesia.

Lalu, mengapa mereka akhirnya kembali viral setelah kabar tentang pengangkatan dan besaran gaji mereka per bulan?

Tentu semua sudah tahu, bahwa viralnya mereka saat ini diawali dengan kontroversi surat edaran ke seluruh camat di Indonesia. Kabarnya surat edaran itu dibuat oleh salah satu stafsus presiden.

Kurang lebih polemiknya adalah seputar kewenangan dan adanya dugaan terkait pemanfaatan jabatan di struktur pemerintahan terhadap kepentingan pribadi. Salah satunya dengan penjalinan kerja sama antara pemerintah daerah dengan perusahaan yang dimiliki stafsus.

Masyarakat pun heboh. Banyak opini dan tuntutan untuk mundur bergemuruh, membuat stafsus tersebut harus mempertimbangkan masa depannya di jabatan tersebut.

Apakah dia harus mundur dan lebih fokus terhadap perusahaannya, atau tetap bertahan?

Ketika bertahan, tentu konsekuensinya adalah harus menghadapi gelombang kritikan sekaligus iming-iming contoh teladan dari budaya pejabat di negara-negara lain yang dianggap perlu dilakukan pula oleh para pejabat di negeri ini.

Opini ini sebenarnya ada benarnya. Namun, sudah tepatkah jika itu disasarkan kepada para stafsus?

Bisa saja dianggap tepat. Karena, Indonesia sudah sangat kental dengan tindakan korupsi. Masyarakat pun seolah takut jika hal itu terjadi dan nahasnya jika itu dilakukan oleh generasi milenial yang diharapkan dapat menjadi contoh tepat bagi generasi muda zaman now.

Melihat masyarakat menuntut mundur mereka, penulis kemudian memiliki suatu pertanyaan, yaitu apa yang membuat Presiden Jokowi menunjuk mereka sebagai staf khususnya?

Bagi penulis, Presiden Jokowi pasti memiliki alasan terhadap pembuatan staf khusus yang diisi generasi milenial tersebut. Salah satu alasannya tentu adalah rekam jejak mereka dalam pengembangan diri dan kontribusi kepada masyarakat melalui apa yang sudah mereka lakukan.

Tentu, masyarakat saat ini sudah tahu latar belakang semua staf khusus tersebut. Rata-rata mereka juga merupakan pemuda-pemudi yang sudah terbukti memiliki kehebatan di bidang masing-masing, dan ini sebenarnya wajar jika kemudian Presiden Jokowi ingin melibatkan mereka ke dalam struktur kepemerintahan.

Sebagai generasi muda, pasti mereka punya ide dan energi baru untuk mengembangkan negeri ini. Ditambah keinginan Presiden Jokowi untuk membuat Indonesia semakin maju, maka keterlibatan stafsus tersebut sangat diharapkan dapat memperlancarkan misi tersebut.

Melalui upaya itu, tentu kita perlu rekam jejak. Perlu ada bukti dari apa yang sudah dihasilkan oleh generasa muda tersebut. Kita tidak lagi hanya terbuai oleh janji melalui visi-misi, namun juga pencapaian yang pernah direngkuh.

Stafsus Presiden yang diumumkan pada 21 November 2019. | Gambar: ANTARA/Wahyu Putro A via Kompas.com
Stafsus Presiden yang diumumkan pada 21 November 2019. | Gambar: ANTARA/Wahyu Putro A via Kompas.com
Itulah mengapa 7 stafsus itu direkrut. Mereka memiliki kapasitas luar biasa dan sudah menjadi leader di bidangnya masing-masing. Contohnya, Belva Devara yang merupakan pendiri Ruang Guru.

Meski pengaruh pendidikan dengan media digital belum sepenuhnya besar di Indonesia, namun pasti hal itu akan terjadi pada Indonesia. Suatu saat para guru yang nanti juga sebagian besar akan diisi generasi milenial, pasti akan memilih memanfaatkan media digital, alih-alih terus menggunakan white board dan memberikan hukuman kepada murid untuk berdiri di depan kelas ketika terjadi pelanggaran.

Begitu pula Billy Mambrasar, seorang lulusan dari salah satu perguruan tinggi di Australia. Dia adalah salah satu potensi besar yang dimiliki Indonesia di bagian Timur. Indonesia tentu membutuhkan pelita seperti Billy untuk membuat kemajuan SDM di Indonesia merata.

Mendengar kemajuan SDM di Indonesia bagian Barat, khususnya di Jawa tentu sudah biasa. Hal ini tentu perlu diiringi dengan kemajuan di wilayah lainnya. Dan, potensi itu dapat diamanahkan melalui keberadaan Billy.

Terbukti, dirinya juga sudah memiliki modal sosial melalui yayasan yang dia miliki dan berbasis di Papua. Tentu latar belakang ini diperhatikan oleh Presiden Jokowi, dan tanpa rekam jejak seperti itu, tentu pilihan untuk mengisi slot pada staf khusus presiden akan jatuh ke nama lain.

Dari contoh semacam itu, seharusnya kita paham bahwa untuk dapat berada di posisi tersebut tentu tak lepas dari apa yang sudah ditorehkan oleh masing-masing stafsus. Lalu, bagaimana jika mereka masih berada di perusahaannya masing-masing?

Fenomena rangkap jabatan sebenarnya bukanlah hal baru, apalagi di kehidupan masyarakat Indonesia. Gampangnya, ketika ada murid potensial di kelasnya lalu terpilih sebagai ketua kelas, apakah kemudian dirinya tak punya dorongan untuk menjadi anggota OSIS bahkan bisa menjadi Ketua OSIS?

Apakah teman-temannya, guru, wali kelas, hingga kepala sekolah tidak menginginkan murid tersebut dapat berperan lebih demi kebaikan sekolahnya?

Jika pada akhirnya si murid tersebut menjadi Ketua OSIS, apakah dirinya akan mudah menanggalkan statusnya sebagai ketua kelas? Bahkan, bisa saja dirinya juga menjadi ketua di kegiatan ekstra lainnya atau lingkup lain (mis. di Karang Taruna di kampungnya), jika dia punya potensi dan peluang untuk itu.

Semakin ke sini memang hal semacam ini sudah sulit dibuktikan. Karena, keinginan untuk segera mengalihkan tanggung jawab antar individu semakin tinggi, agar setiap individu punya kesempatan untuk memegang peranan penting, dan tentunya untuk saling mengurangi beban.

Namun secara pribadi, penulis--berdasarkan pengalaman--melihat bahwa kebanyakan Ketua OSIS adalah "alumni" ketua kelas di kelasnya. Bahkan, para guru kebanyakan masih lebih percaya dan bergantung dengan murid seperti itu, alih-alih cepat move on ke figur murid lain.

Kepercayaan adalah harga mahal. Begitu pula dengan kepribadian, leadership, hingga pengalaman (contohnya bisa dibaca di sini).

Bukan suatu perkara mudah menemukan sosok-sosok semacam itu dalam waktu yang singkat. Kebiasaan dari kehidupan yang bisa disebut sebagai lingkup kecil inilah yang kemudian bisa juga terjadi di lingkup besar.

Bahkan, jika kembali menengok pada kehidupan di sekolah, seorang murid yang sudah berada di lingkup OSIS seringkali juga masih melihat potensi dari kelas asalnya dibandingkan dari kelas yang bukan asalnya.

Mengapa?

Karena, mempercayai sesuatu berdasarkan bukti dan kedekatan lebih mudah daripada menguji hal baru yang bisa saja akan ada kekecewaan di akhir. Contohnya bisa diambil di tingkat yang lebih tinggi. Perkuliahan.

Ketika seorang mahasiswa diminta mencari seorang teman sesama mahasiswa di kampusnya untuk menjadi responden pada sebuah penelitian dengan spesifikasi tertentu, pasti dia akan berpikir tentang teman-teman di kelasnya.

Jika tak ada, dia baru akan mencoba mencari dari segi satu angkatan, satu jurusan, hingga satu organisasi. Artinya, orang tersebut berupaya mencari "kekuatan" berdasarkan apa yang sudah dia ketahui seluk-beluknya, dan dilakukan secara berjenjang.

Pedoman sederhananya adalah lebih dekat akan lebih baik, dan lebih lama akan lebih baik pula. Inilah yang dilahirkan dari pembentukan kerja sama setelah polemik rangkap jabatan telah diselesaikan.

Sungguh sulit untuk menaruh kepercayaan atau tanggung jawab kepada orang yang belum dikenal. Jika tidak percaya, coba buktikan sendiri di dalam kehidupan masing-masing.

Bagi seorang sutradara film, apakah mengadakan casting pada aktor film secara terbuka adalah jalan pertama atau jalan alternatif?

Apakah seorang sutradara tidak memiliki target sebelumnya berdasarkan pilihan aktor yang dikenali lebih lama daripada aktor yang bahkan belum pernah memenangkan penghargaan?

Memang, ada sanggahan bahwa ini ada kaitannya dengan faktor kebutuhan. Namun, apakah kemungkinan untuk mengutamakan faktor kepercayaan dan kedekatan tidak akan dilakukan?

Jika contoh ini dibantah, berarti statement dan pembuktian dari film-film Joko Anwar dianggap angin lalu. Padahal, itu contoh nyata bahwa setiap jalinan kerja sama selalu melibatkan faktor kepercayaan dan kedekatan.

Baca juga: Di Balik Film Joko Anwar

Karena, dari sanalah jalinan kerja sama akan lebih menjanjikan dan tidak terlalu berisiko di kemudian hari. Lalu, bagaimana dengan fenomena kerja sama yang dilakukan pemerintah dan melibatkan stafsus milenial?

Sebagai generasi milenial, penulis tentu juga dilema. Karena, kemungkinan seperti yang dikatakan masyarakat bisa saja terjadi.

Tetapi, sebagai generasi milenial pula, penulis merasa tersinggung. Karena, jika masyarakat tidak percaya pada usaha generasi milenial untuk bekerja dan tentunya mereka akan melakukan hal-hal seperti di atas, apakah masyarakat punya pilihan lain selain mereka yang sudah terpilih sebagai stafsus presiden?

Jika mereka menuntut untuk memberhentikan orang-orang yang diduga dan dikawatirkan terlibat konflik kepentingan, maka mereka juga harus menyodorkan nama-nama lain sebagai penggantinya. Namun, apakah penyodoran nama-nama itu tidak akan terlepas dari konflik kepentingan juga?

Sebenarnya, apa yang sedang terjadi ini tak lepas dari tindakan berprasangka. Berprasangka memang bukan sepenuhnya kesalahan. Karena, itu tak lepas juga dari hak untuk bermultitafsir.

Apalagi jika itu dikaitkan dengan azas demokrasi, dan Indonesia sedang sangat mengagungkan azas tersebut. Tetapi, kalau demokrasinya dijalankan dengan picik--penuh dengan suudzon, yang akan rugi juga Indonesia.

Jika bersedia untuk jujur, apakah kita tidak pernah berharap kepada seorang Nadiem Makarim yang berhasil membuat terobosan melalui Gojek-nya untuk duduk langsung di kursi pemerintahan?

Siapa yang tidak ingin melihat seorang inspirator seperti Angkie bekerja di kursi pemerintahan secara langsung? | Gambar: Instagram/@Thisable.id
Siapa yang tidak ingin melihat seorang inspirator seperti Angkie bekerja di kursi pemerintahan secara langsung? | Gambar: Instagram/@Thisable.id
Hal ini tentu terjadi pula pada para cikal bakal stafsus tersebut. Siapa yang tidak ingin Putri Tanjung, Angkie Yudistia, Ayu Kartika Dewi, Aminuddin Ma'ruf, Andi Taufan, dan yang sudah disebut sebelumnya untuk berkontribusi langsung di pemerintahan?

Lalu, ketika mereka kini bersatu-padu di kursi pemerintahan, termasuk Nadiem Makarim dan Wishnutama contohnya, apakah mereka kemudian disangsikan kinerjanya hanya karena ada jalinan kerja sama antara Pemerintah dengan lembaga atau perusahaan yang (pernah dan masih) dimiliki orang-orang tersebut?

Bagaimana jika Gojek, Thisable Enterprise, Ruang Guru, dan lainnya malah digaet oleh negara lain? Apakah masyarakat kemudian menuding pemerintah tidak menghargai dan merangkul potensi hebat dari putra-putri bangsanya?

Namun, sayangnya ketika pemerintah sudah melakukannya, justru masyarakat menganggap adanya pemanfaatan kekuasaan. Padahal, apa yang mereka lakukan sama seperti yang dilakukan masyarakat sendiri di berbagai lingkup dan bidang.

Apakah kita tidak menyadari itu?

Mungkin inilah yang disebut hasil ataupun perwujudan dari multitafsir. Semua orang bebas menafsirkan seluruh kejadian. Tetapi, yang perlu diingat adalah jangan melupakan juga kebiasaan sendiri sebelum mengkawatirkan dampak dari kebiasaan yang dimiliki orang lain.

Jangan-jangan, kita juga memiliki kebiasaan buruk yang sama. Sedih.

Malang, 25 April 2020
Deddy Husein S.

Berita terkait:

Kompas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun