Gerakan ini disebut-sebut telah melalui kesepakatan antar semua pemain profesional di Inggris dengan diwakili oleh kapten tim masing-masing. Keputusan ini disinyalir karena mereka ingin bantuan yang diberikan langsung diakomodir oleh pihak yang terpercaya, National Health Service (NHS).
Melalui NHS, bantuan yang diberikan akan lebih tepat sasaran, karena mereka memiliki data-data yang akurat dan jaringan kerja sama yang tepat untuk perwujudan peduli sosial kala pandemi ini terlihat makin menguat. Lalu, apakah hal ini tidak bisa dilakukan melalui mekanisme pemotongan gaji dari klubnya masing-masing?
Jika merunut pada jumlah persentase yang ditetapkan untuk pemotongan gaji terhadap pemain, kabarnya Premier League "hanya" meminta 30% dari gaji yang diperoleh selama tiga bulan; Maret, April, Mei atau April, Mei, Juni. Persentase ini tidak sebanyak yang ditetapkan oleh Barcelona yang bahkan meminta pemotongan sampai 70%! (Tirto.id)
Meski terlihat tidak lebih banyak dari angka pemotongan gaji yang diterapkan oleh Barcelona, namun nyatanya para pemain dikabarkan tidak setuju dengan sistem pemotongan gaji tersebut. Apalagi, terjadi kritikan pula pada klub-klub yang sudah menerapkan pemotongan gaji namun ternyata dinilai tidak tepat.
Seperti Liverpool yang melakukan pemotongan gaji namun kepada para pekerja non-lapangan (cnnindonesia.com). Hal ini menuai protes, karena justru saat pandemi ini yang sedang tidak bekerja adalah para pekerja yang di lapangan.
Secara logika, pandangan ini benar. Karena, terbukti pekerja yang berada di bagian publikasi terlihat masih bekerja, walau mereka tidak dapat menyajikan informasi di lapangan melainkan harus mengajak para penggemar untuk bernostalgia. Saat corona ini melanda dan aktivitas sepak bola dihentikan tanpa kepastian, para penggemar disajikan konten-konten yang membahas masa-masa lalu.
Bahkan, di Youtube kita dapat melihat video-video lama seputar pertandingan yang dijalani masing-masing klub mulai bermunculan kembali di beranda. Itu pertanda bahwa masyarakat mulai menggali konten-konten lama saat mereka kesulitan mencari update tentang klub dan kompetisi.
Artinya, saat corona ini menghentikan aktivitas di lapangan, namun hal ini tak berlaku di bidang publikasi. Mereka masih harus bekerja untuk membuat masyarakat masih terhibur sembari menunggu kepastian nasib kompetisi dan klub favoritnya masing-masing.
Tetapi, mengapa para pemain tidak semuanya sepakat dengan pemotongan gaji?
Dugaan pertama, karena faktor sistem kerja klub biasanya tidak transparan dibandingkan lembaga pemerintah maupun asosiasi non-profit profesional baik di level nasional dan internasional. Hal ini dapat diambil contoh dengan program transfer pemain yang seringkali menimbulkan kontroversi di kemudian hari. Artinya, para pemain paham dengan situasi di lingkupnya.
Daripada niat bersolidaritas namun ternyata tak tepat sasaran (lagi), buat apa?