Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Antara "Players Together" dan Potong Gaji, Pilih Mana?

10 April 2020   16:10 Diperbarui: 10 April 2020   17:21 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penempatan logo UNICEF yang tergusur oleh sponsor baru yang menawarkan profit besar kepada Barcelona. | Gambar: Fcbarcelona.com

Coronavirus disease 2019 (covid-19) rupanya masih betah merayap di bumi. Terbukti, belum ada tanda-tanda bahwa setiap negara mengalami penurunan statistik terhadap kasus yang ditemukan. China memang terlihat mulai stabil, begitu pula dengan Italia yang dikabarkan mulai tidak ada kenaikan kurva (Tirto.id) terhadap kasus corona yang membuat aktivitas sepak bola diprediksi akan mulai digelar kembali.

Namun, situasi ini tidak terjadi pada negara lain seperti Inggris dan Belgia. Bahkan, negara yang disebut terakhir itu telah menghentikan sepak bolanya dan "memberikan" gelar juara kepada Club Brugge (Bola.com). Lalu, bagaimana dengan Inggris?

Secara bertahap, kompetisi sepak bola di sana mulai menuju pada pemberhentian. Hal ini dilakukan dengan menghentikan kompetisi dari divisi di bawah Premier League dan Liga Wanitanya (Bola.net). Tersisa Premier League yang belum diputuskan apakah lanjut atau tidak.

Menurut informasi dari Viva.co.id, Liga Inggris sebenarnya masih berpeluang untuk dilanjutkan, meski sangat berisiko dan harus menunggu waktu yang tepat. Prioritasnya dalam pengambilan keputusan tersebut adalah mencari jalan tengah antara mengutamakan keselamatan dan menghindari kerugian.

Sejak berhentinya aktivitas sepak bola akibat meluasnya dampak corona, kerugian tak hanya menghantui federasi dan penyelenggara kompetisi, namun juga masyarakat pencinta sepak bolanya. Mereka mulai jenuh, karena tidak ada tontonan atau hiburan yang sebelumnya menjadi rutinitas setiap akhir pekan.

Tidak hanya itu, pengaruh dari berhentinya kompetisi baik secara jeda maupun berhenti total, telah membuat laman-laman media massa dan media sosial yang awalnya fokus membahas tentang sepak bola menjadi kelimpungan, karena apa yang akan dibahas? Memprediksi masa depan yang belum pasti akan dimulai kapan?

Problematika ini juga kemudian menyasar pada perihal yang paling penting dalam sendi kehidupan selain kesehatan, yaitu ekonomi. Masyarakat semakin terhimpit karena ekonomi seret, sedangkan kebutuhan sepertinya semakin melonjak.

Faktor intensitas di rumah membuat masyarakat semakin konsumtif, baik dari segi kebutuhan pokok dan non-pokok, seperti internet dan listrik. Selain itu, faktor stay at home juga membuat masyarakat butuh stok pangan yang melimpah di rumah, dan ini juga membuat kelangkaan serta terkurasnya kantong ekonomi rumah tangga.

Pendapatan sudah seret bahkan bisa saja tidak ada, malah pengeluarannya yang semakin membengkak. Lalu, bagaimana dengan mereka yang masih mendapatkan gaji dan setidaknya terlihat lebih mapan?

Pesepak bola adalah salah satu profesi yang memiliki standar ekonomi cukup tinggi, apalagi jika berbicara tentang Eropa dan khususnya liga-liga terkenal yang salah satunya tentu Premier League. Inilah yang membuat perbincangan tentang aksi solidaritas di dalam tubuh kompetisi tersebut menjadi menarik.

Bukan karena semua berlomba membuat aksi sosial masing-masing, melainkan mereka berada dalam dilematis antara potong gaji atau melakukan tindakan lain yang dianggap lebih efektif. Akhirnya, muncullah sebuah gerakan peduli sosial yang bernama "Players Together" (Bola.com).

Gerakan ini disebut-sebut telah melalui kesepakatan antar semua pemain profesional di Inggris dengan diwakili oleh kapten tim masing-masing. Keputusan ini disinyalir karena mereka ingin bantuan yang diberikan langsung diakomodir oleh pihak yang terpercaya, National Health Service (NHS).

Melalui NHS, bantuan yang diberikan akan lebih tepat sasaran, karena mereka memiliki data-data yang akurat dan jaringan kerja sama yang tepat untuk perwujudan peduli sosial kala pandemi ini terlihat makin menguat. Lalu, apakah hal ini tidak bisa dilakukan melalui mekanisme pemotongan gaji dari klubnya masing-masing?

Jika merunut pada jumlah persentase yang ditetapkan untuk pemotongan gaji terhadap pemain, kabarnya Premier League "hanya" meminta 30% dari gaji yang diperoleh selama tiga bulan; Maret, April, Mei atau April, Mei, Juni. Persentase ini tidak sebanyak yang ditetapkan oleh Barcelona yang bahkan meminta pemotongan sampai 70%! (Tirto.id)

Meski terlihat tidak lebih banyak dari angka pemotongan gaji yang diterapkan oleh Barcelona, namun nyatanya para pemain dikabarkan tidak setuju dengan sistem pemotongan gaji tersebut. Apalagi, terjadi kritikan pula pada klub-klub yang sudah menerapkan pemotongan gaji namun ternyata dinilai tidak tepat.

Seperti Liverpool yang melakukan pemotongan gaji namun kepada para pekerja non-lapangan (cnnindonesia.com). Hal ini menuai protes, karena justru saat pandemi ini yang sedang tidak bekerja adalah para pekerja yang di lapangan.

Secara logika, pandangan ini benar. Karena, terbukti pekerja yang berada di bagian publikasi terlihat masih bekerja, walau mereka tidak dapat menyajikan informasi di lapangan melainkan harus mengajak para penggemar untuk bernostalgia. Saat corona ini melanda dan aktivitas sepak bola dihentikan tanpa kepastian, para penggemar disajikan konten-konten yang membahas masa-masa lalu.

Bahkan, di Youtube kita dapat melihat video-video lama seputar pertandingan yang dijalani masing-masing klub mulai bermunculan kembali di beranda. Itu pertanda bahwa masyarakat mulai menggali konten-konten lama saat mereka kesulitan mencari update tentang klub dan kompetisi.

Artinya, saat corona ini menghentikan aktivitas di lapangan, namun hal ini tak berlaku di bidang publikasi. Mereka masih harus bekerja untuk membuat masyarakat masih terhibur sembari menunggu kepastian nasib kompetisi dan klub favoritnya masing-masing.

Tetapi, mengapa para pemain tidak semuanya sepakat dengan pemotongan gaji?

Dugaan pertama, karena faktor sistem kerja klub biasanya tidak transparan dibandingkan lembaga pemerintah maupun asosiasi non-profit profesional baik di level nasional dan internasional. Hal ini dapat diambil contoh dengan program transfer pemain yang seringkali menimbulkan kontroversi di kemudian hari. Artinya, para pemain paham dengan situasi di lingkupnya.

Daripada niat bersolidaritas namun ternyata tak tepat sasaran (lagi), buat apa?

Dugaan kedua, karena lingkup kerja samanya. Memang, dewasa ini para klub hingga federasi, konfederasi, dan FIFA sering menjalin kerja sama dengan badan-badan non-profit. Namun, hal ini tidak sementereng pada masa lalu. Contohnya, dengan melihat Barcelona masa kini dan masa lalu.

Barcelona bekerjasama dengan UNICEF sejak 2006. | Gambar: Getty Images/STU FORSTER via Detik.com)
Barcelona bekerjasama dengan UNICEF sejak 2006. | Gambar: Getty Images/STU FORSTER via Detik.com)

Dulu, saat 2000-an, Barcelona identik dengan jersey yang terdapat tulisan UNICEF. UNICEF, United Nations Children's Fund, sendiri diketahui sebagai wadah pemerhati dan peduli terhadap kehidupan sosial khususnya untuk ibu dan anak secara global di negara berkembang. Melihat hal semacam ini, tentu Barcelona terlihat istimewa (detik.com) dibandingkan klub-klub lain yang sudah bersponsor brand bisnis terkenal pada masanya.

Seperti Real Madrid dengan Bwin, AC Milan dengan Opel, Chelsea dengan SAMSUNG, dan Manchester United dengan Vodafone. Namun, seiring berjalannya waktu, Barcelona mulai tidak memamerkan UNICEF pada jersey-nya. Bahkan, langkahnya cenderung unik, dengan memindahkan logo UNICEF dari depan ke belakang dan tentunya mengurangi ukuran dari logo tersebut.

Penempatan logo UNICEF yang tergusur oleh sponsor baru yang menawarkan profit besar kepada Barcelona. | Gambar: Fcbarcelona.com
Penempatan logo UNICEF yang tergusur oleh sponsor baru yang menawarkan profit besar kepada Barcelona. | Gambar: Fcbarcelona.com

Meski disebut-sebut kerja sama Barcelona dengan UNICEF masih berlangsung hingga saat ini (republika.co.id), namun kepercayaan diri mereka terhadap jalinan kerja sama itu sudah tidak sebesar dulu. Maklum, Barcelona kian hari juga kian melambung statistik pengeluarannya, akibat aktivitas transfer yang selalu mendatangkan pemain dengan harga mahal.

Hal ini tentu merubah berbagai kebijakan yang dimiliki klub asal Catalan itu termasuk dalam hal kerja sama. Faktor inilah yang membuat bisa saja para pemain mulai sangsi terhadap kemampuan dan orientasi klubnya dalam membuat kerja sama dengan pihak-pihak non-profit.

Jika tidak demikian, mengapa pemain seperti Lionel Messi, Cristiano Ronaldo, Mesut Ozil, dan lainnya lebih memilih berbakti sosial dengan inisiasi individual dibandingkan melalui klubnya atau agensinya. Begitu pula dengan Steven Gerrard yang diketahui memiliki semacam yayasan peduli sosialnya (stevengerrardfoundation.org) yang membuat ini adalah bukti bahwa para pemain sudah dapat bergerak sendiri tanpa ada klubnya, alih-alih federasi.

Contoh di atas membuat muncul dugaan ketiga, bahwa para pemain dewasa ini telah mampu bergerak sendiri untuk aksi sosial, alih-alih bergantung dengan klub dan federasi. Hal ini bisa saja dikarenakan pamor mereka dapat memuluskan aksi tersebut dan tentunya membuat masyarakat lebih respek terhadap para pelaku lapangannya secara langsung dibandingkan memuji federasi atau klub yang biasanya memiliki kepentingan tertentu.

Memang, dengan aksi individual atau tanpa ada mediator dari klub dan federasi, ini akan membuat para pemain seperti panjat sosial (pansos). Namun, dengan aksi-aksi tersebut, membuat masyarakat yang mengidolai para pemain dapat terinspirasi secara langsung.

Ditambah dengan keberadaan Players Together ini membuat kita yang awalnya menjadi pencinta sepak bola yang bar-bar, alias fanatik dengan pemain-pemain atau klub tertentu saja--dan seringkali membanding-bandingkan siapa yang terbaik, justru akan terbuka matanya, bahwa para pemain dari semua klub bisa melepaskan rivalitasnya dengan wujud solidaritas sosial tersebut.

Jadi, jika Anda adalah pesepak bola dan berada di Premier League, manakah yang akan Anda pilih? Potong gaji 30% atau ikut Players Together?

Oya, sebenarnya ada satu opsi lagi yang dapat dilakukan oleh para pemain di Premier League jika tidak ingin dipotong gajinya, yaitu putus kontrak. Hal ini dikatakan oleh agen salah seorang pemain Tottenham Hotspur, Tobi Alderweireld saat menanggapi adanya protes dari para pemain terhadap kebijakan potong gaji (Viva.co.id).

Namun, apakah hal ini positif atau malah negatif bagi klub dan para pemainnya?

Jika dinilai dari segi positif, klub dan pemain akan sama-sama sepakat tidak ada pengeluaran dan pemasukan. Artinya, klub tidak akan melakukan pembayaran kepada para pemainnya, tanpa ada pemasukan (kontribusi) dari pemain. Begitu pula bagi pemain.

Mereka tidak akan terbebani dengan label makan gaji buta, dan mereka dapat melakukan aksi individual tanpa terikat klubnya. Contohnya, jika mereka akan melakukan coaching clinic secara online, maka mereka tidak perlu menggunakan kit dari klubnya, melainkan dapat sepenuhnya dengan kit brand yang mengikatnya.

Bukankah para pemain biasanya ada yang memiliki apparel sendiri yang terkadang berbeda dengan apparel yang mendukung klubnya?

Ketika seorang pemain berkegiatan tanpa ada kaitannya dengan klubnya, dia dapat mengenakan aksesoris dari sponsor pribadinya. | Gambar: Twitter.com/LacazetteAlex
Ketika seorang pemain berkegiatan tanpa ada kaitannya dengan klubnya, dia dapat mengenakan aksesoris dari sponsor pribadinya. | Gambar: Twitter.com/LacazetteAlex

Misalnya saja Alexandre Lacazette yang disponsori oleh apparel Nike, namun klubnya adalah Arsenal yang kini bekerjasama dengan Adidas. Maka, ketika dia ingin melakukan sesi interview online dengan para penggemarnya, dia tidak perlu menggunakan jersey Arsenal dan menunjukkan aksesoris Nike. Dia bisa hanya mengenakan pakaian dan aksesoris Nike secara penuh.

Namun, pilihan untuk putus kontrak bisa saja memberikan kerugian jika tidak dilakukan dengan sistem yang tepat. Misalnya, jika pihak klub dan pemain murni putus kontrak tanpa ada kesepakatan kembali bekerjasama pasca pandemi berakhir, maka klub akan kehilangan pemainnya.

Begitu pula bagi pemainnya, akan kehilangan kesempatan kembali membela klubnya, apalagi jika si pemain sedang berada di ujung karir. Seperti John Obi Mikel yang putus kontrak dengan Trabzonspor. Jika Obi Mikel adalah pemain yang masih berusia muda dan berprospek jangka panjang bagi klubnya, seperti Neymar dan Bruno Fernandes, maka dirinya tidak akan pusing memikirkan calon klub barunya.

Baca juga: Obi Mikel Pilih Keluarga Daripada Profesi (Deddy Husein S.)

Begitu pula dengan faktor kebugaran. Para pemain akan disangsikan dapat kembali ke level terbaiknya ketika tanpa ada pengawasan ketat dari klubnya. Jangankan saat tanpa klub, ketika masih bersama klubnya saja, masih banyak para pemain yang lalai dalam menjaga level kebugaran.

Jika hal ini terjadi, maka para pemain juga bisa saja mematikan keberlangsungan karirnya. Begitu pula bagi klub yang bisa saja kehilangan asetnya, baik ketika pemain itu pindah ataupun bertahan namun tidak kunjung kembali pada level terbaik.

Jadi, pilih mana? Potong gaji 30% atau Putus Kontrak?

Atau, tetap pilih Players Together? Sebenarnya, apakah Players Together tidak menimbulkan kerugian?

Jika para pemain memilih Players Together tanpa potong gaji, maka yang paling besar mengalami kerugian secara finansial adalah pihak klub dan tentunya federasi. Dana operasional harus terlihat normal, namun mereka minim memperoleh kontribusi.

Kecuali, jika semua klub masih dapat memanfaatkan para pemainnya untuk bersosialisasi kepada penggemar selama pandemi, dan itu bisa cukup efektif terhadap pemasukan. Begitu pula dengan federasi. Memanfaatkan publikasi dengan melibatkan para pemain bisa dilakukan, karena mereka masih di bawah naungannya.

Tinggal, apakah para pemain dapat melakukannya, atau malah ingin membuat Mosi Tidak Percaya terhadap kapasitas klub dan federasi semakin besar saat masyarakat pencinta sepak bola juga geregetan dengan tarik-ulur keputusan terhadap nasib klub dan kompetisinya musim ini.

Rumit!

Baca juga: UEFA Tidak Salah, tetapi... (Deddy Husein S.)

Namun, jika menilik pada takaran untung-rugi, sebenarnya Players Together paling ideal untuk dilakukan. Asalkan para pemain masih bertindak profesional terhadap klubnya dan masih dapat memberikan keuntungan bagi klub, federasi, juga tentunya bagi dirinya serta masyarakat yang membutuhkan uluran kepedulian mereka.

Toh, ketika mereka masih dapat pendapatan yang normal, maka mereka juga masih dapat menggaji orang-orang yang bekerja dengannya. Bukankah mereka juga ada yang memiliki fotografer pribadi, asisten rumah tangga, pelatih kebugaran pribadi, dan lainnya?

Selamat berbakti sosial, Footballers! Respect!

Malang, 10 April 2020
Deddy Husein S.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun