Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kejadian Ini Buat Social Distancing di Setiap Acara TV Jadi Percuma

7 April 2020   16:37 Diperbarui: 8 April 2020   23:37 3045
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kerumunan masyarakat. | Gambar: Dailymotion (135 views Inox Park 2013 (Official Aftermovie))

Pagi tadi (7/4), ada kabar yang cukup membuat penulis geregetan sekaligus miris. Karena, saat social distancing digalakkan hingga menjadi physical distancing, namun masyarakat nyatanya masih abai dengan hal itu. Entah, karena lupa atau memang sengaja, tetapi aksi ini sangat tidak terpuji.

Fakta ini juga membuat penulis berpikir bahwa, angka korban Covid-19 di Indonesia yang disampaikan Achmad Yurianto setiap hari itu masih akan meningkat. Bukan karena virusnya yang mengganas, tetapi masyarakatnya yang masih lalai untuk menjaga diri sendiri.

Salah satu contohnya tentu dengan kabar dari NTB (6/4) yang mengisahkan kepulangan seorang kontestan LIDA 2020 ke kampung halamannya dan ternyata disambut oleh masyarakat setempat (Kompas.com). 

Memang, sebenarnya hal ini dapat dimaklumi. Namun, bukankah kita sedang berada pada masa gawat darurat?

Inilah yang membuat kita tidak bisa memaklumi hal itu. Coba bayangkan, para penyanyi yang sudah teken kontrak untuk konser saja harus rela membatalkan agenda tersebut demi menyelamatkan kesehatan semua orang. Lha, masyarakat yang jadi penggemar justru abai terhadap konsekuensi tersebut.

Jika masyarakat sulit membayangkan derita para selebriti itu, maka bayangkan saja pekerjaan masing-masing yang awalnya terlihat normal namun sekarang 180 derajat berbeda. Apakah hal itu tidak disadari?

"Bagaimana kalau saya sehat? Apakah tetap tidak boleh keluar?"

Tentu banyak yang berpikir demikian, dan jawaban sebenarnya adalah boleh. Tetapi, janganlah berinteraksi secara intensif dengan orang lain. 

Jikalau harus, pastikan jaraknya tak seperti biasanya. Bahkan, kalau perlu gunakan masker jika memang waspada terhadap percikan uap dari mulut masing-masing.

Tetapi, hal itu tidak cukup bukan? Kita masih harus berpikir tentang bagaimana dengan higienisitas dari pakaian kita. Belum lagi jika harus menggunakan anggota badan untuk bertukar sesuatu. 

Maka, daripada kita terus bergulat dengan risiko-risiko itu, lebih baik meminimalisir dan meniadakan interaksi jika tidak sangat penting.

Baca artikel lainnya: Coba Tengok Mereka yang Tidak WFH

Hal ini yang sebenarnya mendasari keputusan para selebriti hingga stasiun-stasiun tv yang program acaranya seharusnya menghadirkan penonton langsung di studio. 

Seperti acara-acara talkshow dan kontes musik. Namun, demi kepatuhan terhadap social distancing dan physical distancing, mereka menerapkannya sedemikian rupa.

Jika di lapisan atas kita sudah bisa melihat penerapan yang tepat, bagaimana dengan di lapisan bawah?

Pertanyaan ini tentu sangat dilema untuk dijawab, karena sebenarnya sudah banyak orang yang berjuang untuk sungguh menerapkan social distancing hingga physical distancing. Namun, yang menjadi ironi adalah di antara kita juga masih ada yang melanggar hal itu. Seperti yang terjadi pada berita tersebut.

Penulis sangat menyayangkan hal itu terjadi, karena membuat apa yang dilakukan para selebriti dan stasiun tv seolah menjadi sia-sia. Mereka padahal sudah bekorban untuk menyulap sepinya studio menjadi tetap meriah demi penonton di rumah tetap terhibur. 

Namun, di luar itu kita masih melihat masyarakat tidak membalasnya dengan cara yang sama.

Khusus untuk masyarakat penggemar, seharusnya mereka menyadari bahwa social distancing hingga physical distancing bukanlah lelucon, apalagi sarana untuk kepentingan politis dan panjat sosial. 

Tetapi, apakah mereka melakukan pelanggaran itu karena melihat para selebriti di layar kaca masih berinteraksi, dan menganggap hal itu juga bisa ditiru?

Sangat perlu diketahui, bahwa mereka yang melakukan itu juga harus dalam pengawasan serta prosedur keselamatan. Terbukti, persediaan hand sanitizer hingga penyemprotan disinfektan juga dilakukan pada studio dan wardrobe agar para selebriti itu aman sebelum beraksi. Lalu, bagaimana dengan kita?

Melihat cairan disinfektan dan APD saja tak begitu tersedia di pasaran, maka bisa saja banyak orang di sekitar kita minim "senjata" untuk mencegah penularan virus corona tersebut. 

Jika sudah demikian, otomatis kita tidak aman dong? Lalu, mengapa masih nekad keluar dan berkerumun?

Inilah yang membuat penulis tak habis pikir. Belum lagi jika hal-hal semacam ini terus terjadi dan minim ketegasan dari pihak yang bertanggungjawab, maka yang pusing siapa? Pemerintah.

Jika angka-angka kasus terus meningkat, siapa yang disalahkan? Ya, pemerintah. Padahal, praktik-praktik tidak cerdas semacam itu yang memicu penyebaran corona tak kunjung berhenti.

Kemudian, masyarakat yang tidak mawas diri nantinya akan berupaya mencari kambing hitam dan dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu yang ingin mencari keuntungan dalam kepanikan. Sungguh tidak dewasa.

Ilustrasi peristiwa penyambutan Yolanda LIDA di NTB (6/4). | Gambar: Kapanlagi.com
Ilustrasi peristiwa penyambutan Yolanda LIDA di NTB (6/4). | Gambar: Kapanlagi.com
Penulis sangat berharap peristiwa di NTB itu tak terjadi lagi, agar Indonesia segera bersih dari corona. Percuma sekali pemerintah mengeluarkan PSBB hingga ada Fatwa MUI, jika masyarakatnya masih menerobos lampu merah dan justru ngebut saat lampu kuning. 

Artinya, pesta corona semakin gempita jika masyarakat Indonesia tidak padu dalam menjalankan instruksi, apalagi hanya imbauan.

Seharusnya kita sebagai masyarakat paham dengan bahayanya corona, atau setidaknya patuh dengan instruksi pemerintah. Karena, sejauh ini pemerintah sebenarnya sudah berupaya menghindari adanya otoriterisme terhadap masyarakat. Itulah yang membuat banyak peraturan cenderung lamban dan terkesan tidak tegas.

Bisa saja pemerintah sebenarnya ingin mengukur kapasitas kedewasaan masyarakatnya agar masyarakat Indonesia pantas hidup dalam falsafah demokrasi yang cerdas. 

Jangan sampai visi demokrasi justru dirusak sendiri oleh masyarakatnya dan memancing pemerintah untuk bertindak tegas--namun juga acapkali setengah-setengah atau terlalu ambigu.

Sudah seharusnya masyarakat Indonesia dapat bertindak sesuai dengan kekritisannya dalam mengawal sistem pemerintahannya. 

Jangan sampai masyarakat suka mengkritik kebijakan pemerintah, namun ujung-ujungnya masyarakat juga melanggar banyak aturan dari pemerintah. Itu namanya hidup segan, mati pun enggan.

Mau jadi apa Indonesia nanti bersama masyarakat yang sedemikian rupa?

Malang, 7 April 2020
Deddy Husein S.

Berita terkait:

Tribunnews.com, Liputan6.com, Tirto.id, Kompas.com.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun