Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Di Mata Corona, Semua Orang Berisiko Termasuk Narapidana

5 April 2020   20:16 Diperbarui: 5 April 2020   20:30 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menteri Hukum dan HAM Indonesia, Yasonna Laoly berencana bebaskan napi dengan persyaratan ketat. | Gambar: KOMPAS.com

Antara kontroversi dan ide menarik yang disampaikan seorang Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly, bahwa para narapidana yang berusia renta akan dipertimbangkan untuk dibebaskan, atau bahasa elegannya dirumahkan, demi meminimalisir risiko penularan corona di penjara. Melihat informasi semacam ini tentu banyak orang berpikir bahwa keputusan ini kurang logis, meski tujuannya sangat humanis.

Lalu, bagaimana seharusnya? Apakah para narapidana itu memang seharusnya pulang daripada berisiko tertular virus covid-19 di penjara?

Jawabannya tidak. Mengapa?

Pertama, justru dengan berada di penjara, interaksi para narapidana berada dalam kontrol yang jelas. Jika kontrol penjara dijalankan dengan benar, maka ini menjadi nilai positif bagi kehidupan di penjara.

Contoh penerapannya adalah kebijakan sistem jenguk. Justru ketika narapidana ini hanya berada di dalam penjara, mereka akan sulit tertular virus. Karena virus itu datangnya dari luar, bukan dari dalam.

Artinya, sistem jenguk perlu dibatasi. Atau, lebih tepatnya diperketat. Jika memang ada barang-barang kiriman dari keluarga, maka itu harus didisinfeksi terlebih dahulu. Termasuk jika ingin terjadi tatap muka, maka harus berada di ruang yang bersekat kaca.

Peraturan ini tak berhenti pada sistem jenguk sebenarnya, melainkan juga interaksi antara polisi dan narapidana. Karena polisi adalah orang yang masuk-keluar dari area penjara, maka mereka harus berada dalam pengawasan dan kontrol kesehatan yang disiplin.

Alasan kedua, narapidana hidupnya dapat diatur di penjara. Berbeda ketika mereka berada di rumah. Siapa yang berani mengatur mereka? Tidak ada.

Buktinya, orang-orang yang positif corona sebagian besar adalah orang-orang yang berada di luar penjara. Karena mereka memiliki mobilitas tinggi dan berisiko besar terkena virus. Termasuk ketika mereka tidak begitu patuh dengan penerapan pola hidup sehat.

Hanya orang-orang yang sadar dan melek intelektualitasnya yang dapat berupaya menerapkannya, walau mereka juga 100% tidak terjamin bersih dari risiko corona. Hal ini yang seharusnya terjadi pada narapidana di penjara. Karena, mereka pasti harus patuh terhadap aturan di penjara jika ingin mendapatkan remisi, bukan?

Jika melihat situasi di luar penjara, yang malah gonjang-ganjing, justru pihak kepolisian berpeluang memiliki tugas mulia saat ini. Yaitu mencegah virus corona masuk ke penjara. Oya, bagaimana dengan masuknya narapidana baru saat virus corona positif masuk teritori Indonesia?

Tetapkan mereka sebagai narapidana di bawah pengawasan tim medis khusus. Tidak ada salahnya ada tim medis yang bekerjasama dengan kepolisian untuk mengawasi narapidana baru yang harus masuk karantina terlebih dahulu. Mereka harus dipastikan bebas virus baru boleh tidur di penjara.

Alasan ketiga, penjara adalah tempat yang bukan milik nenek moyang narapidana. Jadi, tidak ada alasan khusus bagi mereka untuk menolak tempat tidurnya didisinfeksi oleh petugas kepolisian atau pihak medis khusus. Bagaimana dengan rumah-rumah, apalagi milik para koruptor itu?

Jika melihat record-nya sebagai narapidana, mereka akan cenderung tertutup. Ya iyalah, penyimpan bangkai. Jadi, hal ini akan justru merugikan mereka ketika proses disinfeksi terhadap rumah-rumah bisa saja tak disambut dengan baik.

Artinya, peluang berbahaya bagi para narapidana bangkotan itu justru berada di rumah sendiri. Minim kontrol, tidak ada pendisiplinan, cenderung over-protektif, dan lainnya. Ini akan semakin berisiko, apalagi jika keluarganya juga tidak melek informasi terkait virus corona.

Lagipula memulangkan para narapidana tua tidaklah menjamin mereka akan dapat hidup sehat dan bebas dari corona. Mengingat orang-orang yang waras di luar sana--yang tidak menjadi narapidana--saja bandel dan malah bertumbangan, apalagi mereka yang hidupnya semaunya, asal makan enak dan tidur nyenyak. Bisa saja ini menjadi blunder bagi pihak kepolisian.

Dari tiga alasan itu kita bisa menarik kesimpulan bahwa semua orang saat ini sedang sama-sama berisiko. Baik yang masih hidup bebas maupun yang tidak bebas. Bagi yang tidak bebas, justru ini menjadi momen beruntung mereka secara tersirat, karena mendapatkan perhatian yang manusiawi demi kesehatan mereka. Kapan lagi, orang berdosa masih diperhatikan?

Kecuali, jika pihak kepolisian ingin membiarkan para eks narapidana itu berjuang sendiri melawan corona dan tak lagi bertanggungjawab terhadap konsekuensi tersebut. Namun, bagaimana jika para narapidana itu kembali merusak tatanan hidup masyarakat yang notabene sudah dirusak oleh orang-orang yang bukan narapidana di tengah pandemi ini?

Apakah kepolisian siap menanggung amukan massa di media sosial? Hm....

Malang, 5 April 2020
Deddy Husein S.

Berita terkait:

Kompas.com, Tirto.id, Republika.co.id.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun