Dugaan kedua, karena lingkup kerja samanya. Memang, dewasa ini para klub hingga federasi, konfederasi, dan FIFA sering menjalin kerja sama dengan badan-badan non-profit. Namun, hal ini tidak sementereng pada masa lalu. Contohnya, dengan melihat Barcelona masa kini dan masa lalu.
Dulu, saat 2000-an, Barcelona identik dengan jersey yang terdapat tulisan UNICEF. UNICEF, United Nations Children's Fund, sendiri diketahui sebagai wadah pemerhati dan peduli terhadap kehidupan sosial khususnya untuk ibu dan anak secara global di negara berkembang. Melihat hal semacam ini, tentu Barcelona terlihat istimewa (detik.com) dibandingkan klub-klub lain yang sudah bersponsor brand bisnis terkenal pada masanya.
Seperti Real Madrid dengan Bwin, AC Milan dengan Opel, Chelsea dengan SAMSUNG, dan Manchester United dengan Vodafone. Namun, seiring berjalannya waktu, Barcelona mulai tidak memamerkan UNICEF pada jersey-nya. Bahkan, langkahnya cenderung unik, dengan memindahkan logo UNICEF dari depan ke belakang dan tentunya mengurangi ukuran dari logo tersebut.
Meski disebut-sebut kerja sama Barcelona dengan UNICEF masih berlangsung hingga saat ini (republika.co.id), namun kepercayaan diri mereka terhadap jalinan kerja sama itu sudah tidak sebesar dulu. Maklum, Barcelona kian hari juga kian melambung statistik pengeluarannya, akibat aktivitas transfer yang selalu mendatangkan pemain dengan harga mahal.
Hal ini tentu merubah berbagai kebijakan yang dimiliki klub asal Catalan itu termasuk dalam hal kerja sama. Faktor inilah yang membuat bisa saja para pemain mulai sangsi terhadap kemampuan dan orientasi klubnya dalam membuat kerja sama dengan pihak-pihak non-profit.
Jika tidak demikian, mengapa pemain seperti Lionel Messi, Cristiano Ronaldo, Mesut Ozil, dan lainnya lebih memilih berbakti sosial dengan inisiasi individual dibandingkan melalui klubnya atau agensinya. Begitu pula dengan Steven Gerrard yang diketahui memiliki semacam yayasan peduli sosialnya (stevengerrardfoundation.org) yang membuat ini adalah bukti bahwa para pemain sudah dapat bergerak sendiri tanpa ada klubnya, alih-alih federasi.
Contoh di atas membuat muncul dugaan ketiga, bahwa para pemain dewasa ini telah mampu bergerak sendiri untuk aksi sosial, alih-alih bergantung dengan klub dan federasi. Hal ini bisa saja dikarenakan pamor mereka dapat memuluskan aksi tersebut dan tentunya membuat masyarakat lebih respek terhadap para pelaku lapangannya secara langsung dibandingkan memuji federasi atau klub yang biasanya memiliki kepentingan tertentu.
Memang, dengan aksi individual atau tanpa ada mediator dari klub dan federasi, ini akan membuat para pemain seperti panjat sosial (pansos). Namun, dengan aksi-aksi tersebut, membuat masyarakat yang mengidolai para pemain dapat terinspirasi secara langsung.
Ditambah dengan keberadaan Players Together ini membuat kita yang awalnya menjadi pencinta sepak bola yang bar-bar, alias fanatik dengan pemain-pemain atau klub tertentu saja--dan seringkali membanding-bandingkan siapa yang terbaik, justru akan terbuka matanya, bahwa para pemain dari semua klub bisa melepaskan rivalitasnya dengan wujud solidaritas sosial tersebut.