Beberapa tahun kemarin, ketika layanan jasa jemput-antar online merebak di masyarakat, para pengais rejeki dari bidang yang sama namun konvensional mulai meradang. Bagaimana tidak, ketika jasa jemput-antar online belum muncul saja keberadaan mereka semakin tak digubris, apalagi ketika layanan itu muncul.
Faktor utamanya, karena masyarakat dewasa ini sudah banyak yang memiliki kendaraan pribadi. Sehingga, layanan jasa jemput-antar konvensional seperti becak, ojek motor hingga angkot pun mulai tersisih.
Hanya layanan transportasi jarak jauh yang masih dipilih oleh masyarakat. Meski, pada akhirnya ketika infrastruktur jalan antar kota hingga antar provinsi semakin bagus, opsi untuk berkendara sendiri juga kadang dipilih.
Lalu, bagaimana ketika layanan jemput-antar online muncul?
Ketika aplikasi semacam Grab, Gojek, Uber, dan lainnya lahir--melahirkan ojek online, masyarakat yang sudah gadgetable pun mulai memanfaatkannya. Tentu, faktor kepraktisan menjadi jawaban mainstream-nya.
Ketika anak Anda ingin berangkat ke sekolah, Anda yang bekerja di kantor tidak lagi pusing untuk membagi waktu antara mengantar dan berangkat ke kantor. Begitu pula jika Anda awalnya berniat mempekerjakan seorang sopir pribadi, maka niat itu akan diurungkan karena sudah ada layanan tersebut.
Pada akhirnya popularitas ojek online meningkat. Para ojek offline akhirnya kebingungan. Apalagi tarifnya juga berbeda cukup jauh, padahal jarak tempuhnya sama. Begitu pula dengan layanan angkot. Mereka juga mulai menjadi opsi kedua ketika awalnya mereka menjadi opsi pertama.

Khusus daerah kota saja, Malang memiliki lebih dari lima universitas. Belum lagi lahan pekerjaan. Di sana ada bisnis perhotelan, apartemen, rumah makan, kafe, warkop, dan lainnya. Ditambah dengan lahan-lahan pemerintahan baik sektor layanan publik/sipil hingga bidang pendidikan tentunya, seperti sekolah.
Jika melihat realitas ini, mobilitas masyarakatnya pasti tinggi. Sehingga, layanan angkot juga bisa menjadi bantuan yang dibutuhkan oleh mereka yang ingin bekerja maupun mencari ilmu. Apalagi tarifnya juga murah, bukan?
Alasan tarif juga menjadi perhitungan tersendiri. Meski di sisi lain kita akan kesulitan menemukan prioritas. Siapa yang tidak ingin diprioritaskan?
Hal ini yang sepertinya menjadi tangkapan bagi penyedia jasa online tersebut. Bagaimana tidak, Anda diperlakukan seperti pembeli satu-satunya dalam transaksi tersebut. Begitu pula ketika Anda ingin segera cepat sampai tujuan. Memilih kendaraan roda dua tanpa Anda yang menyetir adalah suatu keuntungan.
Begitu juga ketika Anda ingin sedikit privat atau sedang membawa banyak barang, mungkin sepulang dari perjalanan antar kota, maka memilih kendaraan roda empat juga tepat. Meski sedikit mahal dari angkot yang anggap saja berukuran sama, namun jika dibandingkan dengan taksi, tarifnya sangat jauh berbeda.
Kesamaan dengan taksi, kita dapat diantar sampai tepat tujuan. Namun biayanya yang berbeda. Sedangkan angkot, kita tidak seratus persen tepat di tujuan, namun biayanya lebih murah. Dari sini kita bisa melihat bahwa keberadaan layanan online tersebut berada di tengah-tengah opsi yang sebelumnya sudah ada. Tinggal keputusan kita yang menentukan sesuai kebutuhan.
Namun, secara jujur, siapa yang pernah memprediksi jika para ojol tersebut baik yang roda dua maupun roda empat akan mengalami keterpurukan seperti yang dirasakan para "konvensionalis"?
Sulit untuk memprediksi hal itu terjadi, karena kepraktisan, tarif murah, dan layanan spesial, semua ada di aplikasi tersebut. Artinya, jika faktor persaingan bisnis, sulit untuk menghentikan laju mereka kecuali jika sama-sama bergerak dengan sistem yang sama. Namun, tanpa persaingan bisnis, nyatanya nasib para driver online itu akhirnya juga mirip dengan yang dialami para sesepuhnya.
Akibat virus corona, lalu-lintas penggunaan jasa online tersebut juga menurun seiring dengan kebijakan WFH dari pemerintah pusat. Meski, mereka masih berharap ada rejeki, itu tidak lagi berpatokan pada jasa jemput-antar customer, melainkan jasa beli-antar barang alias delivery.
Situasi ini terjadi dan dialami oleh penulis ketika hendak berbelanja bahan makanan untuk sarapan esok hari (hari ini/31 Maret 2020). Sudah menjadi kebiasaan bagi penulis ketika memulai hari adalah langsung beraktivitas tanpa harus keluar sejenak untuk membeli sarapan di warung.
Minimal ada bahan makanan/minuman instan untuk sarapan seperti roti tawar, susu, atau sereal. Ini adalah hal biasa bagi penulis yang sedikit malas untuk keluar hanya untuk membeli sarapan. Kecuali jika sedang di kampung halaman. Bertemu dengan orang dan sedikit bertegur-sapa dengan tetangga cukup menarik.
Ketika masih aktif kuliah (ada jam kelas), biasanya penulis menyempatkan untuk setidaknya sarapan seperti tadi--walau seringkali tidak sarapan--dan langsung berangkat. Berhubung tidak ada orang lain yang dapat menyiapkan itu, maka penulis selalu menyempatkan waktu di malam sebelumnya untuk berbelanja agar esoknya tinggal masak air dan seduh.
Itu pun tidak sering, karena pasti bisa menyetok minimal untuk tiga hari, dan hal ini masih dilakukan ketika corona dan WFH muncul di negeri ini. Alasannya, karena mencari bahan-bahan tadi sebenarnya masih bisa dipenuhi dari toko kelontong di sekitar perkampungan penulis.
Namun, nahasnya tadi malam (30/3) sekitar pukul 21.00 WIB, situasi di perkampungan terlihat lebih sepi dari sebelumnya. Bukan karena makin minimnya lalu-lalang kendaraan pribadi dan ojol, namun karena toko-toko kelontong semuanya tutup.
Padahal masih belum larut malam, dan biasanya mereka buka sampai pukul 22.00 WIB. Bahkan, ada yang sengaja buka sampai dini hari. Namun, hal ini tak lagi terjadi dan baru dialami penulis.
Melihat keadaan semacam itu, akhirnya penulis segera berinisiatif memesan belanjaan dari aplikasi. Awalnya, penulis tidak merasakan keanehan. Apalagi suatu keuntungan adalah si driver ada di lokasi yang terpilih.

Tetapi, dugaan itu meleset. Hingga penulis semakin heran ketika si deliver semakin jauh dari lokasi. Ada apa ini? Apakah Malang sudah menerapkan jam malam?
Akhirnya pertanyaan itu terjawab. Menurut si driver itu, sekarang aktivitas berbelanja dibatasi sampai pukul 20.00 WIB. Mereka tidak bisa melebihi batas itu, karena server komputer diputus dari pusat. Duh!
Melihat situasi itu, penulis bimbang. Antara cancel lalu pesan esok hari atau tidak. Hal ini dikarenakan penulis juga kasihan dengan si driver yang semakin jauh dari lokasi seharusnya. Secara ego pemesan, penulis tentu ingin berhenti saja. Toh, jika memang situasinya demikian, lebih baik besok saja belanjanya.

Hal ini akhirnya dipertegas oleh penuturan si deliver ketika sampai di lokasi penulis, "eman mas kalau di-cancel. Banyak tadi yang cancel...". Ya, hidup memang sangat berat (ketika ada persaingan), penuh risiko (ketika ada konsekuensi berat dan bencana), dan sulit ditebak (kapan naik-turunnya siklus). Siapa yang bisa menebak kejayaan ojol menjadi limbung seperti saat ini?
Bahkan, para konvensionalis juga tak akan mendoakannya sedemikian rupa. Karena, kita sama-sama tahu bahwa motif kita untuk hidup adalah bertahan hidup, walau harus ada yang untung dan ada yang rugi. Termasuk para ojol yang kini juga merasakan perjuangan yang dialami oleh sopir angkot, taksi, dan ojek pangkalan saat itu.
Semoga badai corona segera berlalu dan kehidupan kembali seperti semula atau lebih baik. Soal siapa yang akan lebih beruntung dan siapa yang masih dan malah makin merugi, tidak ada yang tahu.
Malang, 31 Maret 2020
Deddy Husein S.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI