Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Bukan Hanya Potong Gaji yang Dapat Menanggulangi Dampak Corona

8 April 2020   18:26 Diperbarui: 11 April 2020   11:04 641
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pemotongan gaji. | Gambar: KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Manusia ibaratnya sekeping koin, ada sisi baik dan buruk. Ada yang bertindak peduli sosial, ada juga yang tidak bertindak untuk sosial. Hal ini memang ada, dan terlihat semakin nyata saat corona melanda bumi, termasuk Indonesia.

Sebelum Indonesia mencapai 2000 lebih kasus corona, masyarakat Indonesia sudah mulai menunjukkan tampang tidak peduli sosialnya, dengan bukti aksi pemborongan APD. 

Dari hand sanitizer yang langka. Masker medis mulai digunakan masyarakat sipil. Hingga, youtuber atau influencer juga mengenakan sarung tangan lateks. Duh!

Akibatnya, kelangkaan terjadi. Keadaan ini membuat masyarakat yang notabene tidak kebagian jatah menjadi geram. Namun, yang paling fatal tentu dampaknya kepada tim medis.

Karena, merekalah yang bakalan tak bisa menolak untuk bersinggungan dengan corona. Apalagi, mereka juga bukanlah manusia kebal corona, namun harus merawat pasien corona tanpa APD yang memadai.

Lalu, bagaimana dengan masyarakat umum?

Sebenarnya ada langkah alternatif ketika APD langka dan kebijakan WFH dari Presiden RI Joko Widodo tersampaikan kepada publik. Yaitu, social distancing. Menghindari kerumunan dan hanya keluar saat penting saja.

Jikalau masih bekerja tanpa WFH, maka rute keluar dari rumah tentu hanya ke tempat kerja. Atau, mampir sejenak ke SPBU. Bukankah itu sudah cukup?

Begitu pula jika ingin berbelanja kebutuhan sehari-hari, maka keluarlah ke tempat yang memang dituju, tidak perlu mampir-mampir. Bahkan, sebisa mungkin harus memilih tempat yang tidak terlalu ramai, seperti toko kelontong. Ini akan meminimalisir adanya kontak baik disengaja maupun tidak.

Baca juga: Cara Swalayan Hadapi Serbuan Konsumen Kala Pandemi (Irwan R Sikumbang)

Bahkan, sebelum minimarket maupun swalayan menerapkan sistem belanja dengan pengantrian, maka berbelanja di toko kelontong dapat diutamakan. 

Selain rute yang tidak jauh dari tempat tinggal, juga karena minim orang di situ. Memang, kelemahannya adalah stok kebutuhan di toko kelontong tidak sebanyak di minimarket apalagi swalayan.

Namun, hal ini dapat diatasi dengan melakukan belanja online. Lebih tepatnya memesan barang di toko tujuan lalu diantar oleh layanan beli-antar. Mumpung sudah ada teknologi semacam itu, mengapa tidak untuk digunakan?

Baca juga: Rezeki Seret, Begini Nasib Ojol Saat Pandemi (Deddy Husein S.)

Cara ini juga akan membuat para driver online masih memiliki pekerjaan saat corona semakin menghimpit rezeki mereka. Sesekali melakukan transaksi seperti itu dapat dilakukan ketika kebutuhan mendesak dan tentunya ada uang yang memadai. Jika tidak, maka tunggulah sampai toko kelontong langganan dapat menyediakan lagi stok yang dibutuhkan.

Lalu, bagaimana dengan orang-orang yang tidak masak di rumah?

Warung-warung makan sebenarnya masih ada yang buka, dan seharusnya masih buka. Tinggal, langkah terbaik kita sebagai konsumennya adalah memesan makanan itu dan dibawa pulang. Ini akan membuat situasi di warung itu tidak menimbulkan kecurigaan berlebihan karena minim sekat.

Melalui praktik itu, warung akan terasa aman, dan pihak pemilik pasti akan secara berkala dapat melakukan disinfeksi pra dan pasca ada pengunjung. Berbeda jika kita semua masih memilih makan di tempat, maka kesempatan untuk disinfeksi lokasi akan sulit dilakukan oleh pemiliknya.

Melihat kerumunan pembeli juga akan menimbulkan kewaspadaan dan kecurigaan. Jika tidak diakomodasi dengan baik, tentu pihak-pihak luar kawasan itu yang hanya sekadar lewat akan menganggap itu pelanggaran. 

Termasuk jika yang lewat adalah aparat, maka bisa saja ditindak tegas dan ini akan merugikan, khususnya bagi pemilik warung. Bukankah mereka membutuhkan (pembeli) dan dibutuhkan (oleh pembeli)?

Berlanjut pada kebutuhan lain, seperti pernikahan. Sebenarnya, melakukan resepsi itu adalah bonus. Ibaratnya membeli bolpoin dua batang bila ada uang lebih, maka resepsi juga seharusnya begitu. Toh, untuk apa menggelar pesta pernikahan besar-besaran jika masa depan adalah tanda tanya, bukan?

Tentu ini bukan bermaksud menyumpahi mereka yang menikah untuk akhirnya bercerai (hidup/mati). Namun, pada kenyataannya kita tak pernah tahu jalan hidup masing-masing baik saat sendiri maupun bersama orang-orang di sekitar, termasuk dengan pasangan.

Apakah ketika terjadi cek-cok atau perselisihan yang diingat atau yang merekatkan kembali adalah pesta pernikahannya--karena menguras tabungan? Bukankah yang seharusnya menyelamatkan biduk rumah tangga adalah kisah-kisah pertemuan pertama para pasangan tersebut?

Tanpa pertemuan pertama, bagaimana cinta itu bisa bersemi dan bermuara ke janji hidup semati, bukan? Apa ikatan pernikahan harus dipertahankan karena tidak mau rugi akibat gelaran resepsi tujuh hari-tujuh malam? Seharusnya tidak.

Itulah mengapa, ketika corona sedang merajalela seperti ini kita harus meminimalisir adanya social interaction. Termasuk yang diciptakan oleh pesta pernikahan. 

Toh, KUA masih bisa kok melayani akadnya. Jadi, mengapa masih memaksakan untuk menggelar resepsi, jika tujuannya hanya meresmikan hubungan?

Baca juga: Gantikan Resepsi dengan Bagi-bagi Makanan (Arif Pangerans)

Apabila memang ingin menyiarkan rasa syukurnya, maka bisa diganti perwujudannya. Misalnya, dengan aksi membagikan makanan ke tetangga sekitar. 

Atau, bisa juga mengalihkan dana resepsinya ke bakti sosial untuk membantu tim medis memenuhi kebutuhan APD-nya. Perwujudannya memang berbeda, tapi nilainya sama, bukan?

Melalui banyak ilustrasi seperti di atas, sebenarnya kita bisa mengetahui bahwa masyarakat adalah pihak yang masih banyak pilihan untuk tetap hidup dan terhindar dari corona. 

Namun, kitalah yang acapkali tak menyadari hal itu. Terbukti, masih ada kerumunan, pesta pernikahan, hingga penyambutan artis asal kampungnya yang pulang dari Jakarta.

Baca juga: Kejadian Ini Sia-siakan Social Distancing di Acara TV (Deddy Husein S.)

Ini yang sebenarnya membuat pemerintah semakin pusing tujuh keliling, dan kita juga semakin tak kunjung keluar dari cengkeraman pandemi covid-19. Apakah kita hanya menunggu kebijakan pemerintah tanpa benar-benar melakukan apa yang sebaiknya dilakukan?

Bahkan, jika negeri ini demokratis, masyarakatnya tentu sudah cerdas dan mandiri. Seharusnya, tanpa ada peraturan seperti Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan Fatwa MUI, masyarakatnya sudah dapat bertindak cerdas dalam menghadapi corona.

Justru ketika masyarakat hanya menunggu adanya ketegasan dari pemerintah, maka kita sudah melangkah pulang ke zaman Orde Baru yang mana masyarakatnya masih nggah-nggih di luar lalu ngedumel di rumah tanpa solusi yang jelas dari ketidaksetujuannya tersebut.

Bahkan, meskipun akhirnya ada banyak aksi sosial seperti Penggalangan Dana untuk APD Tim Medis dan Pemotongan Gaji untuk memberi bantuan kepada masyarakat yang tidak mampu. 

Tetap saja hal itu tidak akan menyelesaikan masalah, jika masih banyak aksi pelanggaran terhadap social distancing, physical distancing, hingga PSBB dan Fatwa MUI.

Karena, yang menjadi permasalahannya adalah pelanggaran-pelanggaran tersebut, bukan coronanya. Jika mengacu pada apa yang disarankan dr. Vito di program acara talkshow di salah satu tv domestik (link video ada di akhir ulasan), maka kita tahu bahwa virus itu tidak abadi. 

Namun, yang membuat virus itu seolah tak segera punah adalah aktivitas kita, dan tentunya pola hidup kita yang tidak mau beradaptasi dengan keberadaan pandemi ini.

Jika masyarakat sepakat untuk mau menurunkan egonya dalam merubah pola hidupnya yang sebelum corona muncul, maka virus itu akan mati dan hilang dari Indonesia. Setidaknya melakukan cara-cara di atas, maka virus itu akan tersendat-sendat lajunya dan seiring berjalannya waktu akan lenyap.

Baca juga: Bagaimana Empati Polisi yang Gelar Resepsi saat Corona? (Ikrom Zain)

Itulah yang seharusnya dilakukan secara gotong-royong oleh masyarakat seluruh lapisan (pejabat dan non pejabat) detik ini juga. Karena, ketika corona ini dihadapi dengan perubahan gaya hidup yang sudah dianjurkan dan adanya pilihan-pilihan semacam itu, maka virus itu akan mulai kekurangan sasaran, dan tentunya akan mati.

Semakin lama kita bandel, maka semakin lama pula corona akan bertahan di Indonesia, yang artinya semakin lama pula saudara-saudara kita yang hanya mengandalkan gaji harian terus kelaparan. Jadi, bukan hanya pemotongan gaji yang harus diterapkan tapi juga social distancing, physical distancing, dan rajinlah mencuci tangan.

Jika hal itu dilakukan, maka perjuangan para manusia yang peduli sosial itu tak akan sia-sia dalam menyisihkan uangnya untuk menyumbang dana membeli APD kepada tim medis, dan pemotongan gaji untuk disumbangkan kepada saudara-saudara yang kurang beruntung.

Baca juga: Lapar Juga Bisa Bunuh Manusia (Anis Hidayatie)

Sampai di sini, paham kan warga +62?

Selamat berbakti sosial dan jangan lupa untuk menaati peraturan pemerintah!

Malang, 8 April 2020
Deddy Husein S.

Tambahan:

Sebuah segment Tonight Show NET TV yang menghadirkan dr. Vito dalam sosialisasi terhadap penanggulangan Corona:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun